Kanal Terbukti Gagal
Sejarah mencatat kanal terbukti tak mampu mencegah banjir di Jakarta.
SEJAK bernama Batavia, kota Jakarta tak pernah lepas dari banjir. Tercatat, banjir pernah melanda sebagian besar kota Batavia lama pada 1670. Padahal kala itu Kongsi Dagang Belanda (VOC) sudah membangun kanal di Batavia.
“Pembangunan kanal di Batavia justru menimbulkan masalah baru, rusaknya ekologi kota. Bukan mengurangi banjir,” kata Bondan Kanumoyoso, sejarawan Universitas Indonesia dalam diskusi bertajuk “Masa Lalu, Masa Kini, Masa Banjir” yang dihelat majalah Historia dan Wisdom Institute, di Newseum Cafe, Jakarta, 29 Januari 2013.
Meski kanal dibangun, air tak lantas mengalir lancar. Malah kerapkali kanal itu tak mampu menampung air. “Saat musim hujan, air di kanal-kanal itu meluap. Sebaliknya, musim kemarau, kanal-kanal itu kering sehingga menimbulkan bau busuk dan penyakit,” terang Bondan.
Kondisi ini diperparah dengan maraknya pabrik gula pada abad ke-18. Untuk membuat pabrik gula, pohon harus ditebang, kayunya dibuang ke Kali Ciliwung. Saat pabrik gula itu berdiri, ampas penggilingan tebu juga dibuang ke Kali Ciliwung. Air mampat sehingga menyebabkan banjir di Batavia. Terlebih lagi, permukaan tanah di Batavia lebih rendah ketimbang laut. Menyadari ini, VOC punya rencana memindahkan markas besarnya ke Semarang. Tapi gagal karena VOC keburu bangkrut.
Sementara itu, menurut Marco Kusumawijaya, peneliti perkotaan pada Rujak Centre for Urban Studies, tiap kali kanal dibangun, banjir justru muncul lagi. “Ini analog dengan jalan tol. Tiap jalan tol dibangun, penambahan perjalanan dengan mobil pribadi meningkat. Kemacetan pun muncul di mana-mana,” kata Marco.
Dia menambahkan, selama ratusan tahun, perancang kota ini hanya terpaku pada drainase horizontal (kanal atau saluran air alami). Akibatnya, tak pernah ada pemikiran untuk mengonservasi air. “Mengatasi banjir tak semata meningkatkan kapasitas saluran, tapi juga mengurangi air di permukaan. Mengonservasi air itu tak cuma mengalirkan air,” tegas Marco.
Dia menambahkan kala Menteng dibangun awal abad ke-20, sistem pengendali banjirnya turut disiapkan. “Meski hanya seluas 400 hektar, Menteng mempunyai sistem pengendali banjir yang luar biasa pada masanya,” kata Marco. Sistem pengendali itu masih ada hingga sekarang, yaitu Banjir Kanal Barat dan Pintu Air Manggarai. Tapi sekarang sistem itu dipandang tak cukup lagi mengatasi banjir.
Wisnu Agung, koordinator Sriwijaya Rescue, menyebut banjir tak bisa dilihat dari satu sudut pandang. “Refleksi sejarah sangat penting dan menarik untuk disertakan dalam menanggulangi banjir karena menghadirkan perspektif yang lebih luas,” kata Wisnu.
Menurut Wisnu, ada yang hilang dari sistem pengetahuan masyarakat terkait konservasi air. “Di zaman Kerajaan Tarumanagara dulu, air bisa dikonservasi. Sekarang kenapa tidak bisa.”
Bondan sepakat dengan Wisnu bahwa “Seharusnya dari banjir yang berulang ini, kita tak perlu mengulangi kesalahan lagi.” Sementara Marco optimis banjir di Jakarta bisa diatasi. “Tokyo dan Paris juga pernah mengalami banjir besar di masa lalu, tapi mereka mampu mengatasinya.” Salah satu syaratnya: menemukan pengetahuan yang hilang dari masyarakat terkait konsevasi air. Dan itu bisa dicapai dengan membaca sejarah.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar