Kisah Sukarno Kecil di Mojokerto
Sukarno kecil tinggal dan bersekolah di Mojokerto. Main jangkrik dan gasing di lapangan, mandi dan cari ikan untuk lauk di sungai.
Dari Surabaya, ketika berusia enam tahun, Sukarno dan keluarga pindah ke Mojokerto, Jawa Timur. Mereka tinggal di daerah yang miskin. Meski demikian, tetangga-tetangga Sukarno masih punya uang untuk membeli jajan. Sedangkan Sukarno kecil tidak.
Dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Sukarno bercerita pada hari lebaran, ia mengurung diri di kamar karena tidak bisa membeli petasan. Ia hanya bisa mengintip dari lubang udara ketika teman-temannya sedang bermain petasan di luar.
“Di sekeliling terdengar bunyi petasan berletusan disela oleh sorak-sorai kawan-kawanku karena kegirangan. Betapa hancur-luluh rasa hatiku yang kecil itu memikirkan, mengapa semua kawan-kawanku dengan jalan bagaimanapun dapat membeli petasan yang harganya satu sen itu –dan aku tidak!” kisahnya.
Sukarno tinggal di Mojokerto selama sekitar sembilan tahun. Di kota ini, ia tinggal di rumah berdinding bambu yang kini sudah menjadi area pertokoan. Ia juga bersekolah dan menjalani keseharian sebagai anak pribumi yang hidup sederhana. Bagaimana kisahnya?
Sekolah-sekolah Sukarno
Di Mojokerto, Sukarno bersekolah di Tweede Inlandsche School atau Sekolah Ongko Loro untuk anak-anak bumiputra. Di sekolah ini, ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo menjadi mantri sekolah atau kepala sekolah.
“Di pagi hari aku bergembira, karena aku bersekolah di sekolah bumiputra, di mana kami semua sama,” kenangnya.
Walikota Mojokerto Ika Puspitasari dalam dialog sejarah Historia “Merawat Jejak Sejarah Bung Karno” menyebut sekolah ini sekarang menjadi SDN Purwotengah dan sedang dalam proses restorasi sebagai cagar budaya.
“Ada bangunan baru di sampingnya, tetapi bangunan yang asli Sekolah Rakyat Ongko Loro masih ada dan sudah kita tetapkan sebagai bangunan cagar budaya,” kata Ika.
Baca juga: Ini Bukti Otentik Sukarno Lahir di Surabaya
Lulus dari Sekolah Ongko Loro, Sukarno melanjutkan ke Europesche Lagere School (ELS). Namun, usaha mendapat pendidikan Belanda ini sempat terhalang. Kemapuan bahasa Belandanya dirasa kurang mencukupi sehingga ia baru bisa masuk kelas lima, di mana sesuai usia Sukarno harusnya sudah kelas enam.
“Terlalu tua untuk kelas lima. Tentu orang mengira saya tinggal kelas karena bodoh. Saya tentu diberi malu,” protes Sukarno kepada ayahnya.
Akhirnya, agar tak dianggap tinggal kelas, data usia Sukarno dikurangi satu tahun. Ayahnya kemudian juga menyewa guru bahasa Belanda agar Sukarno cepat belajar, meskipun kondisi perekonomian mereka masih sulit.
Baca juga: Kisah Lain Pergantian Nama Kusno Jadi Sukarno
Gedung ELS tempat Sukarno belajar dulu, kini masih berdiri kokoh di Mojokerto. Bangunan Belanda yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya itu kini difungsikan sebagai gedung SMPN 2 Mojokerto.
Sementara itu, sebuah patung dari tembaga setinggi empat meter juga telah didirikan di depan SDN Purwotengah. Wujudnya, Sukarno kecil yang tengah memakai jas namun berjarit, lengkap dengan blangkon sedang membawa buku. Diharapkan, patung ini menjadi pengingat sekaligus teladan bagi anak-anak di Mojokerto.
Tempat Bermain
Beberapa tempat di Mojokerto juga meninggalkan jejak keseharian Sukarno kecil. Seperti anak bumiputra pada umumnya, Sukarno suka bermain di lapangan berdebu dan menghabiskan waktu bermain air di sungai.
“Ada Lapangan Barakan Balongsari. Ada juga sungai atau kanal Jagalan, tempat biasanya beliau bermain sekaligus mandi ketika itu,” kata Ika.
Baca juga: Sukarno Kecil Melepaskan Burungnya
Dalam otobiografinya, Sukarno bercerita bahwa ia suka main jangkrik dan gasing di lapangan ini. Selain itu, Sukarno juga jago main sumpitan, tembakan-tembakan dari bambu kecil dengan peluru kacang. Ia juga bermain sepakbola meski sering kalah dari anak-anak Belanda. Sementara sungai, menjadi tempat bermain favorit karena gratis sekaligus tempat mencari ikan untuk dijadikan lauk.
“Aku menjadikan sungai sebagai kawanku, karena ia menjadi tempat di mana anak-anak yang tidak punya dapat bermain dengan cuma-cuma. Dan ia pun menjadi sumber makanan. Aku senantiasa berusaha keras untuk menggembirakan hati ibu dengan beberapa ekor ikan kecil untuk dimasak” katanya.
Lapangan Barakan Balongsari kini telah menjadi perkantoran Pemerintah Kota Mojokerto. Meski demikian, bersama beberapa tempat lain yang berkaitan dengan Sukarno kecil, akan didirikan prasasti dan sketsa untuk menandai jejak sejarah Sukarno kecil.
“Di lokasi yang pernah menjadi jejak Sukarno kecil kurang lebih delapan sampai sembilan tahun tinggal di Kota Mojokerto ini akan kita berikan prasasti, pertanda atau tetenger kalau orang Jawa. Agar masyarakat secara luas mengetahui bagaimana, di mana saja dan apa saja yang dilakukan oleh Sukarno kecil ketika berada di sini,” terang Ika.
Narasi sejarah Sukarno kecil di Mojokerto kini memang tengah dikembangkan pemerintah Mojokerto sebagai potensi wisata. Selain pendirian prasasti di situs-situs bersejarah, Mojokerto juga menyelenggarakan program-program pendukung lainnya. Permainan dan olahraga tradisonal yang pernah dimainkan Sukarno akan dikenalkan kembali dan dijadikan festival setiap bulan Juni untuk menyambut Bulan Bung Karno.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar