Cerita di Balik Cadas Pangeran
Cadas Pangeran diambil dari nama bupati Sumedang. Cerita keberaniannya menghadapi Daendels diragukan. Kepahlawanannya ditolak utusan Cirebon.
Yana Supriatna, warga Desa Sukajaya, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, hilang misterius di Cadas Pangeran, Sumedang, pada Selasa (16/11/2021) malam. Akhirnya, Yana berhasil ditemukan di Cirebon pada Kamis (18/11/2021) petang.
Cadas Pangeran memang terkenal angker. Banyak orang bercerita mengalami kejadian menakutkan ketika melewati jalan ini. Nama Cadas Pangeran sendiri diambil dari nama Bupati Sumedang, Pangeran Kusumadinata IX atau dikenal dengan Pangeran Kornel, yang berani menghadapi Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels.
Pramoedya Ananta Toer dalam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, menyebutkan, Daendels dalam pembangunan Jalan Raya Pos menghadapi kesulitan dengan penguasa pribumi setempat terutama dalam melaksanakan bagian Cadas Pangeran.
“Penduduk Sumedang bangga pada perlawanannya ini. Untuk mengenangkannya telah didirikan patung Pangeran Kornel berhadapan dengan Daendels. Dalam berjabat tangan, Pangeran Kornel memberikan tangan kirinya sedang tangan kanannya memegang hulu keris,” tulis Pramoedya.
Pramoedya menyebut dalam pembikinan jalan itu untuk pertama kali ada angka jumlah korban yang jatuh yaitu 5.000 orang. Angka ini hanya taksiran, mungkin kurang, mungkin lebih. “Setidak-tidaknya ini adalah genosida tidak langsung demi pembangunan, demi kelangsungan penjajahan dan kebesaran, kekayaan dan kemajuan Eropa,” tulis Pramoedya.
Cerita Rakyat
Sementara itu, menurut Djoko Marihandono, sejarawan dan pengajar Program Studi Prancis, Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, pembangunan Jalan Raya Pos jalur Cisarua ke Karangsembung, Cirebon, melalui medan yang berat berupa gunung bercadas, telah memunculkan cerita rakyat yang didasarkan pada peristiwa itu.
Sumber data mitos pembangunan jalan jalur itu, khususnya jalur Parakanmuncang ke Sumedang didasarkan atas beberapa cerita fiksi, antara lain Jalan Raya Pos, Jalan Daendels karya Pramoedya Ananta Toer; Cadas Pangeran karya R. Moch. Achmad Wiriaatmadja; Pangeran Kornel karya R. Memed Sastrahadiprawira; dan Hikayat Mareskalek II karya Abdullah bin Muhammad al-Misri.
“Dalam pembangunan jalur ini muncullah tokoh Pangeran Kusumadinata IX yang dilahirkan tahun 1791 dan meninggal tahun 1828. Masyarakat Jawa Barat, khususnya masyarakat Sumedang lebih mengenalnya dengan nama Pangeran Kornel,” tulis Djoko dalam “Mendekonstruksi Mitos Pembangunan Jalan Raya Cadas Pangeran 1808: Komparasi Sejarah dan Tradisi Lisan”.
Dalam cerita rakyat disebutkan bahwa Pangeran Kornel tidak tega melihat penderitaan rakyatnya membangun jalan raya yang menghubungkan Parakanmuncang dan Sumedang. Jalur ini melewati daerah Ciherang, tepatnya di desa Tanjungsari, daerah pegunungan yang bercadas keras. Pembangunan jalan ini dilaksanakan dengan sistem kerja paksa atau kerja rodi yang menelan banyak korban jiwa. Ketika Daendels datang melakukan inspeksi, Pangeran Kornel dengan berani menghadapinya. Ia menjabat tangan Daendels dengan tangan kiri, sedang tangan kanannya memegang hulu keris.
Daendels terkejut dan menanyakan mengapa salamnya diterima dengan tangan kiri. Pangeran Kornel menjelaskan bahwa para pekerja yang juga didatangkan dari luar Sumedang tanpa membawa perbekalan yang cukup, peralatan yang digunakan tidak memadai dengan medan yang berat, serta penyakit yang menimpa para pekerja mengakibatkan kematian yang tidak sedikit. Mendengar penjelasan tersebut, Daendels kemudian menyerahkan pekerjaan itu kepada pasukan zeni. Sedangkan para pekerja hanya diminta membantu ala kadarnya.
Baca juga: Daendels Hukum Mati Pelaku Korupsi
Djoko meragukan cerita pertemuan Pangeran Kornel dengan Daendels. Alasannya, menurut tradisi kolonial, setiap peristiwa penting yang terjadi di daerah terutama berkaitan langsung dengan kepentingan pemerintah pasti akan dilaporkan. Peristiwa kedatangan gubernur jenderal ke suatu daerah akan dicatat secara lengkap dan tersimpan dalam arsip.
“Peristiwa pertemuan Gubernur Jenderal Daendels dan Pangeran Kusumadinata tidak tertulis dalam arsip manapun, termasuk dalam laporan Daendels sendiri kepada Menteri Perdagangan dan Koloni Van der Heim. Hal ini berbeda dengan tindakan yang diambil oleh Daendels di Banten, Cirebon, dan Yogyakarta, sebagai penjelasan atas keputusannya untuk melakukan perubahan kekuasaan di tiga kerajaan tersebut. Fenomena ini tidak lazim bagi para pejabat kolonial,” tulis Djoko yang menulis disertasi tentang “Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan Herman Willem Daendels di Jawa 1800–1811: Penerapan Instruksi Napoleon Bonaparte”.
Bila bukan dengan Daendels, dengan siapa Pangeran Kornel berjabat tangan? Prasasti memberikan petunjuk.
Periode Raffles
Untuk mengenang proses pembuatan jalan di Cadas Pangeran dibuatlah prasasti yang dipasang pada satu tugu. Bagian atas adalah prasasti yang diyakini dibuat oleh pemerintah Belanda. Sedangkan prasasti di bawahnya dibuat oleh Bupati Sumedang Drs. Suphan Iskandar pada 26 November 1972.
Prasasti buatan pemerintah Belanda itu memuat informasi pembuatan jalan jalur Parakanmuncang ke Sumedang: “Di bawah pimpinan Raden Demang Mangkoepradja dan di bawah Penelitian Pangeran Koesoemadinata, dibuat pada tahun 1811, dibobok dari tanggal 26 November sampai tanggal 12 Maret 1812”.
Baca juga: Raffles dan Dua Abad The History of Java
Menurut Djoko, bulan dan tahun tersebut menunjukkan masa pemerintahan Pangeran Kusumadinata sebagai bupati Sumedang. Sementara itu, menurut keputusan Napoleon Bonaparte yang dimuat dalam arsip, Daendels mengakhiri masa pemerintahannya pada 16 Mei 1811. Pada 29 Juni 1811, dia berlayar kembali ke Eropa dari pelabuhan Surabaya. Dia diterima Napoleon di Paris pada September 1811.
“Dengan demikian periode yang dimaksudkan dalam prasasti tersebut (26 November 1811 sampai 12 Maret 1812) bukan masa pemerintahan Daendels, melainkan masa pemerintahan Raffles,” tulis Djoko.
Djoko menyebut bahwa pertemuan Pangeran Kornel bisa terjadi dengan Raffles, Letnan Gubernur Jenderal sebagai penguasa tertinggi Inggris di Jawa. Akan tetapi, dalam arsip pemerintah Inggris, tidak pernah tercatat kunjungan Raffles ke daerah Priangan selama tahun pertama pemerintahannya.
Baca juga: Skandal Perbudakan Raffles di Hindia Belanda
“Akibatnya, kemungkinan besar yang bisa diduga adalah bahwa pejabat yang bertemu dengan Pangeran Kusumadinata di Cadas Pangeran hanya seorang pejabat tinggi Inggris yang ditugasi untuk mengawasi proyek perluasan jalan yang ada,” tulis Djoko.
Namun, lanjut Djoko, dokumen-dokumen Inggris menyebutkan selama bulan-bulan pertama pemerintahannya, Raffles lebih fokus pada pemantapan kekuasaannya dalam hubungan dengan para penguasa pribumi. Perhatian Raffles pada bidang ekonomi dan infrastruktur baru mulai muncul sejak pertengahan tahun 1812.
“Kenyataan ini menuntut adanya dekonstruksi atau reinterpretasi kembali terhadap kredibilitas mitos Pangeran Kornel,” tulis Djoko.
Pahlawan yang Ditolak
Bagi orang Sumedang, Pangeran Kornel adalah pahlawan. Oleh karena itu, dalam Kongres Pemuda Sunda (KPS) tahun 1956, utusan dari Sumedang mengusulkan Pangeran Kornel agar diajukan kepada pemerintah untuk diangkat menjadi pahlawan nasional atau minimal pahlawan Jawa Barat. Alasan yang dikemukakannya adalah kisah keberanian tokoh itu ketika menjabat tangan Daendels dengan tangan kiri karena tangan kanannya memegang hulu keris.
“Untuk mengenang keberaniannya, bukit cadas itu kemudian dikenal dengan nama Cadas Pangeran,” tulis Ayatrohaedi, ahli arkeologi, linguistik, serta sejarah dan sastra (Sunda dan Indonesia), dalam memoarnya, 65 = 67 Catatan Acak-acakan dan Catatan Apa Adanya.
Baca juga: Pro-Kontra Gelar Pahlawan Nasional
Usul utusan Sumedang itu ditolak oleh utusan dari wilayah Cirebon yang berasal dari Kuningan, Cirebon, Majalengka, dan Indramayu. “Bagaimana mungkin Pangeran Kornel diangkat sebagai pahlawan Jawa Barat apalagi nasional. Bukankah tokoh itu yang oleh Daendels ditugasi untuk menumpas perlawanan rakyat Cirebon yang dipimpin oleh Bagus Rangin (1808–1811)? Bukankah tokoh itu pun turut berperan dalam upaya pemerintah Hindia Belanda menumpas perlawanan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825–1830)?” tulis Ayatrohaedi.
KPS memutuskan untuk mengajukan tiga orang Sunda sebagai Pahlawan Nasional, yaitu Dewi Sartika, Otto Iskandardinata, dan Ki Tapa. Dewi Sartika ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 1966, sedangkan Otto Iskandardinata diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada 1973.
Baca juga: Harga Seorang Pahlawan Nasional
Tambahkan komentar
Belum ada komentar