Awal Mula Pelesiran Lebaran ke Kebun Binatang
Masyarakat memadati kebun binatang di hari libur Lebaran. Pelipur lara di tengah kondisi ekonomi yang sulit.
Bagi banyak orang Indonesia, Idulfitri tidak hanya ditandai dengan silaturahmi antarkeluarga dalam bentuk mudik seorang anak ke rumah orang tuanya, atau kunjungan dari satu keluarga ke keluarga lainnya. Lebaran juga identik dengan kunjungan lainnya, yakni kunjungan ke kebun binatang. Mereka yang mudik bertandang ke kebun binatang di kampung halamannya. Mereka yang tidak mudik juga tidak diam saja di rumah, dan ada yang memilih datang ke kebun binatang di kota tempatnya tinggal sebagai cara hemat mencari hiburan di hari libur.
Keluarga-keluarga Indonesia, dengan berbagai sarana transportasi yang mereka punya, dengan bahagia plesiran ke kebun binatang, terutama pada hari kedua Lebaran. Di sana mereka membentangkan tikar, menikmati makanan tradisional dari rantang yang dibawa dari rumah, berbincang di bawah naungan pohon-pohon besar yang membawa angin semilir yang sejuk, dengan sesekali ditingkahi beragam suara hewan.
Kebun binatang adalah pemandangan alam liar yang direproduksi dalam versi mini, tapi toh bagi banyak orang kota lanskap itu menawarkan hal-hal yang sulit mereka temukan sehari-hari di balik tembok-tembok kota: keindahan, kesegaran, kealamian. Sulit untuk membawa semua anggota keluarga mendaki gunung –guna merasakan pengalaman berada di alam liar yang sebenarnya–, maka kebun binatang adalah solusi tepat bagi kalangan tua, muda, dan kanak-kanak.
Para orang tua senang karena dengan biaya tiket yang murah sudah bisa bersilaturahim satu sama lainnya, sementara anak-anak bahagia karena bisa bermain di hutan mini serta mempelajari tingkah laku berbagai jenis hewan yang selama ini hanya bisa mereka lihat di buku atau televisi. Lebaran, dengan demikian, tidak hanya membawa orang kembali ke kesucian dan ke keluarganya, tapi juga ke “alam”.
Baca juga: Merayakan Lebaran di Masa Lampau
Plesiran ke kebun binatang adalah salah satu tradisi Lebaran yang lazim di Indonesia. Tapi, tidak banyak yang kita tahu tentang bagaimana tradisi ini bermula, setidaknya dibandingkan dengan pengetahuan kita soal tradisi-tradisi lain yang lekat dengan Lebaran, seperti mudik atau halalbihalal. Awal mula tradisi ini, sejauh sumber primer yang tersedia, bisa dilacak hingga ke era 1950-an, ketika Indonesia telah sepenuhnya merdeka dan mulai fokus membangun negara baru itu.
Perang baru saja usai. Kehidupan ekonomi memang belum cukup bagus, tapi orang sudah lebih mengerti soal keseimbangan hidup, salah satunya dengan mencari hiburan di tempat umum. Lagipula, sudah cukup aman untuk berekreasi ke tempat ramai. Tentu sulit membayangkan ada yang rekreasi Lebaran ke kebun binatang di tengah desingan peluru dan hujan mortir yang terjadi di masa revolusi fisik.
Dari penilikan terhadap berbagai sumber primer dari era 1950-an, dapat diketahui bahwa salah satu referensi paling awal yang menyebut tentang plesiran Lebaran ke kebun binatang berkenaan dengan Idulfitri tahun 1955. Kala itu, Lebaran jatuh pada hari Senin, 23 Mei.
Koran Melayu-Tionghoa yang terbit di Surabaya, Pewarta Soerabaia, edisi Rabu, 25 Mei 1955, menurunkan sebuah berita bertajuk “Suasana Lebaran di Kota Surabaja”. Jurnalis koran ini melaporkan bahwa Kebun Binatang Surabaya (KBS) “dikundjungi puluhan ribu rakjat dari segala lapisan”. Ini adalah suatu hal yang mengejutkan, mengingat beberapa hari menjelang Lebaran, Kota Surabaya sangat sepi. Sebagian penduduknya mudik ke kampung halaman di luar Surabaya, sementara malam-malam menjelang Lebaran, yang biasanya riuh rendah dengan bunyi petasan, kala itu sangat lengang.
Keadaan ekonomi secara umum belum begitu baik, sementara suasana psikologis publik agak genting karena ketegangan ideologis yang kian menguat menjelang pemilihan umum pertama dalam sejarah Indonesia merdeka, yang akan berlangsung beberapa bulan selepas Lebaran itu. Nyatanya, walau ekonomi lagi sulit dan politik sedang panas, masyarakat masih butuh hiburan. Dan, kapan lagi hiburan yang paling menyenangkan dan terjangkau bagi seluruh keluarga bisa dinikmati selain pada libur Lebaran. Di Surabaya, KBS-lah tempatnya. Pewarta Soerabaia melaporkan bahwa “rakjat bersuka ria di KBS”.
Baca juga: Merayakan Lebaran dengan Rampogan Harimau
Bila melihat berbagai macam berita pers di tahun 1955 itu, sulit untuk menemukan frasa-frasa yang mencerminkan kegembiraan publik semacam ini, mengingat sebagai negara muda yang baru merdeka rakyat dan pemerintah Indonesia masih harus berjuang keras untuk bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dilaporkan bahwa selama tiga hari berturut-turut, mulai dari sehari sebelum Lebaran, pada hari pertama Lebaran, dan pada hari kedua Lebaran, KBS dibanjiri oleh pengunjung. Mereka berasal dari berbagai lapisan masyarakat. Baik kaum muslim ataupun bukan, ramai-ramai berpesiar ke KBS.
Sementara sebagian besar tempat publik di Surabaya sepi pada hari-hari itu, suasana kontras tampak di KBS. Keramaian sudah tampak sejak halaman depan KBS, yang menurut Pewarta Soerabaia “penuh sesak dengan orang2 jang hendak membeli kartjis dan hendak masuk ke dalam”.
Pengunjung sebanyak itu tidak mungkin diabaikan oleh para pedagang kecil, yang membayangkan mendapatkan rezeki ekstra di Hari Raya. Dilaporkan bahwa sangat banyak penjual makanan dan minuman yang menyemut di KBS. Jumlah persis mereka menurut laporan Pewarta Soerabaia “tidak terhitung banjaknja” dan mereka memenuhi berbagai sudut di sekitar KBS, mulai dari depan hingga sekeliling pagar kawat yang melingkungi KBS.
Saking banyaknya pengunjung, tempat-tempat parkir harus diperbanyak. Prioritas pertama diberikan kepada para pengunjung bersepeda; tempat penitipan sepeda sampai harus ditambah di area-area di sekitar KBS. Tak hanya itu, mobil-mobil pengunjung KBS harus parkir di Taman Bungkul.
Sementara pengunjung bersepeda umumnya adalah warga Surabaya, pengunjung bermobil mencerminkan bahwa KBS, sebagai kebun binatang sekaligus salah satu sarana hiburan terbesar di Jawa bagian timur, menarik minat pengunjung dari berbagai kota di Jawa. Ini tampak dari plat nomor mobil pengunjung KBS, yang tidak hanya bertanda L (Surabaya), tetapi juga N (eks Karesidenan Malang), AD (eks Karesidenan Surakarta), AB (Yogyakarta), bahkan lebih jauh lagi, D (Bandung) dan B (Jakarta). Koran Pewarta Soerabaia sampai menjuluki KBS sebagai “Pasar Siang”, mengingat tingginya animo publik untuk mengunjunginya selama tiga hari itu.
Baca juga: Asal-Usul Profesi Tukang Catut
Hanya saja, minat besar warga berpesiar ke KBS selama libur Lebaran itu mengundang pihak lain yang mencari keuntungan pribadi di tengah kesulitan masyarakat: tukang catut. Ada beberapa tukang catut yang beroperasi selama tiga hari itu. Mereka menjual tiket KBS dengan harga yang sesuka hati. Ini adalah godaan tersendiri bagi para pengunjung yang punya sedikit uang ekstra dan malas berpanas-panas dan berlelah-lelah mengantri di loket tiket. Tapi, polisi dengan segera mendeteksi kehadiran para tukang catut ini. Sebagaimana dilaporkan Pewarta Soerabaia dalam sebuah beritanya tanggal 26 Mei 1955, aparat keamanan berhasil menangkap sepuluh tukang catut karcis KBS. Barang bukti yang disita polisi tidak sedikit: 186 lembar karcis masuk KBS.
