Pembangkangan Sipil Warga Kampung di Surabaya
Warga kampung di Surabaya melakukan pembangkangan sipil dengan menolak bayar sewa, setor hasil panen, dan kerja wajib kepada tuan tanah. Dianggap tuan tanah kemakan hasutan.
Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) atau Omnibus Law pada 5 Oktober 2020 memancing protes keras di berbagai penjuru Indonesia. Bentuknya demonstrasi maraton di antero Indonesia. Tak jarang itu berujung pada kerusuhan, kekerasan, dan represi aparat. Bentuk protes lainnya ialah seruan pembangkangan sipil.
Tapi seruan pembangkangan sipil belum menemukan wujudnya secara jelas. Di negara lain, pembangkangan sipil dapat berupa menolak bayar pajak, listrik, dan iuran lainnya. Intinya, mengorganisasi masyarakat untuk mengabaikan hukum sebagai bentuk koreksi kebijakan yang menyangkut hajat mereka. Lazimnya tanpa kekerasan.
Orang-orang di perkampungan kota Surabaya pernah melakukan hal serupa pada 1915–1916. Tapi itu ditujukan bukan kepada pemerintah, melainkan kepada tuan tanah partikelir. Orang-orang kampung itu tinggal di tanah partikelir. Timbal baliknya, mereka membayar sewa tanah, bekerja wajib, dan menyerahkan sebagian panennya kepada tuan tanah.
Baca juga: Omnibus Law dari Masa Lampau
Tapi sejak adanya gerakan-gerakan dari Mas Prawirodihardjo dan Pak Siti alias Sadikin, tak ada lagi timbal balik untuk tuan tanah. Para tuan tanah naik pitam dan menganggap dua orang itu sebagai penghasut warga kampung. Mereka melaporkannya kepada pemerintah kolonial.
“Menurut kedua orang yang dianggap menjadi penghasut itu, penduduk di tanah partikelir tidak perlu memenuhi kewajiban-kewajiban itu, karena tanah yang mereka tempati dan mereka garap itu sebenarnya tanah mereka sendiri,” catat Sartono Kartodirdjo dalam Laporan-laporan tentang Gerakan Protes di Jawa pada Abad XX.
Mas Prawirodihardjo, warga Kampung Ondomohen, Surabaya. Dia bekerja sebagai pengawas pembangunan. Kemungkinan dia pegawai pemerintah kolonial langsung atau menjadi bawahan di biro pembangunan partikelir. Sedangkan Pak Siti alias Sadikin bekerja menjadi mandor kereta api. Dia warga Kampung Kedondong, Keputran Lor. Demikian ungkap sejarawan Universitas Airlangga, Purnawan Basundoro, dalam Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang Sejak Era Kolonial Sampai Kemerdekaan.
Baca juga: Perebutan Lahan di Kota Surabaya
Mas Prawirodihardjo dan Pak Siti meniupkan keyakinan kepada warga kampung bahwa para tuan tanah telah merebut hak-hak mereka atas tanah. “Para tuan tanah yang menyewa tanah kepada pemerintah atas tanah-tanah yang ditinggali penduduk tidak ubahnya sebagai penjahat,” tulis Purnawan.
Warga kampung menerima penuh keyakinan tersebut. Mereka mulai menolak melakukan kewajibannya kepada tuan tanah. Semula gerakan ini hanya terbatas di kampung Mas Prawirodihardjo dan Pak Siti. Lambat-laun, gerakan ini menyebar ke kampung-kampung lain yang berdiri di atas tanah partikelir.
Sikap warga kampung makin bikin jengkel para tuan tanah. “Mereka menebangi pohon dan menggunakan tanah-tanah kosong tanpa minta izin, seolah-olah semuanya itu milik mereka sendiri. Mereka menghalang-halangi rumah-rumah yang akan dibangun pemilik tanah,” sebut Sartono.
Warga kampung mengabaikan aturan-aturan buatan para tuan tanah. Kepala kampung yang biasa ditunjuk oleh para tuan tanah memilih pergi karena tak tahan dengan sikap tidak hormat warga kampung. Sebagai gantinya, warga kampung memilih sendiri kepala kampungnya.
Pembangkangan ini mendapat tanggapan serupa dari para tuan tanah. Mereka menganggap warga kampung termakan hasutan tak benar dari Mas Prawirodihardjo dan Pak Siti. Bagi para tuan tanah, gerakan kedua orang itu sudah keterlaluan. Pemerintah dan polisi berupaya menghentikan gerakan ini dengan imbauan. Tapi mereka gagal.
“Mula-mula pembangkangan itu hanya sporadis, tetapi kemudian meluas dan sekarang sudah menjadi perlawanan umum yang dapat mengganggu ketenteraman dan ketertiban,” lanjut Sartono.
Para tuan tanah kemudian bersatu menghadapi gerakan pembangkangan warga kampung. Dalam catatan Sartono, setidaknya ada 17 tuan tanah mengajukan gugatan hukum atas pembangkangan ini.
Melalui seorang pengacara bernama B.H. Drijber, para tuan tanah membawa kasus ini ke pengadilan negeri. Putusannya memenangkan tuntutan para tuan tanah. Menanggapi putusan ini, warga kampung mengajukan banding ke Raad van Justisie. Putusannya berpihak ke warga kampung.
Gagal di tingkat pengadilan, para tuan tanah membawa kasus ini ke Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg. Mereka menyurati Idenburg agar menahan dan memindahkan Mas Prawirodihardjo dan Pak Siti dari Surabaya.
Sebaliknya, warga kampung juga melaporkan para tuan tanah kepada Idenburg atas sikap sewenang-wenangnya. Menghadapi dua tuntutan dari dua arah ini, Idenburg memilih menyelamatkan diri dengan mengatakan masalah ini bersifat perdata antara tuan tanah dan warga kampung. Pemerintah tak mau ikut campur.
Purnawan menduga keputusan pengadilan memenangkan warga kampung dan keengganan pemerintah kolonial terlibat dalam masalah itu sebagai tanda adanya kemerosotan wibawa. Apalagi gerakan pembangkangan ini didukung kuat oleh Sarekat Islam di bawah H.O.S Tjokroaminoto.
Melalui Oetoesan Hindia, Sarekat Islam menyatakan pembangkangan warga kampung merupakan perjuangan melawan kekuasaan uang demi hak-hak yang diberikan kepada makhluk-makhluk Tuhan di muka bumi. Oetoesan Hindia juga berpendapat bahwa pemerintah kolonial boleh berlega hati sebab orang Indonesia masih mengambil tindakan non-kekerasan.
Purnawan menambahkan, tindakan non-kekerasan itu ternyata justru lebih efektif daripada gerakan fisik dan agitasi secara langsung. Sebagaimana dilakukan oleh petani di beberapa wilayah Jawa pada abad ke-19. Protes-protes petani yang bersifat frontal dan agitatif itu mudah dipatahkan. Tapi pembangkangan warga kampung mampu bertahan lebih lama.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar