Ujung Dunia Sang Orator
Sukarno terasing dalam keheningan Ende. Sebuah kisah murung namun memberi semangat dan inspirasi.
Tiba di Ende pada 14 Januari 1934 dengan kapal Van Riebek, tak ada yang menyambut kedatangannya. Hanya beberapa petugas kolonial dan polisi yang selalu menaruh curiga.
Sukarno mulai menjalani masa pengasingan di Ende akibat aktivitas politiknya yang dianggap membahayakan pemerintah kolonial. Api semangatnya hampir padam. Beruntung, Inggit Garnasih, istrinya, selalu setia menemani. Begitu pula Ibu Amsi dan Ratna Djuami, mertua dan anak angkat Sukarno. Mereka tinggal di rumah yang disediakan pegawai pemerintah. Tak betah karena kurang layak, mereka menyewa sebuah rumah sederhana di Kampung Ambugaga di pelosok Ende –kini menjadi situs cagar budaya yang dilindungi pemerintah.
Kehidupan di Ende awalnya begitu berat bagi Sukarno. Dia tak menemukan lawan bicara politik yang sepadan. Maklum, penduduk Ende mayoritas nelayan dan petani kelapa yang buta huruf. Sukarno merasa teralienasi. Dia lebih sering melamun di rumah.
Namun perlahan, dengan kharisma dan tekadnya, dia berbaur dengan penduduk setempat. Dia mendirikan perkumpulan Sandiwara Kelimutu untuk menyalurkan bakat seninya sekaligus mengekspresikan ide-ide perjuangan. Dia mendalami agama Islam, dengan rutin melakukan surat-menyurat dengan T.A. Hasan, tokoh Islam dari Bandung, atau menggelar pengajian di rumahnya. Dia juga bergaul dengan pedagang Tionghoa yang membantunya menyeludupkan barang-barang dari Jawa hingga seorang pemberontak yang menawarinya untuk kabur.
Suatu ketika dia kehabisan stok buku untuk dibaca di rumah. Dia lalu mengunjungi Katedral Ende, yang berlanjut pada jalinan keakrabannya dengan para misionaris Katolik di sana. Dia menemukan teman berdiskusi, terutama dengan Pater Huijtink SVD.
“Bagaimana kamu menempatkan ibumu yang Hindu, orang Budha dan Katolik di tanah yang kebanyakan beragama Islam?” tanya Pater Huijtink dalam satu adegan berlatar Danau Kelimutu.
“Pertanyaan itu yang saya sedang pikirkan jawabannya, Bapa,” jawab Sukarno.
Di akhir film, Sukarno menemukan jawabannya. Renungan di bawah pohon sukun berbuah butir-butir gagasan penting yang kemudian dikenal dengan Pancasila.
Sukarno menjalani pengasingan di Ende selama 4 tahun 9 bulan. Karena terkena malaria, kawan-kawan politiknya mendesak pemerintah kolonial untuk memindahkannya. Pada 18 Oktober 1938, Sukarno meninggalkan Ende menuju Bengkulu.
[pages]
Mereproduksi Keheningan Ende
Pengasingan di Ende hanyalah salah satu keping perjalanan hidup Sukarno. Periode ini terasa getir. Sukarno gundah ketika harus hidup di tengah-tengah masyarakat Ende yang nonpolitis. Tak ada massa, hanya keheningan yang ditemuinya di Ende. Ini membuat Sukarno berubah dari seorang jago pidato yang berapi-api menjadi pemurung yang gundah.
“Dalam segala hal Ende di Pulau Flores yang terpencil itu merupakan ujung dunia bagiku,” ujar Sukarno memulai cerita pengalamannya selama diasingkan di Ende kepada Cindy Adams dalam otobiografinya.
Namun, justru periode inilah yang menarik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengangkatnya ke layar lebar. Kementeriaan menyediakan dana Rp 8 milyar.
“Pengerjaan film ini didahului riset sejarah yang dikerjakan oleh tim,” ujar Egy Massadiah, produser eksekutif, dalam sesi tanya-jawab singkat seusai pemutaran film di Universitas Indonesia awal Desember lalu. Tim ini dikoordinasi Kacung Maridjan dari Direktorat Jenderal Kebudayaan. Anggotanya: Peter Kasenda, Roso Daras, Agnes Sripoerbasari, Zen Tito Asmarahadi, Peter A. Rohi, dan Giat Wahyusi.
Pengambilan gambar sepenuhnya dilakukan di Ende selama sebulan, terhitung sejak 28 September 2013. “Tim visual dan animasi dari Bandung juga disiapkan untuk merekonstruksi bentang alam Ende yang kini berubah akibat pembangunan menara-menara radio,” lanjut Egy.
Beberapa anggota keluarga Sukarno menyetujui dan mendukung pembuatan film ini. Bahkan empat lembar kain sarung asli milik Inggit dipinjamkan kepada Paramitha Rusady selama proses pengambilan gambar.
Hasilnya?
Menghidupkan kembali sosok Sukarno saja sulit, apalagi menelisik pergulatan batinnya. Baim Wong cukup tepat memerankan Sukarno dalam versi hening seperti ini. Paramitha Rusady sebagai Inggit Garnasih juga berperan dengan baik. Hans de Kreker berperan apik sebagai Pater Huijtink, yang juga menambah kental bumbu-bumbu intelektualitas dalam berbagai adegan diskusinya dengan Sukarno menggunakan bahasa Belanda.
Pilihan angle pengalaman hidup Sukarno di Ende tentu membawa risiko: alur cerita terasa datar. Temponya begitu lambat tanpa klimaks. Praktis, film ini menjemukan, terutama 30 menit terakhir.
Memang ada beberapa momen jenaka yang membuat penonton terbahak-bahak. Seperti adegan tukang labu yang mondar-mandir di rumah Sukarno sehingga ditegur polisi. Merasa kasihan, Inggit memborong labu itu. Begitu membelahnya, dia menemukan surat seludupan. Sukarno ikut terkaget namun puja-puji pun meluncur dari mulutnya. Namun kejenakaan saja tak cukup membuat film ini menjadi menarik.
[pages]
Mengkritisi Sejarahnya
Kendati periode Sukarno di Ende terbilang singkat, tak semua fakta sejarah masuk dalam cerita. “Karena keterbatasan durasi, memang beberapa fakta sejarah yang tidak sempat dimasukkan bahkan ada beberapa adegan sudah jadi mesti dipotong,” ujar Egy.
Jika merujuk otobiografinya, hal itu benar adanya. Misalnya, Sukarno baru mendengar berita kematian mentornya, Tjokroaminoto, selama di pengasingan. Atau upaya Sukarno membersihkan diri dari segala takhayul dan mistis yang dipercayainya dapat menolongnya selama masa perjuangan; sebuah batu giok akhirnya dia jual ke seorang saudagar kopra. Sisi unik Sukarno sebagai pecinta hewan pun tak muncul, mengingat Sukarno tercatat memelihara puluhan kucing yang menjadi sahabatnya selama di Ende.
Kendati demikian, aspek sejarah dalam film ini ditampilkan dengan cukup baik dan sesuai porsinya, meski masih ada beberapa kesalahan minor yang layak dikritisi. Misalnya, reaksi Sukarno terhadap para polisi yang selalu membuntutinya. Kontras dengan sikap tak acuh yang ditampilkan dalam film, Sukarno sebenarnya amat kesal sampai-sampai dia mengerjai mereka dan melayangkan protes resmi kepada kepala polisi.
Film ini juga memberikan santapan visual yang luar biasa: bentangan alam Ende yang indah. Laut, bukit gunung, dan Danau Kelimutu menjadi teman Sukarno merenungkan nasib dan gagasan-gagasannya. Melihat Sukarno dalam suasana seperti itu, ada sensasi tersendiri bagi para penonton dan penikmat sejarah Sukarno.
Secara umum, film ini cukup baik dalam merekonstruksi salah satu kepingan sejarah Sukarno. Pesan utama dalam film ini adalah pentingnya perjuangan tak kenal menyerah meski sedang dibelenggu musuh. Belanda mengira bisa memenjarakan hati Sukarno dengan mengasingkannya di Ende, namun Sukarno justru menemukan sesuatu yang lebih besar. “Aku telah menemukan falsafah fundamental penting, untuk Indonesia,” ujar Sukarno.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar