Dari Bagelen ke Purworejo
Purworejo bermakna awal kemakmuran. Memahami sejarahnya menjadi modal untuk mewujudkannya.
Dahulu wilayah Kabupaten Purworejo lebih dikenal sebagai wilayah tanah Bagelen. Sejarahnya mewariskan ide-ide tentang pembangunan desa yang mampu memakmurkan rakyatnya.
Para pelancong mencatat Purworejo sebagai kota yang bersih dan apik. Kota kecil dengan 12.000 penduduk pasca Perang Jawa itu telah dikelola dengan sangat baik.
“Tidak berkembang begitu saja. Tapi berkembang dengan urban planning,” kata sejarawan Peter Carey dalam diskusi “Perspektif Baru Sejarah Purworejo: 190 Tahun Membangun” yang diadakan Dinas Komunikasi dan Informatika (Dinkominfo) Purworejo yang disiarkan lewat Youtube, Rabu (24/02/2021).
Sebelum tahun 1831, Purworejo dikenal sebagai Brengkelan atau Kedung Kebo. Nama terakhir merujuk pada tangsi militer dan benteng Belanda yang didirikan pada awal Perang Jawa (1825–1830).
Baca juga: Panglima Wanita Perang Jawa
Kedung Kebo berada di sisi timur Bogowonto yang kemudian berkembang menjadi pusat administrasi (hoofdplaats). Di sini pula pusat pendidikan modern dan transportasi berkembang. “Bengkel lokomotif ditempatkan di Purworejo pada tahun awal abad ke-20,” kata Carey.
Menurut laporan pemerintah kolonial dari awal abad ke-19, Bagelen merupakan salah satu dari sedikit wilayah di Jawa yang memiliki pesantren dengan murid lebih dari 100 orang.
“Bagelen atau Purworejo adalah salah satu pusat perkembangan Islam di Jawa, berkontribusi penting dalam pembentukan tradisi keislaman di Mataram,” kata Bambang Purwanto, guru besar sejarah Universitas Gadjah Mada. Karenanya, kata Bambang, Purworejo bukanlah wilayah pinggiran. “Purworejo merupakan pusat.”
Dari sana, sejarah mencatat sejumlah tokoh, yang kata Bambang, menjadi contoh dari realitas sejarah tentang bagaimana rakyat dimakmurkan. “Kalau kita ingin menggunakan perspektif baru keluar dari konteks kolonial, mari cari sejarah bagaimana orang di dalam masyarakat kita sendiri menjalankan sejarah,” ujar Bambang.
Identitas Purworejo
Purworejo pada masa Kerajaan Mataram Islam termasuk ke dalam Negara Agung Bagelen. Bagelen bersama Banyumas, Kedu, Mataram, Pajang, Sukowati, dan Gunung Kidul masuk dalam kekuasaan Mataram abad ke-17 yang diperoleh berkat perjanjian dan pernikahan. Sementara daerah timur Mataram lebih banyak diperoleh melalui penaklukkan.
Menurut Himayatul Ittihadiyah, dosen sejarah dan kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam “Bagelen Pasca Perang Jawa (1830–1950): Dinamika Sosial Politik dan Ekonomi di Bekas Wilayah ‘Negaragung’ Kasultanan Mataram Islam (Vorstenlanden)”, termuat dalam jurnal Thaqafiyyat Vol. 13 No. 2 tahun 2012, setelah Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, sebagian besar wilayah Bagelen menjadi wilayah Kasunanan Surakarta. Perjanjian ini membagi Jawa bagian tengah dan selatan menjadi daerah Yogyakarta dan Surakarta.
Kontrak politik 27 September 1830 akibat kekalahan Perang Jawa berujung pada peralihan nagari. Salah satu akibatnya adalah Bagelen dianeksasi pemerintah kolonial dan menjadi daerah karesidenan.
Baca juga: Sejarah Purworejo yang Diklaim Pusat Keraton Agung Sejagat
Wilayah Purworejo ditunjuk sebagai ibukota afdeeling atau wilayah administratif Karesidenan Bagelen pada 26/27 Februari 1831. Nama Purworejo dipakai sebagai pengganti nama Brengkelan yang sudah ada sebelumnya.
Keterangan itu ditemukan dalam laporan komisaris untuk urusan daerah kerajaan, Pieter Herbert Baron van Lawick van Pabst yang ditulis di Semarang pada 20 April 1831. Tercatat bahwa Bagelen akan dibagi ke dalam empat kabupaten: Brengkelan, Semawung, Ungaran, dan Karang Duhur.
Sebelumnya, pasca Perang Jawa pada 9 Juni 1830, Jenderal de Kock telah mengangkat Raden (Kiai) Adipati Cokrojoyo sebagai bupati Brengkelan. Dia dan kolega bupati dari Semawung, Raden Tumenggung Sawunggaling keberatan kalau Brengkelan dan Semawung dijadikan nama kabupaten. Dua nama baru pun dipilih.
“Nama asli tidak patut untuk pusat afdeeling. Dipilih nama yang lebih keren dan nama yang lebih luhur, Brengkelan diganti Perwo-redjo (awal kemakmuran) dan Semawung menjadi Kutoarjo (kota yang makmur),” kata Carey.
Baca juga: Asal Usul Daerah Tertua di Purworejo
Peter Carey dalam Sisi Lain Diponegoro menambahkan, Ungaran di barat Kali Lereng pun diusulkan untuk diubah namanya menjadi Kebumen. Karang Duhur menjadi Sedayu.
Pengalihan nama itu diresmikan oleh Van Pabst di Pendopo Suronegaran pada malam 16–27 Februari 1831. Pada saat yang sama Kiai Adipati Cokrojoyo beralih nama menjadi Raden Adipati Aryo Cokronegoro I. “Sejak itu, Karesidenan Bagelen terdiri dari dua afdeeling, yaitu Purworejo dan Kebumen,” tulis Carey.
Bagelen menjadi daerah karesidenan hingga 1 Agustus 1901. “Karena mulai tanggal itu daerah Karesidenan Bagelen digabungkan dengan Karesidenan Kedu,” catat Himayatul.
Menurut Bambang, Bagelen lalu termarginalisasi oleh kebijakan kolonial yang menyatakannya sebagai Banyumas kemudian Kedu. Identitas Purworejo sebagai Bagelen pun terlupakan.
“Purworejo itu bukan Kedu Selatan, dia Bagelen. Perlu mengembalikan Bagelen sebagai identitas Purworejo,” kata Bambang.
Pembangunan Purworejo Masa Kolonial
Sesudah dikukuhkan pada 1831, Cokronegoro I membangun infrastruktur baru. Di antaranya pendopo (1836), alun-alun dan bedug raksasa (1834), dan ruas jalan ke Magelang (1846-50). “Semua berskala besar,” kata Carey.
Selain itu, saluran irigasi Kedung Putri yang mengairi 3.600 ha di daerah sekitar Purworejo dibangun pada 1832–1833, tiga tahun pascaperang.
Sewaktu masih bergelar Mas Ngabehi Resodiwiryo, dia pernah dikirim ke Ampel dekat Boyolali untuk menyelidiki masalah irigasi. Jabatannya mantri ulu-ulu.
Keterampilan itulah yang diwariskan kepada Purworejo lewat pembangunan beberapa sistem pengairan baru pascaperang Jawa. “Jadi Cokronegoro tak hanya berfoya-foya, tetapi menuangkan pengalamannya demi kepentingan wong cilik di Bagelen,” ujar Carey.
Dia juga mengambil langkah awal dengan membangun Inlandsche School pertama pada 1852. Sekolah khusus pribumi ini mengajar ilmu bumi, ilmu ukur, berhitung, dan menulis aksara Jawa. Masa pendidikan lima tahun, dimulai dari usia 7–12 tahun.
Baca juga: Hasil Alami “Candi” di Purworejo
Puncaknya, Hoogere Kweekschool (sekolah tinggi guru) dibuka. Pendidikan modern ini berdiri selama 15–20 tahun di Purworejo. “Purworejo kecil terpencil tetapi bisa menjadi saingan Jogja sebagai pusat pendidikan,” kata Carey.
Bupati perdana Purworejo itu pun mewariskan Tjrita Kedung Kebo (1843). Karya ini memberi pandangan kritis terhadap Diponegoro dan Perang Jawa. “Warisan sastrawi menarik sekaligus tantangan bagi sejarawan nasional,” kata Carey.
Trah Cokronegaran berakhir dengan bupati ke-4, R.A.A. Sugeng Cokronegoro IV (1865–1936, menjabat 1907–1919). Dia dianggap membangkang kepada pemerintah Hindia Belanda karena terlalu dekat dengan pergerakan nasional Boedi Oetomo.
“Sejarawan bukan hanya menoleh ke belakang tapi membuka pintu ke depan. Saya yakin kearifan lokal di Bagelen punya pundi-pundi yang kaya sekali,” kata Carey.
Belajar dari Sejarah Purworejo
Sementara itu, Bambang Purwanto mencatat bahwa sejarah Purworejo tak bisa dipisahkan dari sejarah nasional dan global. Bersama Bangka, Purworejo menyumbangkan sesuatu yang penting bagi warisan peradaban dunia melalui tokoh Jan Toorop.
Jan Theodorus Toorop (1858–1928) adalah pelukis simbolis Katolik Belanda yang sangat terkenal. Ia adalah pelukis paling penting dalam sejarah seni lukis Belanda antara periode Vincent van Gogh (1853–1890) dan Piet Mondriaan (1872–1944). “Kalau mereka terkenal setelah meninggal, Jan Toorop sejak masih hidup,” kata Bambang.
Jan Toorop lahir di Purworejo. Anak seorang panitera ini menghabiskan masa kecil lebih dari empat tahun pertama di Purworejo sebelum pindah ke Bangka pada 1863. Kakek-nenek dan orang tuanya berstatus Eropa. Namun sampai akhir hayat, mereka tak pernah meninggalkan kepulauan Indonesia untuk tinggal di Eropa.
Baca juga: Kristen Abangan ala Sadrach
Bambang menyebut tokoh penting lain adalah Sadrach (Radin Abas). “Dia menjadi Kristen bukan untuk mengabdi melainkan wujud perlawanan terhadap dominasi kolonialis Belanda,” kata Bambang.
Pilihan nama menunjukkan, Sadrach menolak untuk melepaskan identitas kejawaannya. Kendati dia di bawah ancaman penguasa kolonial Belanda dan agamanya.
“Konversi bukan perlawanan terhadap agama asal, melainkan wujud oposisi keagamaan dan protes masyarakat desa [Karangjoso, Kutoarjo] melawan masyarakat kolonial,” kata Bambang.
Baca juga: Gerakan Perlawanan Orang Kristen terhadap Kolonialisme
Tokoh lainnya adalah Soemotirto. Asalnya dari Desa Ngandagan, Pituruh, Purworejo. Anak Purworejo ini menghadirkan praktik kewarganegaraan di dalam lingkup desa. “Praktik yang sangat modern,” kata Bambang.
Buah pemikirannya adalah bahwa seluruh penduduk desa adalah warga negara dengan hak dan kewajiban yang melekat pada dirinya. Penduduk Ngandagan waktu itu telah bertransformasi menjadi warga negara dalam ruang merdeka. Mereka bukan lagi meneruskan peran sebagaimana kawula jajahan dalam ruang koloni.
“Penduduk desa itu warga negara bukan kawula, dengan keadilan sosial, tanggung jawab bersama dan pemerataan, pemenuhan hak dan kewajiban sebagai warga negara,” kata Bambang.
Baca juga: Laporan Khusus: Menelaah Sejarah Otonomi Daerah
Soemotirto pun menata ulang modal, hubungan kerja, dan proses produksi untuk kemandirian desa. Dia membangun sekolah, fasilitas kesehatan, listrik, koperasi, dan teknologi mutakhir.
“Kita lihat ada otonomi untuk kemandirian desa. Kearifan lokal yang berkembang bahwa untuk menjadi modern tidak harus menjadi orang kota, tak perlu ke kota,” kata Bambang.
Bersama Soemotirto, Purworejo pernah memiliki desa sebagai perwujudan hampir sempurna dari cita-cita kemerdekaan Indonesia dan sila-sila dalam Pancasila. “Di Purworejo ini sudah terjadi. Belajar saja pada Soemotirto tanpa harus mengagung-agungkannya. Tidak perlu,” kata Bambang.
Karenanya, menurut Bambang, mempelajari dan memahami sejarah, khususnya yang ada di Purworejo, akan menjadi modal yang luar biasa untuk masa kini dan masa depan. Sayangnya, tokoh-tokoh tadi selalu disingkirkan dari sejarah. Kendati implikasinya luar biasa.
“Kesadaran sejarah bukan sesuatu yang romantis, ia nilai yang kita bawa di kekinian dan masa depan,” kata Bambang. “Sejarah kalau hanya antikuarian tidak akan ada manfaatnya sama sekali.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar