Tuan Tanah Menteng Diadili
Sebelum Menteng jadi perumahan elite, tuan tanahnya kena masalah hukum. Kini Menteng tetap perumahan elite.
MENTERI Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait alias Ara belum lama ini menjadi sorotan. Mantan politikus PDIP itu dikabarkan membelikan rumah seorang nenek bernama Hasna di Tanah Tinggi, Johar Baru, Jakarta Pusat. Pembelian rumah milik tetangga Nenek Hasna itu dilakukan Ara untuk memperluas tempat tinggal sang nenek yang, tinggal bersama keluarganya berjumlah 13 orang, hanya berukuran 2 x 3 meter.
Langkah positif Ara itu seolah menutup “kontroversi” Ara sebelumnya. Dikabarkan, Ara memiliki rumah mewah di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Hal itu diungkapkan oleh politikus senior PDIP Panda Nababan.
“Datanglah aku ke rumah itu, kaget juga aku. ‘Besar banget rumahmu ini’ aku bilang, hebat banget aku bilang, kan,” kata Panda, dikutip tvonenews.com, 18 Oktober 2024.
Kabarnya, harga rumah tersebut mencapai 100 milyar rupiah. Ara mendapatkannya dengan bantuan salah seorang konglomerat.
Baca juga: Tur di Kawasan Menteng
Menteng, tempat rumah Ara berada, merupakan kawasan elite sejak era kolonial hingga hari ini. Penghuninya umumnya pejabat teras dan kaum berkantong tebal. Sebab, harga tanah di sana bukan kaleng-kaleng.
Keberadaan Menteng sebagai perumahan elite pertama di Indonesia tak lepas dari keinginan orang Eropa lebih dari seabad untuk memiliki hunian sehat di dekat ibukota Hindia Belanda. Menurut Restu Gunawan dalam Gagalnya Banjir Kanal, waktu Kotapraja Batavia terbentuk, orang Belanda sudah berpikir tentang pembangunan perumahan yang sehat. Perumahan Menteng adalah jawaban atas keinginan itu.
"Kotapraja yang baru didirikan ini bermaksud supaya tanah yang baru diperoleh ini digunakan untuk daerah permukiman bagi masyarakat golongan atas," tulis Adolf Heuken dalam Menteng Kota Taman Pertama di Indonesia.
Baca juga: Rumah Para Pemimpin Jakarta di Menteng
Menteng dibangun secara modern. Menurut Heuken, yang membangunnya adalah perusahaan real estate bernama NV De Bouwploeg (baca: Boplo), yang sejak 1908 telah membeli tanah di daerah tersebut dengan nilai 238.870 gulden.
Sebelum dikembangkan NV De Bouwploeg, kawasan Menteng adalah milik seorang tuan tanah (landheer) Arab, keluarga Shahab, sejak 1890-an. Sebelumnya lagi, kawasan tersebut milik tuan tanah Belanda HJ van Zadelhoft dan van der Bergh.
Sebelum tanah itu berpindah ke Bouwploeg, kehebohan terjadi di Menteng. Koran Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië tanggal 22 Februari 1908 memberitakan, tuan tanah Menteng menganiaya penghuni tanah partikelir itu pada akhir Februari 1908.
Akibat perbuatan itu, pada bulan berikutnya mereka diadili di Landrad (pengadilan negeri). Algemeen Handelsblad tanggal 23 Maret 1908 memberitakan sang tuan tanah Said Ali bin Sjahab bersama anaknya yang bernama Said Abdul Mutalib, mandornya, dan juragan kepercayaannya dituduh telah main hakim sendiri terhadap gelandangan yang berada di tanah partikelir milikinya –di mana Said Ali punya 6 properti dan bangunan di atasnya.
Sang tuan tanah geram lantaran beberapa gelandangan tersebut menolak membayar compenian atau corvee (pungutan atau kewajiban) –bisa berupa uang atau kerja wajib– sebagi penghuni tanah partikelir tersebut. Gelandangan itu lalu dirantai dan digiring ke Landhuis. Said Ali dkk. terancam hukuman penjara 2 tahun hingga 5 tahun penjara.
Baca juga: Rekreasi dan Beraksi di Taman Suropati
Said Abdul sang anak lalu dijatuhi hukuman 10 bulan kerja paksa. Koran Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië tanggal 10 November 1908 memberitakan bahwa permohonan pengampunan yang diajukan oleh Said Abdul Mutalib bin Ali bin Shahab telah ditolak.
Tahun-tahun berikutnya, tanah Menteng mulai dibeli untuk dijadikan perumahan. Proses pemindahan penghuninya berjalan perlahan. Tampaknya, ada rumah pribadi di sekitar kawasan partikelir yang dikuasai Said Ali Shahab.
Para penghuni Menteng itu, menurut Budayawan Alwi Shahab dalam Saudagar Baghdad dari Betawi, dipindahkan ke daerah Karet. Ada ganti rugi untuk mereka.
“Mereka yang tergusur itu telah meninggikan tuntutan ganti rugi dari lima sen menjadi lima perak (gulden) permeter persegi. Kita perlu mengacungkan jempol pada Syarikat Islam (SI) yang dengan gigih membela para penduduk hingga mereka mendapatkan ganti rugi yang layak saat penggusuran,” kata Alwi Shahab.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar