Persahabatan Suryadarma dan Perwira Belanda
Beda bangsa dan warna kulit, Suryadarma tetap bersahabat dengan seorang perwira Belanda. Sempat berhadapan di Perang Kemerdekaan.
USAI berpamitan dengan istri dan kedua anaknya, KSAU Komodor Suryadarma selaku tawanan Belanda kembali mengikuti pasukan yang membawanya. Dia dibawa ke Lapangan Udara (Lanud) Maguwo. Di sana Suryadarma kembali bergabung dengan para petinggi pemerintahan Republik Indonesia lain yang juga ditawan, termasuk Presiden Sukarno dan Wapres Moh. Hatta.
Tak lama setelah menginjakkan kaki di Maguwo pada 22 Desember 1948 itu, Suryadarma dikejutkan oleh kedatangan seorang perwira penerbang Belanda berbaret merah. Setelah memberi hormat, perwira itu langsung menjabat tangan Suryadarma. Campur-aduk perasaan Suryadarma ketika membalas jabatan tangan perwira Belanda itu. Suryadarma jelas tak lupa pada perwira Belanda itu.
AL Cox, nama perwira Belanda tadi, merupakan komandan Skadron Air Reconnaissance ke-4 Militaire Luchvaart-Koninklijke Netherlandsch Indische Leger (ML-KNIL) yang berbasis di Semarang. Namun, bukan jabatan Cox yang membuat Suryadarma mengingatnya. Bisa jadi Suryadarma sama sekali tak tahu apa jabatan Cox ketika itu lantaran keduanya lama tak bertemu.
Suryadarma ingat Cox karena keduanya bersahabat. Perkenalan keduanya dimulai saat Suryadarma dan Cox sama-sama menjadi taruna di Akademi Militer Breda. Suryadarma dan Cox berbagi kamar yang sama. Cox pula yang aktif mengajak Suryadarma berkeliling ke berbagai tempat, bahkan hingga ke Belgia atau Denmark. Suryadarma juga diperkenalkan kepada keluarga Cox dan teman-temannya.
Hari-hari indah itu “terhenti” ketika Suryadarma kembali ke tanah air setelah lulus. Keduanya tak pernah lagi bersua. Cox bertugas di negerinya, sementara Letda Suryadarma menghabiskan hari-harinya di tempat tugasnya, Batalion I Infanteri Magelang.
Tak dinyana, cita-cita menjadi penerbang yang diimpikan Suryadarma membawanya kembali bertemu dengan Cox. Saat dia berupaya mewujudkan mimpi itu dengan menjadi pelajar di Sekolah Penerbangan Militer Kalijati, Cox mendapat tugas menjadi instruktur penerbang di sekolah yang sama.
Cox mengetahui Suryadarma amat terpukul oleh peraturan diskriminatif yang diterapkan komandan sekolah Kolonel Van Hasellen. Peraturan itu, mengizinkan hanya perwira kulit putih yang diperbolehkan menjadi penerbang, membuat Suryadarma gagal menggapai mimpinya dan hanya diterima sebagai navigator.
Maka ketika sang kolonel cuti untuk pulang ke Belanda, Cox memanfaatkannya untuk memberi kesempatan pada Suryadarma belajar terbang. Sekitar 30 jam terbang diberikannya sebagai ekstra kepada Suryadarma, meliputi dual training maupun solo cross country.
Bukan hanya itu bantuan yang diberikan Cox. Sekembalinya Kolonel Hasellen dari cuti, Cox menemuinya. Dia meminta Hasellen memberikan kesempatan pada Suryadarma melakukan flight check karena telah menjalankan ekstra flight training dan dinyatakan lulus. Alih-alih menerima saran bawahannya, sang kolonel malah naik pitam. Apa yang dilakukan Cox dianggapnya tanpa seizin dia.
Setelah menemui Suryadarma, Cox langsung memeluk dan meminta maaf lalu menceritakan segalanya. “Di (Suryadi), saya sudah melakukan yang terbaik untuk kamu,” ujar Cox, dikutip Adityawarman Suryadarma dalam Bapak Angkatan Udara Suryadi Suryadarma. Suryadarma hanya bisa pasrah.
Keduanya kembali berpisah setelah Suryadarma lulus dan ditugaskan ke tempat lain. Pendudukan Jepang yang datang tak lama kemudian memberi konsekuensi berbeda pada kedua perwira ML-KNIL itu. Suryadarma memilih desersi dari ML-KNIL dan beralih menjadi polisi Jepang, sementara Cox tetap di militer Belanda sehingga –bersama pasukan Sekutu– berada dalam posisi berlawanan dengan Jepang.
Suryadarma dan Cox tak pernah kontak dan bertemu lagi sejak itu. Suryadarma sibuk mempertahankan kemerdekaan sambil membangun AURI begitu Indonesia merdeka. Sementara, Cox beberapa kali pindah tugas dan menjadi andalan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Bersama Letnan MWC de Jonge dan Letnan Sisselaar, Cox berangkat ke Eropa pada 12 Maret 1946 untuk meneliti tentang pembentukan pasukan para dan meminta bantuan pasukan para Inggris untuk mendukung terlaksananya pelatihan para di bekas Hindia Belanda.
Cox menyelesaikan tugasnya dengan baik. Bersama pasukan para itu, Cox ikut terjun ke Lanud Maguwo. “Secara sangat mendadak, pada tanggal 19 Desember mereka melakukan serangan udara dengan sasaran Lapangan Terbang Maguwo, kemudian menduduki Yogya, ibukota Republik. Pukul 07.59 pesawat Dakota C-47 terbang dalam formasi berbanjar di atas Lapangan Udara Maguwo. Sementara itu, angkasa di atas lapangan menjadi gelap karena sebagian tertutup payung udara yang berkembang, ratusan jumlahnya,” tulis Irna HN Soewito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950.
Baca juga: PC2, Radio Penjaga Eksistensi Indonesia
Kedatangan Cox di Maguwo sesaat sebelum Suryadarma dibuang bersama petinggi republik lain, mengagetkan Suryadarma. Pertemuan itu juga memberi kesan mendalam pada diri Cox. “Kegembiraan kemenangan kita pada waktu itu [saat menyerbu Yogyakarta] menjadi kesedihan karena aku harus berhadapan dengan sahabatku Suryadi, yang karena perkembangan politik, kita sekarang harus berhadapan sebagai musuh,” kata Cox dalam memoarnya, dikutip Adityawarman.
Pertemuan singkat itu sekaligus menjadi perpisahan kembali Suryadarma dan Cox. Suryadarma kemudian dibuang ke Bangka mengikuti Wapres Moh. Hatta dan beberapa menteri lain, Cox sibuk dengan tugasnya mengikuti militer Belanda yang berupaya kembali menguasai Indonesia. Usai perang, Suryadarma sibuk membangun Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), sedangkan Cox pulang ke negerinya.
Tanpa diduga keduanya, Suryadarma dan Cox kembali bertemu pada 1968. Usai menghadiri pameran International Post and Plihatelic di Paris, Suryadarma –saat itu menjabat sebagai presiden Philatelic South East Asia– napak tilas ke Breda dan berkunjung ke rumah J. Lukkien, pilot pesawat yang ditumpangi Suryadarma ketika menjalankan misi pemboman terhadap kapal-kapal perang Jepang.
Baca juga: Operasi Mengebom Kapal Jepang
Cox ternyata ada di rumah Lukkien. Ketiganya pun bereuni. Suryadarma amat gembira. Segala hal di masa lalu yang mereka alami bersama jadi topik obrolan. Suryadarma juga menyampaikan bahwa penolakannya menerima Wing terbangnya dari pemerintah Belanda dimaksudkan untuk menunjukkan kepada AU Belanda bahwa dirinya sebagai navigator (waarnemer) pribumi lulusan Kalijati bukan hanya mampu jadi penerbang tapi juga membangun angkatan udara dari nol sampai menjadi yang terkuat di bumi belahan selatan.
“Malam itu berakhir dengan mereka bertiga saling berpelukan dan saling berdoa Namun, ternyata malam itu merupakan malam perjumpaan terakhir mereka bertiga,” tulis Adityawarman.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar