Monumen Perjuangan Rakyat Bekasi, Siapa Peduli?
Monumen itu dianggap tiada arti. Padahal makna sejarahnya besar bagi kota yang jumawa berslogan “Kota Patriot”.
KENDATI mentari di atas Alun-alun Kota Bekasi amat terik Minggu (5/8/2018) siang itu, beberapa muda-mudi asyik nongkrong. Tak jauh dari mereka, sekumpulan siswa SMA anggota pasukan pengibar bendera sedang berlatih untuk persiapan HUT RI ke-73. Para perantau asal Palembang yang sedang mengadakan gathering, menambah keramaian suasana di sekitar sebuah monumen yang tegak berdiri setinggi lima meter.
Kondisi monumen begitu memprihatinkan. Coretan memenuhi tubuhnya. Sampah mulai dedaunan, bakas pembalut, hingga kondom bekas pakai menutupi areal di sekitar kaki monumen.
Tak ada yang peduli keadaan monumen bernama Monumen Perjuangan Rakyat Bekasi tersebut. Jangankan mereka yang hobi hang-out di sekitar alun-alun, pemerintah daerah setempat pun tutup mata.
Namun di antara sikap masa bodoh itu, ada kepedulian dari dua pemuda: Beny Rusmawan dan Rochman Ahsan dari komunitas reka ulang dan penggiat sejarah Front Bekassi.
“Awalnya enggak sengaja, sebetulnya. Beberapa hari lalu setelah pulang dari luar kota, ikut acara reka ulang sejarah juga di Jogja (Yogyakarta), saya ngeliat itu monumen kondisinya miris,” cetus Beny kepada Historia.
Pemuda kerempeng yang sejatinya ber-KTP Jakarta itupun coba mem-viralkannya via Facebook. “Ya namanya punya banyak teman di Bekasi dan memang sering bersosialisasinya di Bekasi, apa salahnya untuk peduli. Kalau bukan kita yang mulai, siapa lagi?” imbuhnya.
Dari posting-an Beny, muncul beragam reaksi simpati. Dia lalu mengajak beberapa kawannya membuat aksi bersih-bersih monumen secara swadaya. “Ya kita ngumpulin bareng-bareng aja. Ada juga dibantu satu-dua orang juga yang enggak mau disebut namanya. Cuma sekadar beli cat, thinner, dan kuas. Habis itu, pastinya kita bikin surat izin juga ke Polres (Polres Metro Bekasi Kota) sebelum kita bikin kegiatan ini,” lanjut Beny.
Limbah-Limbah Domestik berserakan di Kaki Monumen (Foto: Randy Wirayudha/Historia)
Berbekal surat izin, tiga kaleng cat putih, sekaleng cat hitam, kuas, dan thinner, mereka memulai aksinya dengan membersihkan bagian dalam monumen yang dikelilingi pagar satu meter dari beragam sampah. Kala petang menjelang, pekerjaan remeh namun sangat bermakna itu pun rampung. Monumen kembali “tampan”.
Muasal Monumen
Ada cerita di balik pendirian monumen di sisi selatan alun-alun dan di seberang Polres Metro Bekasi Kota itu. Sebuah plakat di dekatnya menginformasikan: “Pembuatan monumen ini diprakarsai oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi dalam rangka memperingati HUT RI ke-10 dan HUT ke-5 Kabupaten Bekasi dan diresmikan pada 5 Juli 1955. Pembuatannya berkaitan dengan beberapa peristiwa yang terjadi di Bekasi, di antaranya peristiwa bulan Agustus dan peristiwa awal Februari 1950.”
Coret-Coretan di Badan Monumen Mulai Ditutupi Cat Baru (Foto: Randy Wirayudha/Historia)
Namun, jangankan untuk generasi zaman now, informasi sesingkat itu untuk menjelaskan tiga peristiwa yang dimaksud kepada generasi yang lebih dulu pun amat kurang. Perlu usaha lebih untuk mendapatkan penjelasan lebih memadai.
Beruntung, masih ada orang seperti Abdul Khoir, budayawan Badan Kekeluargaan Masyarakat Bekasi (BKMB) Bhagasasi cum dosen di Universitas Islam 45 Bekasi (Unisma), yang punya perhatian besar terhadap sejarah tanah tempat tinggalnya. Dari keterangannyalah diketahui bahwa monumen itu didirikan saat Bekasi belum lama mengubah nama dari Kabupaten Jatinegara menjadi Kabupaten Bekasi pada 1950. Sementara Pemerintah Kota (administratif) Bekasi baru lahir pada 1981 dan diresmikan setahun setelahnya.
Abdul Khoir juga memaparkan bahwa sebelumnya pembahasan soal itu sudah disusunnya bersama Bambang Widyatmoko dan Ita Qonita dalam Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Bekasi. Pendirian monumen berbentuk segi lima sebagai perlambang Pancasila itu dilatarbelakangi tiga kisah historis.
Pertama, peristiwa penyebaran kabar proklamasi 17 Agustus 1945 kepada penduduk Bekasi. Di alun-alun itulah kabar itu disebarluaskan oleh para pemuda Bekasi yang sebelumnya mendapat kabar dari Jakarta secara berantai.
Plakat di Depan Monumen Perjuangan Rakyat Bekasi (Foto: Randy Wirayudha/Historia)
“Awalnya, pada 16 Agustus 1945 para pemuda pelopor dari Jakarta datang ke Bekasi, mengabarkan bahwa tanggal 17 Agustus di Lapangan Ikada (kini Lapangan Monas) akan berlangsung rapat raksasa. Maka berangkatlah para pemuda Bekasi. Namun setibanya di Jakarta, mereka dapat kabar rapat di Ikada tak jadi dilaksanakan, hingga (proklamasi) dialihkan ke Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Setelah mereka kembali ke Bekasi, mereka menyebarluaskan berita itu kepada masyarakat,” ungkap Abdul Khoir.
Peristiwa kedua, pertempuran antara serdadu Sekutu dan NICA (Belanda) melawan para pejuang di Alun-Alun Bekasi, medio Juni 1946. Pertempuran tak seimbang itu memaksa garis pertahanan laskar dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) mundur hingga bantaran timur Kali Bekasi. Pertahanan di Bekasi yang acap disebut “Gerbang Republik” di masa itu akhirnya jebol pada Agresi Militer I, 21 Juli 1947.
Peristiwa ketiga berkaitan dengan berdirinya Kabupaten Bekasi yang mandiri. Pendirian itu bermula dari rapat umum di Alun-Alun Bekasi yang dihadiri elemen tokoh dan masyarakat Bekasi, termasuk ulama-pejuang KH. Noer Ali. Rapat yang menghasilkan “Resolusi Rakyat Bekasi” itu dibawa Panitia Amanat Rakyat Bekasi ke Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat (RIS) cum Wakil Presiden RI Mohammad Hatta.
Pemerintah pusat mengabulkan permintaan warga Bekasi. Daerah Bekasi yang tadinya merupakan bagian dari Kabupaten Jatinegara sejak itu berubah jadi Kabupaten Bekasi dengan “payung” Undang-Undang Nomor 14 tahun 1950 tertanggal 15 Agustus 1950. Tanggal itu lalu dijadikan hari lahir Pemkab Bekasi.
Tiga peristiwa penting di balik alasan pendirian monumen itu jelas lebih dari cukup untuk membangkitkan kepedulian, terutama pemerintah kota, terhadapnya.
“Itulah, perhatian pemerintah (kota) lebih sering ke pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur lainnya yang secara finansial lebih seksi ketimbang pemeliharaan monumen dan taman kota. Padahal Kota Bekasi menyantolkan ‘Patriot’ sebagai identitas kotanya. Yang bertanggungjawab tentu saja Pemerintah Kota Bekasi karena institusi itu yang dititipi anggaran oleh rakyatnya,” tandas Abdul Khoir.
Baca juga:
Saat Kali Bekasi Berwarna Merah
Kisah Desersi di Front Karawang-Bekasi
Aksi Pejuang Bekasi
Pertempuran Bekasi 29 November 1945
Menggelorakan Kembali Perlawanan Dahsyat di Bekasi
Tambahkan komentar
Belum ada komentar