Cerita Awal Rumah Susun
Gagasan rumah susun muncul sejak penduduk Jakarta mulai padat. Ditolak karena persoalan kencing.
KOMPLEKS rumah susun (rusun) di Jalan Kebon Kacang IX, Jakarta Pusat, tak pernah sepi. Pagi hari, anak-anak berlarian menyusuri jalan setapak di kompleks. Siang hari, giliran para pedagang tekstil muncul. Mereka mengambil stok barang dari dalam rusun. Sore hari, ibu-ibu berkeliling kompleks sembari menggendong bayi. Malam hari, para pemuda bernyanyi dan gitaran.
Rumah susun Kebon Kacang IX berdiri para 1981. Menempati lahan seluas 4 hektar, rusun ini terdiri atas dua tipe, Meksiko dan Indonesia. Perbedaannya pada tampilan, bukan luas tiap unit. Tipe Meksiko beratap kotak dan berbata merah, sedangkan tipe Indonesia beratap segitiga dan berbatako. Luas tiap unit sama, 36 meter persegi. Tingkat huniannya pun sama padat.
“Susah, Bang, cari unit kosong di sini,” kata seorang makelar Rusun kepada Historia. Dia tak mau menyebut nama. “Kalaupun ada, harga sewanya Rp25 juta setahun,” lanjut si makelar.
Satya Putra (60 tahun), ketua Rukun Warga (RW) 11 di rusun, membenarkan. “Sekarang rusun ini berpenghuni hampir 960 KK. Mereka mengisi 60 tower. Tiap tower terdiri atas 16 unit,” terang Satya.
Satya salahsatu penghuni awal rusun. Dia mengenal para penghuni dengan baik. Saat berpapasan, dia dan para penghuni saling bersapa. “Saya di sini sejak rusun berdiri hingga menjadi RW. Orang masuk atau keluar, saya tahu. Apalagi pencatatan penghuni makin tertib dan kami pun saling bergaul,” kata dia.
Hubungan antarpenghuni sangat guyub. Sejumlah penghuni tampak duduk bercengkerama di penjuru rusun. Persis seperti pesan pada papan di belakang rusun “Anda Memasuki Kawasan Wajib Ha…Ha...Hi…Hi” Keguyuban alasan mereka betah tinggal di rusun. “Selain itu, akses juga mudah. Tak heran harga tanah di sini tinggi dan banyak pengincarnya,” ungkap Satya.
Gagasan rusun
Gagasan membangun rusun di Indonesia muncul pada 1950-an. Penggagasnya Sudiro, walikota Jakarta periode 1953-1959. Dia menilai Jakarta sudah terlalu padat penduduk. Jakarta berpenghuni 1.432.085 orang pada 1950. Padahal luasnya hanya 560 km2. Ini berarti kepadatan penduduk mencapai 2.557 penduduk per km2. Dan tiap tahun, kepadatan dan jumlah penduduk di Jakarta terus meningkat.
Penduduk Jakarta berusaha membangun hunian di tanah legal, ilegal, dan sengketa. Tak pelak, tanah kian langka. Sudiro berpikir penggunaan tanah untuk perumahan mesti tepat guna. “Oleh sebab itu, saya sejak tahun lima-puluhan itu selalu menganjurkan, agar membangun tidak lagi horizontal, melainkan vertikal, tidak lagi ke samping, melainkan ke atas,” kata Sudiro dalam Karya Jaya: Kenang-kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945-1966.
Sudiro membawa gagasannya ke sidang Dewan Perwakilan Kota Sementara (DPKS) pada 1955, mengusulkan pembangunan rusun di wilayah padat penduduk. Tujuannya untuk menampung 10.000 penduduk dari tiga kampung (Karang Anyar, Krekot Dalam, dan Krekot Bunder). Wilayah itu terbakar pada 7 Desember 1954. “Akibat kebakaran itu, 1.100 rumah hangus dan 10.000 orang terancam menggelandang,” tulis Kotapradja, Desember 1954.
Sudiro menerangkan keuntungan pembangunan rusun di lokasi bekas kebakaran kepada anggota DPKS. Pertama, pemerintah tak perlu membeli tanah di lokasi kebakaran sebab sudah milik kotapradja. Kedua, rusun cocok untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Ketiga, rusun bisa menghemat penggunaan tanah.
Menanggapi gagasan Sudiro, suara DPKS terpecah dua: menyetujui dan menolak. Alasan kubu penolak sederhana. “Kalau penghuni yang di atas kencing, penghuni yang di bawah bisa basah!” kata seorang anggota DPKS.
Sudiro membalasnya secara bergurau, “Kalau orang memang bermaksud mengencingi orang lain sehingga basah, tidak perlu itu dari atas! Dari samping atau dari belakang pasti juga basah.”
Gurauan Sudiro gagal mengubah pendirian kubu penolak. Mereka menang jumlah. Gagasan rusun Sudiro tenggelam. Tapi Departemen Luar Negeri (Deplu) menyelamatkan, mengadopsi, dan merintis pembangunannya.
“Pertengahan tahun 1950-an perumahan susun sudah mulai dirintis, seperti flat Deplu di Kebayoran Baru,” tulis Kompas, 15 November 1981. Berbeda dari tujuan Sudiro, Deplu membangun rusun khusus untuk pegawainya. Tertarik dengan cara Deplu, perusahaan pelayaran Jakarta Lloyd ikut membangun rusun di Jalan Sabang dan Kebon Sirih untuk pekerjanya.
Rusun Deplu dan Jakarta Lloyd hanya bertingkat dua sehingga tampak seperti rumah bertingkat biasa. Bedanya, rusun berbentuk kotak-rata (flat) dan tiap tingkat berpenghuni satu keluarga. Rumah bertingkat jarang berbentuk flat dan tidak berpenghuni lebih dari satu keluarga di tiap tingkat.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar