Sehari sebelum balatentara Jepang masuk kota Bengkulu pada 23 Februari 1942, Sukarno yang sedang menjalani pembuangan di sana kedatangan dua polisi Hindia Belada. Sukarno diperintahkan untuk segera mengemasi barang-barangnya.
“Tuan akan dibawa keluar,” kata salah satu polisi itu. “Malam ini juga. Dan jangan banyak tanya. Ikuti saja perintah. Tuan sekeluarga akan diangkut tengah malam nanti. Secara diam-diam dan rahasia. Hanya boleh membawa dua kopor kecil berisi pakaian. Barang lain tinggalkan. Tuan akan dijaga keras mulai dari sekarang, jadi jagan coba-coba melarikan diri,” sambungnya sebagaimana dikutip Sukarno dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Meski tetap berupaya tenang dan menenangkan Sunarti, anak angkatnya yang berusia delapan tahun dan sedang bermain bersamanya, Sukarno cemas mendapat pemberitahuan itu. Kecemasannya datang dari kabar dia bakal diungsikan ke Padang untuk selanjutnya diangkut ke Australia.
“Perasaanku kacau-balau. Meninggalkan kota Bengkulu berarti meninggalkan tempat pembuanganku. Mengingat akan hal ini aku gembira. Akan tetapi pergi ke Australia berarti menuju tempat pembuangan yang baru. Kalau ini kuingat, hatiku jadi susah,” kata Sukarno.
Baca juga: Korupsi di Bengkulu Tempo Dulu
Toh, Sukarno dan keluarganya tetap dibawa keluar Bengkulu menuju Padang. Kepergian itu meninggalkan banyak kesan bagi Sukarno. Bengkulu merupakan tempat pembuangan yang tak hanya menambah kekayaan pengetahuannya mengenai kehidupan bangsanya tapi juga memberi banyak kesempatan berkenalan dengan banyak orang yang di kemudian hari menjadi orang-orang yang dipercayainya dalam memimpin negeri. AH Nasution, Abdul Karim Oei, Hamka, Hasjim Ning, semua dikenal pertamakali oleh Sukarno di Bengkulu. Perkenalan itu memberi kesan pada masing-masing tokoh.
Nasution mengenang perkenalan itu dalam otobiografinya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 1. “Semula saya kira bahwa beliau hidup sebagai seorang tawanan yang dijaga, tapi nyatanya beliau di dalam distrik bebas bergerak, walaupun tentu ada mata-mata penjajah. Saya menumpang sementara pada rumah kepala sekolah, yang berada satu lorong dengan Bung Karno, dan pada hari-hari petrama itu saya telah diperkenalkan kepada beliau. Rumah Bung Karno berada di antara rumah yang saya tumpangi itu dengan sekolah, sehingga biasanya sambil jalan, saya dapat bertatap muka dan saling memberi salam,” tulis Nasution.
Dalam kehidupan pribadi, Sukarno bertemu dengan Fatmawati juga di Bengkulu. Fatmawati kemudian menjadi ibu negara setelah Sukarno dipercaya menjadi presiden pertama ketika Indonesia merdeka.
Sebagaimana di Ende, di Bengkulu Sukarno juga tetap beraktivitas dalam seni peran. Dia mendirikan grup sandiwara yang pentas dari satu tempat ke tempat lain. Anggotanya terdiri dari anak-anak dan pemuda setempat. Lantaran ketatnya pengawasan aparat kolonial, grup sandiwara itu hanya bisa pentas keliling di dalam distrik tempat tinggalnya.
Baca juga: Ujung Dunia Sang Orator
Hanya sekali grup sandiwara itu pentas di luar distriknya, yakni ketika mengisi sebuah acara malam amal di luar distrik. “Ini terjadi tepat setelah Residen baru menggantikan pejabat lama yang saya kenal baik. Orangnya sejenis manusia yang menghamba kepada peraturan,” kata Sukarno.
Pentas sandiwara amal itu bisa terwujud setelah melalui jalan lumayan panjang. Residen baru tak ingin ambil risiko dengan begitu saja memberi izin Sukarno beserta grup sandiwaranya pentas di luar distrik. Untuk itulah sang residen memerlukan mengirim telegram kepada gubernur jenderal di Batavia mengenai boleh-tidaknya memberi izin pentas pada Sukarno. Izin baru dikeluarkan residen setelah mendapat telegram balasan dari gubernur jenderal yang berbunyi, “Saya gembira mendengar bahwa Ir. Sukarno tidak lagi berpolitik dan memusatkan perhatiannya pada pertunjukan sandiwara.”
Dalam pertunjukan untuk malam amal itu, grup sandiwara pimpinan Sukarno berhasil main dengan baik. Salah satu anggota grup yang bermain apik adalah Manap Sofiano. Permainannya malam itu mengesankan Sukarno.
Namun, Manap Sofiano pula yang suatu hari berulah hingga membuat Sukarno sial. Kisahnya bermula dari ketika Sofiano membeli piano dalam sebuah pelelangan. Kepada petugas lelang, dia mengatakan bahwa piano itu akan dibayar oleh Sukarno. Padahal, dia tak pernah memberitahu hal itu kepada Sukarno. Mendengar nama Sukarno, petugas lelang langsung percaya. Sofiano baru memberitahu Sukarno setelah mendapatkan piano itu.
Tiga bulan berselang, Sofiano hendak pindah rumah. Sukarno pun langsung menemuinya. “Hee, tinggalkan dulu surat perjanjian yang diketahui oleh kepala kampung dan yang menyatakan bahwa engkau berjanji hendak membayarnya. Dengan begitu, kalau sekiranya kau lupa, saya mempunyai dasar yang sah,” kata Sukarno meminta perjanjian tertulis soal transaksi yang menyeret namanya itu.
Begitu bulan berganti bulan hingga beberapakali, Sukarno tak juga mendapat kabar dari Sofiano. Padahal, namanya masih tersangkut dalam transaksi pembelian piano Sofian yang belum beres. Sementara, uang untuk sekadar menalangi pembayaran tak dimiliki Sukarno. Maka ketika hampir tiba jatuh tempo, Sukarno mengirim surat kepada Sofiano. “Sudah sampai waktunya. Bayar sekarang, kalau tidak, akan saya ajukan ke depan pengadilan,” demikian bunyi surat Sukarno.
Beberapa waktu kemudian, datang surat balasan dari Sofiano. “Saya tidak menyusahkan diri saya sendiri, akan tetapi saya mempunyai lima orang anak. Kalau saya masuk penjara, mereka akan terlantar,” kata Sofiano.
Mendapat balasan begitu, Sukarno pun dongkol dan bingung. Dia mesti mencari cara untuk melunasi piano yang dibeli Sofiano. “Saya kemudian membayar membayar utang sejumah 60 rupiah itu. Di samping itu, dia seorang pemain yang baik, sehingga saya dapat memaafkan segala-galanya,” kata Sukarno.