Hari Komando Pasukan Khusus (Kopassus) diperingati setiap 16 April. Kelahirannya berpangkal dari Kesatuan Komando (Kesko) Tentara Teritorium III Siliwangi. Korps pasukan elite ini tidak lepas dari peran Kolonel Alex Evert Kawilarang, panglima Siliwangi saat itu.
Pada 16 April 1952, Kawilarang meresmikan pembentukan Kesko. Dalam mencetak prajurit Kesko, Kawilarang dibantu Rokus Bernardus Visser sebagai instruktur. Visser yang kemudian lebih dikenal dengan nama Idjon Djanbi merupakan tentara Belanda jebolan Korps Pasukan Khusus (KST).
Dalam perkembangannya, pasukan elite Angkatan Darat ini mengalami serangkaian perubahan wajah. Kesko berganti menjadi Korps Komando Angkatan Darat (KKAD). Pada 1955, KKAD ditingkatkan menjadi Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Ia kemudian bersalin nama lagi mulai dari Pusat Pasukan Khusus Angkatan Darat (Puspassus AD), Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha), hingga saat ini Kopassus dengan ciri khas baret merahnya. Kopassus memiliki motto: “Berani, Benar, Berhasil”.
Perintis Pasukan Khusus
Siapa yang menjadi peletak dasar Kopassus kerap diperbincangkan. Kawilarang disebut mendapat gagasan pembentukannya ketika berdiskusi dengan Letkol Slamet Rijadi. Pada pertengahan 1950, Kawilarang memimpin operasi militer menghadapi pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS). Di bawah Kawilarang, Slamet Rijadi merupakan salah satu komandan pasukan yang memimpin operasi pendaratan.
Dalam pertempuran, mereka dibikin repot oleh pergerakan musuh, yaitu para prajurit eks anggota Resimen Pasukan Khusus KNIL (RST). Kawilarang dan Slamet sepakat bahwa suatu hari nanti militer Indonesia harus meiliki pasukan seperti RST. “Sayangnya, sebelum obsesi itu terwujud, Letnan Kolonel Slamet Rijadi keburu gugur, ditembak brengun musuh di palagan Maluku Selatan,” ujar Julius Pour dalam biografi Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan.
Baca juga:
Kesko Siliwangi, Cikal Bakal Kopassus
Namun, sebagian kalangan menganggap Idjon Djanbi sebagai perintis pasukan komando baret merah ini. Sebagai instruktur pertama, Mayor Idjon Djanbi berperan menempah pasukan berkualifikasi komando yang kemudian teruji dalam menumpas Darul Islam di Jawa Barat. Kawilarang sendiri tidak pernah terang-terangan mendaku diri selaku sosok utama yang membidani Kopassus.
Alih-alih menyebut nama Slamet Rijadi atau Idjon Djanbi, menurut Matia Madjiah dalam Tantangan dan Jawaban, Kawilarang-lah yang berkesempatan lebih dulu untuk membentuk semacam pasukan komando. Ide Kawilarang itu bertepatan dengan penunjukan dirinya sebagai panglima Tentara dan Teritorium I Sumatra Utara pada Februari 1950. Waktu itu, Kawilarang telah membentuk sebuah pasukan komando dengan kekuatan satu kompi dan diberi nama “Kipasko” alias Kompi Pasukan Komando.
Keberadaan Kipasko terkonfirmasi dalam memoar A.E. Kawilarang: Untuk Sang Merah Putih karya Ramadhan K.H. Ketika menjabat panglima TT I, Kawilarang merasa perlu adanya pasukan khusus di Sumatra Utara, serupa pasukan komando baret hijau Inggris dalam Perang Dunia II. Untuk itu, Kawilarang membentuk satu kompi di bawah pimpinan Kapten Boyke Nainggolan. Tanda kompi itu, pada lengannya dipakaikan tulisan Ki-Pas-Ko, yang artinya Kompani Pasukan Komando.
Baca juga:
Boyke Nainggolan, Tragedi Opsir Terbaik
Pada bulan April 1950, latihan dan pendidikan Kipasko baru berjalan dua bulan. Pada saat yang sama terjadi pemberontakan RMS. Kawilarang mesti meninggalkan Sumatra karena pemerintah menujuknya untuk memimpin operasi militer penumpasan RMS.
“Sayangnya, pada bulan itu juga saya dipindahkan ke Indonesia Timur,” kenang Kawilarang.
Kisah Komandan Kipasko
Sepeninggal Kawilarang, Kipasko agak terbengkalai. Menurut buku Pengabdian Korps Baret Merah Abad XX yang disusun Joy Sihotang dkk, Kipasko tidak berlanjut lantaran kekurangan tenaga pelatih maupun instuktur yang memadai. Meski demikian, Kipasko tidak lantas dibubarkan.
Kawilarang menyebut Kipasko diperbesar sampai menjadi satu batalion tetapi latihan komando dihentikan. Ia pun hanya menjadi kesatuan infantri biasa. Batalyon infantri 131 “Melati”, demikian nama kesatuan pasukan yang baru itu. Kapten Boyke Nainggolan tetap menjadi komandannya.
Baca juga:
Perburuan Mayor Boyke Nainggolan
Ketika panglima TT I dijabat oleh Kolonel Maludin Simbolon, Batalyon 131 pimpinan Nainggolan menjadi Batalion Pengawal untuk kota Medan. Pasukan ini turut dilibatkan dalam operasi menumpas pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Aceh. Dalam pertempuran di Takengon, seperti dicatat majalah Gema Bukit Barisan, Vol. XI, No. 3, September 1983, pasukan ini berhasil merebut sepucuk meriam dari tangan gerombolan pemberontak.
Komandan Batalyon 131, Boyke Nainggolan punya reputasi sebagai perwira muda dengan segudang potensi. Audrey Kahin dan George McTurnan Kahin dalam Subversi Sebagai Politik Luar Negeri: Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia menyebut Boyke sebagai perwira tempur terbaik yang dimiliki TNI Angkatan Darat. Karena kecerdasannya, Markas Besar Angkatan Darat kemudian mengirim Boyke ke sekolah staf dan komando Forth Leaven Worth, Kansas, Amerika Serikat. Boyke pun disebut-sebut sebagai perwira kesayangan Jenderal Abdul Haris Nasution.
Baca juga:
Nasib Tragis Anak Emas Jenderal Nasution
Sepulang dari Amerika Serikat (AS), Boyke mengambil jalan perjuangan yang berlawanan dengan pemerintah pusat. Dia kemudian terlibat dalam gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang menentang Jakarta. Bersama pasukan Batalyon 131, Boyke berhasil menguasai kota Medan dalam sehari lewat operasi militer bersandi “Sabang-Merauke”.
“Nainggolan menjalankan aksinya, sudah lama mempersiapkan diri dengan melatih inti gerakannya Batalyon 131 ‘Melati’ dibawah pimpinan bekas Mayor Henry Siregar,” dilansir Madjalah Angkatan Darat, Edisi Februari-Maret 1957.
Kiranya bukan sebuah kebetulan sejarah, karena Alex Kawilarang juga terlibat gerakan yang sama di Sulawesi dalam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Keterlibatannya dalam Permesta semata-mata mengikuti deburan hati yang bersimpati kepada daerah asal tempat para leluhurnya itu. Catatan sejarah tentang Kipasko, cikal bakal pasukan komando itupun seolah terkubur setelah Kawilarang dan Nainggolan memilih bersimpang jalan dengan pemerintahan Presiden Sukarno.
Baca juga: