Kesko Siliwangi, Cikal Bakal Kopassus
Terpesona sepak terjang Resimen Pasukan Khusus milik RMS, Siliwangi membentuk kesatuan komando yang dilatih oleh eks perwira militer Belanda.
MALAM menuju puncaknya. Gulita membekap kawasan Asrama Militer Batujajar, Jawa Barat ketika sekelebat bayangan bergerak cepat di belakang pos penjagaan. Sejurus kemudian, dari bagian belakang, secara kilat bayangan hitam itu membekap prajurit penjaga pos. Sang prajurit tergagap. Dia coba melawan. Namun pitingan tangan yang kuat disertai ancaman pisau komando yang terhunus membuatnya tak bisa berkutik.
“Sang penyergap itu tak lain adalah Visser, instruktur sekaligus komandan kami. Dia memang begitu, nyaris setiap waktu selalu menguji kesiapsiagaan kami sebagai pasukan komando,” kenang almarhum Marzoeki Soelaiman, salah satu anak didik generasi pertama dari Roden Barendrecht Visser alias Mochamad Idjon Djanbi.
Marzoeki juga masih ingat bagaimana aksi Visser saat melakukan latihan penyerbuan dari laut di Pelabuhan Ratu. Dalam skenario, para siswa peserta pelatihan dengan menggunakan beberapa perahu karet akan melancarkan penyerangan ke arah sebuah lapangan udara di muara Sungai Cimandiri.
Namun saat tiba di tengah lautan, mendadak mereka disiram dengan peluru-peluru senapan mesin. Siapa gerangan yang melakukan manuver berbahaya tersebut? Siapa lagi jika bukan Mayor Mochammad Idjon Djanbi.
Baca juga: Agus Hernoto, Legenda Kopassus
Yang mengagumkan, kendati peluru-peluru tajam itu ditembakan dari darat ke laut dalam situasi gelap gulita namun sasarannya tetap terukur sehingga tak seorang prajurit pun tersentuh.
“Kami hanya menyaksikan peluru-peluru itu jatuh tak lebih satu meter jaraknya dari perahu kami” kenang eks anggota Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) generasi pertama itu.
Selain penyerangan dari laut, sebelumnya para siswa pelatihan pasukan khusus itu dibekali juga dengan pengetahuan survival, perang hutan, membaca gelombang, belajar mendayung secara efektif dan melancarkan penyerangan senyap.
“Visser benar-benar membentuk kami sebagai prajurit komando yang tangguh dan teruji di berbagai medan,” ujar Marzoeki.
Panglima operasi penumpasan Republik Maluku Selatan (RMS) Kolonel A.E. Kawilarang tak pernah bisa melupakan musuhnya. Sebagai orang militer, dirinya merasa terpesona dengan pergerakan para prajurit eks anggota RST (Resimen Pasukan Khusus KNIL) tersebut.
“Mereka mampu berpindah ke sana ke mari untuk mengacau kedudukan musuh,” ungkap Kawilarang kepada penulis Julius Pour dalam buku Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan
Menurut Kawilarang, keleluasaan dalam mobilitas itu bisa dilakukan karena kekuatan eks pasukan Baret Hijau dan Baret Merah itu sangat ramping: hanya terdiri dari beberapa unit kecil. Kendati demikian, secara individu mereka terdiri dari prajurit-prajurit yang memiliki ketrampilan tempur yang mumpuni terutama dalam pergerakan senyap.
Baca juga: Misteri Penamparan Soeharto
Ketika berdiskusi dengan Letnan Kolonel Slamet Rijadi, koleganya dari Jawa Tengah yang juga terlibat dalam penumpasan RMS, soal itu sempat menjadi perbincangan serius. Di akhir diskusi, kedua perwira kharismatik tersebut sepakat bahwa suatu hari militer Indonesia harus memiliki sejenis kesatuan seperti itu.
“Sayangnya, sebelum obsesi itu terwujud, Letnan Kolonel Slamet Rijadi keburu gugur, ditembak brengun musuh di palagan Maluku Selatan,” ujar Julius Pour.
Dua tahun Kawilarang memendam mimpinya memiliki sebuah kesatuan pasukan komando. Hingga pada awal 1952 saat dirinya diangkat sebagai Panglima Tentara Teritorium III Siliwangi (sekarang Kodam III Siliwangi), dia berkesempatan mewujudkan obsesinya tersebut menyusul semakin mengganasnya serangan para gerilyawan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan S.M. Kartosoewirjo di Jawa Barat.
Langkah pertama yang dilakukan Kawilarang adalah berdiskusi dengan Kepala Seksi I Mayor Inf. Djuchro dan salah satu staf kepercayaannya, Mayor Soewarto. Dari perbincangan itu lantas muncul nama Rokus Bernardus Visser, seorang Belanda kelahiran 1914 yang pernah menjadi anggota KST (Korps Pasukan Khusus) Angkatan Darat Kerajaan Belanda.
Visser merupakan prajurit pasukan khusus yang pernah dididik Resimen Pasukan Payung Inggris. Pada September 1944, bersama kesatuan lintas udara Amerika Serikat, Visser sempat diterjunkan di Arnhem, Belanda dan terlibat pertempuran melawan tentara Jerman dalam Operasi Market Garden. Usai berakhirnya Perang Dunia II, dia kemudian bergabung dengan KST dan sempat ikut terlibat dalam pembentukan lembaga pendidikan pasukan payung.
Baca juga: Aksi Brutal Baret Hijau
Saat berpangkat kapten, Visser mengundurkan diri dari militer Belanda. Dia lantas menikahi seorang gadis Sunda bernama Suyatni dan merintis usaha perkebunan bunga di Lembang. Setelah memeluk agama Islam, Visser merubah namanya menjadi Mochamad Idjon Djanbi.
Djanbi sebelumnya pernah didapuk oleh Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) untuk menjadi instruktur dalam suatu program bernama Combat Intelligence Course (CIC) di Bogor pada 1950. Salah satu yang menjadi siswa CIC angkatan pertama adalah Letnan Dua Aloysius Sugiyanto, eks ajudan Kolonel Kawilarang.
“Jadilah saya diperintahkan oleh Pak Kawilarang untuk berangkat ke Lembang dan membawa Pak Idjon Djanbi ke Bandung menghadap Pak Kawilarang,” kenang Aloysius, berusia 92 tahun.
Sesampai di Bandung, Djanbi diminta Kawilarang untuk merintis pembentukan satu kompi pasukan komando di lingkungan Siliwangi. Upaya itu diawali dengan membentuk perwira-perwira berkualifikasi komando. Tanpa banyak bernegoisasi lagi, Djanbi mengiyakan permintaan Kawilarang. Sebagai syarat pengangkatannya dia hanya meminta pangkat mayor.
“Alasannya pangkat dia harus lebih tinggi dibanding para calon siswanya yang sudah ada berpangkat kapten,” ungkap Aloysius.
Kawilarang setuju. Sebagai wakil Idjon Djanbi, diangkatlah Kapten Marzoeki Soelaiman, eks prajurit Divisi Siliwangi dari Batalyon Kala Hitam. Diangkatnya Marzoeki karena dia dianggap sangat mengerti bahasa Belanda.
“Sebab selain menjadi pelancar komunikasi antar anggota pasukan, tugas saya juga adalah menerjemahkan bahan-bahan pelatihan pendidikan komando dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia,” ujar Marzoeki.
Baca juga: Ke Jakarta Kami Kembali
Singkat cerita, pelatihan pun berjalan lancar. Setelah menghabiskan waktu selama dua bulan di hutan-hutan Gunung Burangrang, Pelabuhan Ratu dan Pulau Nusakambangan, maka calon kesatuan khusus itu telah memiliki 8 perwira berkualifikasi komando.
Pada 16 April 1952, Kawilarang meresmikan pembentukan Kesatuan Komando (Kesko) Tentara Teritorium III Siliwangi. Karena jumlah instruktur dinilai masih kurang, maka Idjon menghubungi para mantan tentara Belanda asal Indonesia Timur yang dulu pernah menjadi anak didiknya untuk bergabung dengan Kesko.
Selanjutnya pendidikan pasukan khusus pun digelar. Sekira 400 prajurit dari berbagai kesatuan di Siliwangi mendaftar. Namun setelah lima bulan dididik dalam suatu penggojlokan yang sangat keras, termasuk terjun langsung dalam operasi-operasi perburuan gerilyawan DI/TII, hanya tersisa 242 prajurit yang mampu bertahan dan dinyatakan lulus. Merekalah prajurit-prajurit komando pertama di Indonesia.
Baca juga: Pertarungan Dua Resimen
Kegemilangan pasukan berbaret coklat itu dalam berbagai operasi militer di Jawa Barat membuat MBAD tertarik untuk mengadopsinya sebagai pasukan khusus di Angkatan Darat. Maka pada 18 Maret 1953, resmilah Kesko TT III Siliwangi menjadi Korps Komando Angkatan Darat (KKAD) dengan baret merah darah sebagai ciri khasnya.
“Dua tahun kemudian (25 Juli 1955), KKAD berubah menjadi RPKAD,” ungkap Aloysius.
Pada 12 Desember 1966, RPKAD berganti nama menjadi Pusat Pasukan Khusus Angkatan Darat (Puspassus AD). Lima tahun kemudian berubah lagi menjadi Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha).
Terakhir pada 26 Desember 1986, Kopassandha merubah dirinya menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Sampai detik ini, nama itu terus melekat untuk pasukan baret merah tersebut.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar