Sekali lagi, agama Kapitan Pattimura yang memimpin penyerangan ke Benteng Duurstede di Saparua pada 14 Mei 1817 diperdebatkan di media sosial setelah viral video ceramah Ustaz Adi Hidayat. Ini bukan kehebohan baru. Setidaknya ini sudah diributkan dua dekade. Setelah Orde Baru bubar, muncul klaim bahwa Kapitan Pattimura bukanlah Thomas Matulessy, melainkan Ahmad Lussy.
Kali ini penceramah Adi Hidayat, yang punya banyak jamaah, menyebut: “kami berusaha mencari dan melihat pakar sejarah dikumpulkan, ternyata nama aslinya Pattimura itu bukan Thomas Matulessy, tapi Ahmad Lussy”. Teori Adi Hidayat itu disebut-sebut berasal dari sebuah buku sejarah.
Baca juga: Dari Matulessia Menjadi Matulessy
Teori yang dimaksud adalah pendapat Ahmad Mansur Suryanegara yang hanya sepintas lalu menyinggung Pattimura dalam bukunya, Api Islam (2018). Buku inilah yang menjadi rujukan kehebohan itu. Ahmad Mansur Suryanegara dianggap orang penting dalam Islamisasi penulisan sejarah di Indonesia dan karyanya banyak disantap pembaca awam.
“Akibat penindasan dan kekejaman penjajah Protestan Belanda, bangkitlah perlawanan bersenjata dipimpin oleh Kapten Pattimura. Di Ambon penyandang nama Pattimura adalah muslim. Oleh karena itu, salahlah jika dalam penulisan sejarah, Kapten Pattimura disebut seorang Kristen,” tulis Ahmad Mansur Suryanegara, yang pernah mengoreksi buku Sejarah Nasional Indonesia yang dirilis Orde Baru. Sebelum dan sesudah paragraf itu tidak ada penjelasan lain tentang Pattimura.
Baca juga: Cerita di Balik Gambar Pattimura
Sementara itu, menurut Dieter Bartels, profesor antropologi di Yavapai College, Clarkdale, Arizona, Amerika Serikat, dalam Di Bawah Gugusan Gunung Nunusaku: Muslim Kristen Hidup Berdampingan di Maluku Tengah Jilid II Sejarah (2017), tak ada satu laporan pun dari zaman [perlawanan rakyat Saparua] itu yang menyatakan Matulessy memakai gelar Pattimura. Namun, tidak menutup kemungkinan gelar Kapiten Pattimura dipakai Thomas Matulessy atau Thomas Matulesia yang memimpin perlawanan melawan Belanda di Saparua.
Berita koran-koran Belanda tahun 1890-an tentang perlawanan 1817, seperti Soerabaijasch Handelsblad (31-07-1890), De locomotief (05-07-1890), dan Bataviaasch Handelsblad (08-07-1890), menyebut nama tokoh perlawanannya adalah Thomas Matulesia. Bukan Mat Lussy apalagi Ahmad Lussy. Nama Pattimura sendiri tidak disebut dalam koran-koran itu.
“Pemimpin pemberontakan ini seseorang bernama Thomas Matulessy (dalam laporan Belanda disebut Matulesia), laki-laki terpelajar yang lahir di Kampung Haria. Dia pernah menjadi sersan mayor dalam milisi Ambon yang dibentuk Inggris. Dia juga seorang Kristen yang saleh,” tulis Bartels.
Baca juga: Menggelar Gelar Pattimura
Nama Matulesia tentu dekat perubahannya dengan Matulessy. Mengapa nama Thomas Matulessy agak kurang diyakini? Bartels memperkirakan adanya usaha mengecilkan asal-usul Ambon Kristen yang dicap pro-Belanda hingga akhirnya nama Thomas Matulessy lebih sering disebut Pattimura sebagai Pahlawan Nasaional dari Maluku.
“Pattimura adalah gelar dari Jawa yang berarti patih muda dan tampaknya juga telah dipakai di Maluku untuk orang yang ditunjuk akan menggantikan kedudukan patih,” tulis Bartels yang pernah melakukan penelitian lapangan di Maluku Tengah.
Mengenai gelar Kapiten sendiri umumnya diberikan kepada orang yang berpengaruh dalam masyarakat atau pemimpin kaumnya, dan tidak selalu terkait dengan kemiliteran.
Di masa-masa penulisan sejarah yang Indonesiasentris digalakkan, nama Thomas Matulessy atau Thomas Matulesia malah menghilang. Bartels mencatat nama Thomas Matulessy bahkan dihapus dari buku propaganda tentang Pattimura yang ditulis F. Hitipeuw, Keunikan Perdjuangan Pahlawan Nasional Pattimura dalam Menentang Pendjadjahan di Maluku (1974) dan buku Matthijs Sapija, Sedjarah Perdjuangan Pattimura (1957). Sehingga identitas Ambon Kristen dan nama Thomas Matulessy pun menjadi kabur. Baik Sapija maupun Hitipeuw adalah seorang Ambon.
Matthijs Sapija dianggap berjasa dalam penulisan sejarah perlawanan rakyat Saparua yang dipimpin Thomas Matulesia pada 1817. Dalam Kisah Perjuangan Pattimura (1984) yang tidak diterbitkan pemerintah, Sapija beberapa kali menyebut Thomas Matulessy sebagai Thomas Matulesia alias Pattimura.
Baca juga: Pattimura Pernah Jadi Tentara Inggris
Sapija sudah dari tahun 1950-an meneliti pemimpin perlawanan rakyat Saparua 1817 yang dalam laporan belanda disebut Thomas Matulesia itu. Di tahun 1953, Sapija merilis buku berjudul Sejarah Perjuanagan Pattimura Pahlawan Indonesia. Ahli lepra Indonesia, dr. Jacub Bernadus Sitanala (1889–1958), yang memberikan kata pengantarnya.
Sitanala, salah satu pendiri Palang Merah Indonesia (PMI), dalam kata pengantarnya mencantumkan beberapa judul bacaan tentang Pattimura. Di antaranya bacaan dari Jan Baptist Jozef van Doren yang berjudul Thomas Matulesia, het hoofd der opstandelingen op het eiland Honimoa, na de overname van het bestuur der Molukken door den Landvoogd Jacobus Albertus van Middelkoop in 1817 (1857).
Teori sepintas lalu yang diambil dari buku Ahmad Mansur Suryanegara itu diamini banyak orang yang seidentitas dengannya. Teori sepintas lalu itu seolah hendak menyangkal apa yang sudah direkonstruksi oleh Sapija bahwa Thomas Matulessy adalah Pattimura. Di antara mereka yang sepaham dengan Ustaz Adi Hidayat dan mengamini teori sepintas lalu dari buku Ahmad Mansur Suryanegara, ada yang menyebut bahwa Pattimura adalah Thomas Mattulessy dalam buku sejarah nasional sebagai rekayasa Sapija.
Baca juga: Pattimura Dihukum Mati karena Dikhianati
Matthijs Sapija yang malang itu belakangan juga terlupakan. Pria kelahiran Maluku Tengah, 6 Juli 1911, itu pernah jadi kapten TNI (1946–1955) dan anggota Konstituante dari Partai Republik Proklamasi (1956–1959).
Sapija sendiri bagian dari perjuangan kemerdekaan Indonesia. De Muiterij op de Zeven Provincien, Solidariteit No. 66, April 1995, menyebut Sapija adalah juru meriam di Koninklijk Marine (KM) alias Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Dia ikut menentang pemerintah kolonial Belanda di daratan di Surabaya. Terkait pemberontakan para pelaut Indonesia di kapal Zeven Provincien pada awal tahun 1933, dia menulis buku Sedjarah Pemberontakan Kapal Tujuh (1960).
Setelah Pemberontakan Kapal Tujuh, Sapija lalu dipecat. Selain dirinya, Sungkono yang kemudian jadi panglima TNI AD di Jawa Timur, juga bekas Angkatan Laut yang keluar setelah 1933 seperti Sapija. Pada masa pendudukan Jepang, Sapija menjadi guru di Sekolah Nasional dan guru bahasa Jepang.
Setelah Indonesia merdeka pada 1945, Sapija ikut berjuang melawan Belanda. Nugroho Notosusanto dalam Pertempuran Surabaya (1985) menyebut Sapija menjadi guru di sekolah swasta Pedoman Timur dan ikut berjuang di Surabaya. Dia bagian dari laskar Angkatan Pemuda Indonesia (API) Ambon dan Pemuda Republik Indonesia (PRI).