Masuk Daftar
My Getplus

Pewarta Foto Historia Mendapat Penghargaan APFI

Foto cerita tentang stadion VIJ Jakarta menjadi juara APFI, ajang tertinggi pewarta foto di Indonesia.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 03 Apr 2021
Seremoni daring penghargaan untuk pewarta foto historia.id, Fernando Randy, dalam ajang APFI 2021.

Fernando Randy, pewarta foto historia.id, mendapat penghargaan dalam Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI) 2021, ajang tertinggi untuk pewarta foto tanah air. Dia memenangi Foto Esai Terbaik APFI 2021 kategori olahraga lewat artikel “Perjuangan Bangsa di Stadion VIJ”. Fotonya berbicara tentang salah satu lembar sejarah persepakbolaan tanah air. Penghargaan diberikan di Jakarta, Jumat, 2 April 2021.

APFI kali ini melombakan 4.400 foto karya pewarta foto lintas media sepanjang 2019–2020. APFI sempat absen tahun lalu karena pandemi Covid-19. Dalam rilisnya, panitia menyebutkan penyelenggaraan APFI tahun ini penuh keterbatasan. Tapi itu tak mengurangi niat mereka untuk mengapresiasi capaian dan karya pewarta foto pada tahun yang berat itu.

“Segala kesulitan dan tantangan di masa pandemi tidak menyurutkan semangat dan komitmen organisasi profesi PFI untuk menghadirkan ajang penghargaan tertinggi jurnalis foto tanah air ini,” kata panitia APFI.

Advertising
Advertising

Dewan juri APFI terdiri dari jurnalis dan fotografer senior di media-media ternama. Mereka adalah Agus Susanto, pewarta foto Kompas; Arief Suhardiman, editor foto The Jakarta Post; Desi Fitriani, produser MetroTV; Enny Nurhaeni, jurnalis senior; dan Oscar Motuloh, jurnalis senior.

Baca juga: Wartawan Historia Raih Penghargaan dari Kemendikbud

Nama-nama tadi sudah sohor sebagai sosok yang berdedikasi, berpengalaman, berintegritas, dan memiliki kedalaman dalam menghadirkan berita ke masyarakat. “Kualitas jajaran juri berbanding lurus dengan kualitas karya pemenang,” kata panitia APFI dalam rilisnya.

Maka menjadi pemenang dalam APFI berarti sebuah capaian istimewa bagi para fotografer dan media yang meraihnya. “Dan yang lebih spesial lagi ternyata di tahun ini per kategori hanya punya satu pemenang. Tidak seperti tahun sebelumnya: satu kategori ada juara 1, 2, 3. Jadi ketat banget,” kata Fernando Randy.

Nando, sapaan akrabnya, menuturkan dia sebenarnya masuk dalam dua nominasi pada APFI 2021. Satu karya lainnya juga termuat di historia.id dan mengangkat kisah Ibu Sri Nasti Rukmawati, salah satu penyintas peristiwa pembantaian 1965. Karya ini masuk dalam kategori People in the News. “Walau nominasi, tetap bangga karena ketat sekali,” tutur Fernando.

Untuk menghasilkan karya foto-foto stadion VIJ (Voetballbond Indonesia Jacatra), Nando berangkat dari pembacaannya tentang sejarah sepakbola tanah air. Kebetulan dia berdomisili dan bekerja di Jakarta. Dan di sini ada klub sepakbola dengan sejarah panjang: Persija yang punya nama lama VIJ. Karena itu, dia mengulik tonggak-tonggak masa lampau klub ini.

Berbekal artikel  dan Perjuangan MH Thamrin Lewat Sepakbola, Nando menyusuri bekas stadion milik Persija di kawasan Petojo, Jakarta Pusat.

“Tempat itu punya cerita, punya sejarah. Terkadang kita hanya memandang tempat di sekitar kita itu biasa. Padahal banyak cerita di dalamnya seperti di VIJ. Dan sebagai sebuah kritik sosial: tempat yang menjadi salah satu perjuangan bangsa tapi tidak terawat,” ungkap Nando.

Di tempat inilah dulu Mohammad Hoesni Thamrin, tokoh pergerakan nasional dari Kaoem Betawi, ikut menggelorakan nasionalisme dan perlawanan terhadap kolonialisme lewat sepakbola. Dia menyumbang uang untuk memperbaiki lapangan Petojo agar bisa dipakai oleh VIJ.

Baca juga: Cerita di Balik Rekor MURI untuk Historia

Masa itu, polarisasi antara pesepakbola anak negeri dan Eropa sangat kuat. Fasilitas berlebih tersedia untuk pesepakbola Eropa, sedangkan anak negeri hanya mendapat sedikit fasilitas. Akibatnya, kompetisi anak negeri sering terhambat karena ketiadaan stadion yang layak. Kompetisi masa itu juga terbagi dua untuk anak negeri dan Eropa.

Karena itulah Thamrin bertekad membantu VIJ agar bisa mendapat fasilitas layak. Dia mengupayakan lapangan dengan tribun penonton dan ruang makan. Harapan itu terwujud pada 1936. Inilah lapangan Pulo Piun. Sampai sekarang masih berdiri dan bernama Lapangan Petojo.

Dalam foto-fotonya, Nando menghadirkan suasana stadion VIJ hari ini. Tampak besi-besi berkarat, rumput yang mengering, cat yang kusam, tembok-tembok retak, dan kursi kayu tribun yang reyot. Tapi lapangan ini masih sering dipakai untuk latihan sekolah sepakbola dan klub setempat.

Foto-fotonya yang lain memperlihatkan suasana di luar stadion VIJ. Anak kecil yang bersepeda dengan memakai kostum sepakbola dan aktivitas warga mencuci di luar tembok stadion.

Baca juga: Historia Raih LINE Indonesia Awards

Bagi Nando, sejarah dan fotografi sesuatu hal yang tak terpisahkan. “Karena fotografi adalah medium komunikasi untuk medokumentasikan peristiwa sejarah yang akhirnya bisa kita pelajari sampai saat ini.”

Agus Susanto, anggota dewan juri, berpendapat foto Fernando di historia.id telah membuka mata dan berhasil menerawang salah satu babakan sejarah sepakbola di tanah air. “Pencarian ide yang baru, riset dan penguasaan lapangan menjadi kunci foto cerita stadion yang berdiri sejak 1928 ini menarik perhatian juri,” kata Agus kepada historia.id.

Foto ini juga sekaligus membuktikan bahwa foto olahraga tak melulu soal membekukan gerakan atlet dari kamera yang canggih.

TAG

penghargaan fotografi sepakbola

ARTIKEL TERKAIT

Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian II – Habis) Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian I) Pengungsi Basque yang Memetik Bintang di Negeri Tirai Besi Riwayat NEC Nijmegen yang Menembus Imej Semenjana Geliat Tim Naga di Panggung Sepakbola Mula Bahrain Mengenal Sepakbola Enam Momen Pemain jadi Kiper Dadakan Memori Manis Johan Neeskens Sejak Kapan Orang Tersenyum saat Difoto? Kenapa Australia Menyebutnya Soccer ketimbang Football?