Gedung Bappenas Bekas Loji Freemason
Di gedung ini anggota Freemason mengadakan pertemuan. Diambil alih untuk mahkamah militer kemudian menjadi kantor Bappenas.
Anggota Freemason Hindia Belanda kerap mengadakan pertemuan rutin. Tempat pertemuan itu disebut loji. Oleh penduduk sekitar, loji diartikan sebagai rumah setan. Hingga 1930-an, jumlah loji mencapai 25 dan tersebar di beberapa kota. Sebagian kecil loji masih berdiri hingga sekarang. Salah satunya menjadi Gedung Bappenas di Jakarta.
Adolf Heuken, penulis buku Menteng: Kota Taman Pertama di Indonesia, mencatat Gedung Bappenas dirancang dan dibangun pada 1925 oleh Algemeene Ingenieurs en Architecten Bureau. Letaknya persis di selatan Taman Suropati yang dibangun lebih dulu. Taman itu dulunya bernama Burgermeester Bisschopplein (Taman Bisschop).
Nama taman itu merujuk ke nama Walikota Batavia 1916–1920, Bisschop. Dia juga anggota Freemason.
Loji di Bisschopplein terletak persis di tengah jantung Menteng (Nieuw Gondangdia), wilayah elite baru orang Belanda di Batavia sejak 1910-an. Desainnya menggambarkan gaya modern yang kokoh. Ketegasan dihadirkan oleh dua menara kembar nan solid di bagian depan. Lambang-lambang khas Freemason seperti jangkar, segitiga, dan semboyan Adhuc Stat (Masih Ada) disertakan pada fasade bangunan.
Semua itu “Menampakkan posisi penting para vrijmetselaar (anggota Freemason, red.) dalam masyarakat dan pemerintahan kolonial,” ungkap Heuken.
Baca juga: Kapolri Soekanto dan Freemason
Secara arsitektural, gedung ini telah mengadaptasi kebutuhan alam tropis. “Adaptasi pada iklim lokal dilakukan dengan konstruksi atap yang curam kemiringannya,” tulis A. Bagoes P. Wiryomartono dalam Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia. Dengan demikian, gedung ini cukup adem dan nyaman untuk pertemuan pada masanya.
Tapi T.H. Stevens, penulis buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat Hindia Belanda dan Indonesia 1764–1962 mengajukan keterangan berbeda terkait loji tersebut. Menurutnya, loji dibangun pada 1934 oleh N.E. Burkoven Jaspers. Dalam foto di buku tersebut bangunan loji tampak berbeda dengan bangunan awal 1926.
Heuken mempunyai foto bangunan awal pada 1926. Arsitektur bangunan kental dengan gaya neo-klasik berupa tiang besar di bagian depan. Heuken sempat mempertanyakan perubahan ini dalam bukunya. “Apakah gedung lama dibongkar atau diubah menjadi seperti sekarang?” Pertanyaan itu belum terjawab hingga sekarang.
Yang jelas, pertemuan para anggota Freemason di loji Bisschopplein bersifat tertutup, selayaknya pertemuan di loji-loji lain. Mungkin sebab inilah penduduk menyebutnya sebagai rumah setan. Para peserta pertemuan harus berpakaian secara patut. Frekuensi pertemuan umumnya sekali dalam sebulan.
Dalam pertemuan itu, para calon anggota Freemason diam mendengarkan wejangan dari anggota lama tentang prinsip dan tujuan Freemason berdasarkan Anggaran Dasar.
“Anggaran Dasar tersebut berbicara tentang… melaksanakan ‘seni hidup yang tertinggi’ atau usaha terus menerus untuk mengembangkan sifat-sifat roh dan jiwa, yang dapat mengangkat manusia dan umat manusia ke tingkat rohani dan moral yang lebih tinggi,” ungkap T.H. Stevens.
Baca juga: Rekreasi dan Beraksi di Taman Suropati
Setelah menjelaskan prinsip dan tujuan Freemason, pembicara utama berbicara tentang falsafah, kemasyarakatan, kesenian, dan keadaan politik umum. Untuk bahasan terakhir, pembicara tidak pernah membuatnya menjadi bahasan yang memecah-belah pendengarnya di dalam loji.
Pertemuan-pertemuan Masonik bertujuan untuk memajukan perkembangan kepribadian seseorang. Bila calon anggota sudah dianggap memahami wejangan tersebut, dia akan dinaikkan tingkat keanggotaannya melalui sebuah acara yang khidmat.
Ketika berada di fase ini, kadangkala anggota baru sudah bisa memulai pertukaran pikiran dengan anggota lama dalam sesi-sesi tertentu pada pertemuan di loji.
Aktivitas di loji Bisschopplein masih berjalan hingga Indonesia merdeka. Tapi nama tamannya sudah berganti jadi Taman Suropati.
Baca juga: Sukarno Dipengaruhi Freemason
Firman Lubis, penulis buku Jakarta 1950-an, pernah mengunjungi loji itu pada 1950-an. Saat itu dia masih remaja dan belum tahu bahwa bangunan itu loji milik Freemason. Kedatangannya ke sana untuk membaca buku.
“Sebuah ruangan besar di gedung Adhuc Stat di Taman Suropati di paruh pertama dekade 1950-an itu digunakan sebagai perpustakaan, terutama untuk anak-anak dan remaja,” kenang Firman. Banyak buku bermutu di perpustakaan loji itu, baik cetakan dalam maupun luar negeri.
Aktivitas di loji Taman Suropati berhenti setelah 1962. Menurut Firman, ini berkaitan dengan larangan terhadap Freemason oleh Sukarno. “Dianggap budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia,” catat Firman.
Sejak itu kepemilikan loji beralih ke pemerintah Indonesia. Nama loji berganti menjadi Gedung Dewan Perencanaan Nasional. Setelah peristiwa G30S, gedung ini dipakai oleh Mahkamah Militer untuk memvonis tokoh-tokoh G30S. Kemudian gedung itu menjadi kantor Bappenas hingga sekarang. Sebagian sejarahnya sudah terungkap. Tapi bagaimana desain awal gedung tersebut berubah sejak 1934 belum terungkap.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar