Tempat-Tempat Pacaran Tempo Dulu
Di Ancol, bujang dan dara berpacaran sembari belajar hewan air. Di Ragunan, tukang potret keliling mengekalkan momen manis sejoli.
"Sudah pernah pacaran? Kan senang, bahagia… Makanya tidak boleh diganggu." Itulah jawaban Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta 1966–1977, ketika wartawan bertanya apakah dia tidak khawatir dituduh sebagai gubernur sekuler. Selama hayatnya mengatur Jakarta, dia mengupayakan wujudnya tempat hiburan layak dan murah untuk warga.
Sebagian tempat itu jadi pilihan utama bujang dan dara semasa untuk berpacaran. Mereka betah berlama-lama di tempat itu. Mau ngobrol sambil duduk atau jongkok, meremas-remas tangan, makan panganan kecil, bersumpah setia sehidup semati, atau sampai meninggalkan bekas merah di leher masing-masing, aman-aman saja.
Tak ada lagi orang berlagak menjadi polisi susila. Sebelum Ali Sadikin menjabat, orang jenis ini sering muncul, bertanya tentang kartu identitas atau surat nikah kepada bujang dan dara yang mabuk asmara di suatu tempat.
"Saya sengaja melarang orang yang lagi pacaran diganggu. 'Awas lu ya, kalau mengganggu!'" kata Ali Sadikin dalam Tiara, 4 Agustus 1991. Ancaman ini bikin polisi susila lesap dari peredaran.
Baca juga: Asal Usul Hari Valentine
Ali Sadikin memberi kaum muda kesempatan untuk menggunakan ruang publik sebagai tempat pacaran. Alasannya, orang mustahil pacaran di kampung-kampung padat. Bayangkan, satu rumah kecil berisi kakek-nenek, ayah-ibu, dan para sanak saudara. Halaman tak ada. Lebar gang cuma semeter. Mana enak untuk pacaran.
"Nah, orang tidak mengerti itu, bagaimana sengsaranya hidup rakyat jelata itu," kata Ali Sadikin. Dari pendalaman tersebut, dia upayakan ruang publik untuk kebutuhan bujang dan dara yang berpacaran. Dia hanya melarang mereka melakukan dua hal di ruang publik: melacur dan berzina.
"Kalau mau berzina di lain tempat. Apa itu dianggap sekuler? Saya tahu rakyat tidak mampu dan kewajiban saya untuk menyediakannya," kata Ali Sadikin.
Lalu di mana saja tempat-tempat pacaran bujang dan dara yang aman, murah, dan asyik semasa itu?
Ancol
Ancol adalah lokasi paling sering dikunjungi oleh bujang dan dara. Letaknya di utara Jakarta, daerah pesisir. Aman sekali dari jawilan orang-orang iseng sok moralis. Tersebab Ali Sadikin menjamin betul-betul kenyamanan bujang dara berpacaran. Bahkan polisi pun dilarang masuk.
"Dia juga mengusir polisi dari Taman Ria Ancol, agar orang-orang muda yang berkasih-kasihan tidak diganggu atau diperas," kenang Ajip Rosidi dalam Hidup Tanpa Ijazah.
Ancol tadinya tempat menyeramkan. Hutan lebat, hamparan rawa-rawa gelap, penuh ular, kera, dan nyamuk. Orang takut memasukinya. Ungkapan populernya tempat jin buang anak.
Baca juga: Ancol Bercitarasa Indonesia
Soemarno, Gubernur Jakarta 1960–1964, mendapat mandat dari Presiden Sukarno untuk mengubah Ancol jadi tempat rekreasi, perumahan, dan industri. Tapi mandat itu terhambat. Tak ada dana untuk menjalankannya hingga masa Soemarno berakhir.
Ali Sadikin, pengganti Soemarno, juga belum menunjukkan kemampuan untuk menjalankan mandat itu.
Semua berubah dengan kemunculan Ciputra. Dia tengah menggarap perbaikan Pasar Senen. Kerjanya cukup bagus.
Nama Ciputra mulai sohor di kalangan pejabat daerah. Dia menyatakan sanggup mengubah Ancol sesuai mandat Presiden Sukarno. Dia juga bilang akan berbagi cuan dengan pemerintah daerah. Ali Sadikin mempersilakan Ciputra mengerjakan Ancol.
Kerja bareng Ciputra dan pemerintah daerah berbuah manis. Ancol bersalin rupa. Dari hutan dan rawa-rawa menjadi pantai bersih, indah, modern, ditambah bioskop kendara (drive-in), dan gedung akuarium. Jin pun tak bisa lagi buang anak di sini.
Baca juga: Mengenang Bioskop Drive-In ala Ciputra
Orang-orang datang menikmati senja di pantai. Bujang dan dara memilih naik perahu. Jika bosan dengan perahu, mereka bisa masuk gedung akuarium. Di sini mereka pacaran sembari mempelajari hewan-hewan laut.
"Penting juga kan pacaran sambil belajar ilmu hewan air? Ingat cerita dalam Layar Terkembang karangan Sutan Takdir Alisjahbana? Di akuarium besar ini percintaan dimulai," ungkap redaksi Midi, 31 Agustus 1974, dalam "Tempat2 Pacaran di Jakarta yang Aman, Asyik, Murah".
TIM dan Monas
Dari wilayah utara, bujang dan dara biasanya meneruskan pacaran ke wilayah tengah. Di sini ada dua ruang publik favorit mereka: Taman Monas dan Taman Ismail Marzuki (TIM).
Masuk Taman Monas gratis. Tempatnya lapang dan hijau. Ada air mancur bergoyang pula. Sesuatu yang masih jarang tersua di Jakarta. Kalau seorang bujang mengajak daranya ke sini, kebanyakan calon mertua akan senang dan bangga. Calon mertua mana yang tidak rela anaknya diajak melihat sesuatu yang belum ada?
Baca juga: Dari Lapangan Kerbau Sampai Lapangan Monas
Masalah utama Taman Monas ialah terlalu ramai. Ia terletak begitu strategis di tengah kota. Ia bisa dijangkau oleh siapa pun dari mana saja. Maka kalau bujang dan dara ingin sedikit suasana sepi, mereka bergerak ke TIM.
TIM dibuka pada 10 November 1968 oleh Ali Sadikin. Asalnya tempat ini untuk para seniman berkumpul, berdiskusi, dan menampilkan karyanya. Tapi TIM juga menyediakan taman dan planetarium. Ada pepohonan rindang, kursi panjang, teropong bintang, dan teater untuk menyaksikan pertunjukan benda-benda langit.
Bujang dan dara yang berpacaran di sini punya alasan bagus kepada orang tuanya. Katakanlah mau sedikit berbudaya. Supaya kelihatan beda di depan calon mertua. "Mau nonton drama kek, mau nonton pameran lukisan kontemporer kek," ungkap Midi.
Baca juga: Cerita Awal Taman Ismail Marzuki
Suasana di dalam TIM sangat mendukung bujang dan dara meningkatkan kualitas pacarannya. Senimannya toleran sekali dan mudah diajak ngobrol tentang segala hal. Dari filsafat, budaya, tradisi, karya seni kontemporer, sampai membaca tanda-tanda perubahan zaman. Obrolan dengan para seniman penting bagi bujang dan dara untuk berlatih mempelajari tanda-tanda perubahan dalam diri pasangannya masing-masing.
Jika mau merasakan pacaran di bawah bintang-gemintang sembari merenungi betapa kecilnya diri di alam semesta, bujang dan dara tinggal melangkah sedikit masuk ke Planetarium.
"Selama ini tidak banyak yang masuk, hingga nggak usah kuatir bakalan penuh. Apalagi pada keadaan tertentu tempatnya menjadi gelap 100%. Jadi sambil mempelajari tata surya langit, sempat mempelajari tata surya sang pacar," ungkap Midi.
Ragunan
Setelah bosan bertemu sesama manusia dan benda-benda angkasa, bujang dan dara seringkali menjajal pacaran bersama hewan-hewan. Bergerak ke selatan, berjarak 15 kilometer dari TIM, sampailah di Taman Margasatwa Ragunan.
Ragunan adalah pindahan kebun binatang Cikini. Ragunan menjadi tempat ideal bagi bujang dan dara berkantong kempes. Uang masuk cuma Rp100. Sangat terjangkau oleh kebanyakan bujang dan dara. Murah tapi sepi. Sebab luas tempatnya mencapai 160 hektar. Banyak pepohonan dan rerumputan terhampar. Begitu hijau dan jauh dari polusi. Baik polusi kendaraan bermotor ataupun polusi orang-orang sekitar.
Di Ragunan, bujang dan dara berpacaran dengan berjalan kaki. Tidak ada kendaraan di dalam sini. Entah itu sepeda ataupun bermotor. Biasanya bujang dan dara akan mempersiapkan napas sebelum ke sini. Bujang dan dara yang tidak siap pasti kaget. Sebab Ragunan kurang ideal bagi yang tidak biasa jalan kaki. "Apalagi kalau si pria napas Ji-Sam-Su (merk rokok, red.) atau tembakau buatan sendiri. Bisa ngos-ngosan," catat Midi.
Baca juga: Dari Wiragunan Ke Ragunan
Di Ragunan ada beberapa juru potret keliling. Mereka siap mengekalkan momen manis dan bersejarah bujang dan dara. Mereka sanggup menerima segala pose sesuai permintaan dari bujang dan dara. Dari pose tersopan sampai terpanas. Tapi yang paling sering adalah pose jalan bergandengan tangan di antara hamparan rumput dan pepohonan.
Demikianlah beberapa tempat pacaran bujang dan dara tempo dulu di Jakarta. Sampai sekarang tempat itu masih ada meski sudah banyak berubah. Tapi mungkin anda-anda para bujang dan dara era milenial ingin merasakannya juga. Syaratnya cuma satu: harus punya pasangan. Selamat mencoba tempat-tempat pacaran tempo dulu!
Tambahkan komentar
Belum ada komentar