Serangan Umum 1 Maret 1949 membuat tentara Belanda kembali dengan pasukan yang lebih banyak. Pembersihan kota Yogyakarta dari para tentara Republik Indonesia (RI) lebih ketat dijalankan Belanda, termasuk dengan penangkapan.
Ahmad Raoef Soehoed, seorang perwira Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), termasuk yang kena ciduk tentara Belanda. Soehoed dibawa ke markas IVG di belakang Istana Gedung Agung. Namun tak semua tentara Belanda jahat padanya. Seorang sersan mendatanginya. Namanya Vodegel, anak seorang pengelola Ballroom Dancing (Ruang Dansa) di Kosambi, Bandung. Rupanya adik Vodegel adalah teman main Soehoed. Vodegel, yang juga kawan kuliah Soehoed di zaman Hindia Belanda itu, juga mengenali Soehoed.
“Soehoed, kenapa kamu di sini?” tanya Vodegel.
Sembari duduk di lantai sebagaimana tahanan-tahanan lain, Soehoed hanya menjawab, “kamu lihat sendiri, saya kan duduk di sini.”
“Kamu tertangkap ya?”
“Ya begitulah.”
“Kamu mau keluar dari sini?”
Tak menjawab, Soehoed hanya mengangguk setuju.
“Nanti saya carikan jalan,” kata Vodegel.
Soehoed juga ditanyai Kapten Jansen dari IVG mengenai apa yang dilakukannya setelah bebas. Termasuk ditawari apakah mau bergabung ke batalyon federal.
“Saya ingin menyelesaikan dahulu studi saya di Bandung,” jawab Soehoed.
“Ya sudah kalau begitu nanti saya catat. Tunggu saja berita,” kata Kapten Jansen.
Akhirnya Soehoed benar-benar berada di Bandung. Dia tak khawatir lagi dengan orangtuanya di Yogyakarta yang setia kepada RI, karena Sultan Hamengkubuwono IX menolong keluarganya. Soehoed pun kembali kuliah di Technisch Hogeschool (Sekolah Tinggi Teknik) di Bandung, yang kini menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB).
Baca juga: ITB Rayakan Seabad TH Bandung
Begitulah kisah Abdoel Raoef Soehoed semasa revolusi kemerdekaan yang dituangkan dalam biografi berjudul AR Soehoed Menyertai Setengah Abad Perjalanan Republik. Dia terkesan sikap kawan-kawan Belandanya kepadanya yang tidak membiarkan dirinya dalam kesulitan.
Semasa kuliah lagi di Bandung, Soehoed dapat pekerjaan sebagai asisten dari Ir. Begemann di Laboratorium Tanah Pekerjaan Umum. Di tahun terakhir kuliahnya di Bandung itu, seorang perwira navigasi Jawatan Udara Belanda mendatanginya.
Perwira itu bukan Belanda totok atau Indo-Belanda, tapi orang Jawa. Namanya Soegito. Dalam data para perwira Indonesia yang dicatat Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit. De Indonesische Officieren uit het KNIL 1900-1950 (1995:399), Soegito tercatat sebagai letnan Militaire Luchvaart (ML) alias Jawatan Udara Militer Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) dengan nama lengkap Raden Soegito Djajengminardo. Bergabung dengan KNIL sebelum 1943, Soegito merupakan sersan milisi penerbangan yang ditugaskan belajar di Sekolah Penerbangan dan Navigasi di Australia. Sejak 15 Juli 1944 dia menjadi Letnan Kelas Dua Cadangan yang ditugaskan ke dinas khusus, bukan di skuadron tempur udara. Setelah 1945, dia tetap berdinas di KNIL. Umumnya, anggota KNIL di Australia jauh dari jangkauan nasionalisme Indonesia.
Baca juga: Sikap Australia Terhadap Kemerdekaan Indonesia
Namun anehnya, Soegito membawa pesan yang bukan dari atasannya di KNIL sewaktu mendatangi Soehoed.
“Siap-siap untuk menerima perintah selanjutnya,” kata Soegito kepada Soehoed.
Soehoed yang tak paham pun bertanya. “Ini pesan dari siapa?”
“Perintah langsung dari Kepala Staf Suryadarma di Bangka,” jawab Soegito.
KSAU Komodor Suryadi Suryadarma berada di Bangka karena ikut ditangkap dan dibuang Belanda bersama beberapas pejabat teras RI sejak 19 Desember 1948. Bersama Bung Hatta, Mr. Asaat, dan Mr. AG Pringgodigdo, Suryadarma ditahan langsung di Bangka sementara Bung Karno, Sjahrir, dan Agus Salim terlebih dulu dibuang ke Parapat.
Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Kerajaan Belanda, Soehoed aktif kembali ke AURI. Pada periode inilah Soehoed memainkan peran penting dalam tubuh AURI, yang dikenal sebagai “Suyono Affair”.
Baca juga: Panglima AURI pilihan Sukarno
Suyono Affair merupakan konflik antara KSAU Suryadarma dan sekelompok perwira teras AURI di bawah pimpinan Komodor Muda Udara Suyono yang pernah menjadi KSAU Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Konflik dipicu oleh kritik Suyono cs. terhadap kebijakan personel KSAU yang dinilai lebih mengutamakan kesamaan ideologis dan pandangan politik ketimbang kapabilitas dan integritas profesional dalam proses perekrutan sejumlah posisi di pucuk pimpinan AURI. Lalu, KSAU dianggap lebih mementingkan pembentukan Pasukan Gerak Tjepat (PGT), intel, dan pengawasan internal personel dibanding membangun profesionalisme para penerbang.
Suyono yang mengetahui konflik kian meruncing, berinisiatif mengumpulkan sejumlah perwira di kelompoknya untuk mencari solusi pemecahan pada 30 Oktober 1952. AR Soehoed termasuk yang diundang. Mereka lalu mengirimkan surat pernyataan kepada KSAU yang berisi permintaan agar kondisi yang ada ditinjau bersama secara mendalam dan diambil langkah-langkah perbaikan.
Belakangan, surat itu mendapat dukungan dari mayoritas penerbang senior. Maka ketika KSAU hendak menggelar operasi udara menumpas pemberontakan Daud Beureuh, para penerbang menolak terbang. Mereka hanya mau melaksanakan operasi apabila KSAU telah memberi tanggapan terhadap surat Suyono cs.
KSAU yang berang menganggap aksi para penerbang itu gerakan pembangkangan. Tindakan tegas segera diambilnya.
Baca juga: Persahabatan Suryadarma dan Perwira Belanda
“Lima perwira senior AURI yang dianggap sebagai konseptor surat tadi; Komodor Muda Udara H. Suyono, Komodor Muda Udara A.R. Soehoed, Komodor Muda Udara Wiweko Soepono, Komodor Muda Udara Roeslanudanurusamsi dan Komodor Muda Udara Sutardjo Sigit dikenai sanksi tahanan rumah. Puncaknya, keluar Surat Keputusan KSAU yang menetapkan pembebasan tugas kelima perwira AURI tersebut terhitung tanggal 5 Oktober 1953. Keputusan KSAU itu kemudian disebarluaskan, mungkin sebagai peringatan bagi yang lain. Tetapi yang muncul justru reaksi sebaliknya, sekitar 30 penerbang dan perwira teknik mengajukan pengunduran diri dari AURI,” tulis Subdisjarah Diswatpersau dalam Sejarah TNI Angkatan Udara: 1950-1959.
Lantaran konflik di tubuh AURI itu sampai ke pemerintah pusat, penyelesaiannya pun menjadi lama. Terlebih, pergantian kabinet dari Ali Sastroamidjojo ke Burhanuddin Harahap membawa sikap beda dari kedua pemerintahan tersebut.
Soehoed yang –menjabat sebagai Asisten Perwira Staf Teknik di Komando Teknik AURI dengan pangkat mayor udara– mengetahui dirinya masuk ke dalam golongan yang dipermasalahkan, akhirnya memilih mundur dari AURI. Dia lebih memilih memanfaatkan ilmunya di sipil ketimbang di angkatan yang sedang dilanda “kisruh”. Keputusannya tak salah. ia akhirnya menjadi pakar teknik sipil yang dipercaya memimpin berbagai proyek –seperti pembangunan Bendungan Asahan – hingga dipercaya Presiden Soeharto menjadi Menteri Perindustrian di Kabinet Pembangunan III.
“Sebetulnya, ia dapat meneruskan karir militernya, tapi, ia minta berhenti, dan permintaannya dipenuhi Presiden RI dengan SK No. 67/Tahun 1956,” tulis Dharmasena edisi Februari 1997.