Pada Lebaran tahun berikutnya, kebun binatang kembali menjadi salah satu tempat hiburan rakyat yang paling ramai selama libur Lebaran. Kali ini tidak hanya di Surabaya, tapi juga di kota besar Jawa lainnya, Semarang di Jawa Tengah. Pada 1956, Idulfitri jatuh pada hari Sabtu, 12 Mei. Suasana menjelang Lebaran tampak sepi di kota itu. Tapi, di Lebaran hari pertama dan hari kedua barulah warga keluar rumah dan membanjiri tempat hiburan dengan mengenakan berbagai macam pakaian, mulai dari gaya tradisional hingga ala Eropa.
Di Semarang, salah satu tempat terpadat yang dikunjungi warga pada Lebaran hari pertama dan kedua ialah Kebun Binatang Tegalwareng. Kebun binatang ini baru saja dibangun dua tahun sebelumnya, dan masyarakat Semarang sangat antusias untuk mengunjunginya di hari libur Lebaran.
Surat kabar Tanah Air, edisi 14 Mei 1956, dalam sebuah beritanya berjudul “Idul Fitri di Semarang”, dengan bersemangat menyebut bahwa selama libur Lebaran Kebun Binatang Tegalwareng ini “betul2 merupakan sarang dari berdjenis2 manusia jg sengadja mentjari hiburan dalam Lebaran ini”.
Jalanan menuju kebun binatang ini ramai benar oleh manusia, sampai-sampai lalu lintas ke arah Tanahputih dipenuhi oleh para pengunjung. Pengaturan perlu dilakukan agar pengunjung bisa mencapai kebun binatang, salah satunya dengan melarang becak untuk melalui Jalan Siranda yang mengarah ke kebun binatang.
Baca juga: Mengayuh Sejarah Becak
Kunjungan warga pada sejumlah kebun binatang pada hari libur Lebaran adalah berkah tersendiri bagi pengelola kebun binatang. Tidak setiap hari mereka beruntung menerima sedemikian banyak pengunjung. Di luar soal-soal kepadatan pengunjung dan eksisnya calo tiket yang bikin ribet, yang jelas kebun binatang untung besar secara finansial. Pemasukannya berkali-kali lipat dibanding hari biasa atau bahkan hari libur biasa.
Contohnya KBS pada libur Lebaran tahun 1957. Pada tahun tersebut, Idulfitri jatuh pada hari Rabu, 1 Mei. Dalam sebuah berita bertajuk "Lebaran Dirajakan dengan Djiwa Prihatin. Kebun Binatang Tarik Uang Rp. 145.943 Selama Dua Hari” di koran Pewarta Soerabaia edisi Jumat, 3 Mei 1957, disebutkan bahwa terjadi “bandjir uang di kebun binatang”. Ini untuk menggambarkan membanjirnya pengunjung KBS selama Lebaran hari pertama dan kedua. Jumlah total pengunjung selama dua hari itu diperkirakan sebanyak 140.000 orang, baik dewasa maupun anak-anak. Angka ini luar biasa mengingat masih buruknya kondisi perekonomian nasional kala itu.
Rincian pemasukan KBS sebagai berikut: pada hari pertama diperoleh uang sebanyak Rp72.943 dan pada hari kedua naik menjadi Rp73.000. Ini adalah angka yang sangat besar untuk KBS. Sebagai gambaran, harga langganan sebulan untuk surat kabar harian Pewarta Soerabaia sebesar Rp11.
Baca juga: Kesendirian Gajah Atraksi
Secara umum, Lebaran tahun 1957 berlangsung dalam suasana yang muram, setidaknya secara finanasial bagi banyak rakyat Indonesia. Dalam tajuk rencana menyambut Lebaran tahun itu yang berjudul “Lebaran”, redaksi Pewarta Soerabaia menulis bahwa pegawai negeri hanya mendapatkan hadiah Lebaran yang sedikit jumlahnya: Rp180 setelah dipotong pajak (dari Rp200). Angka Rp180, menurut sejumlah pegawai negeri, jauh dari kata cukup bahkan untuk membeli pakaian baru untuk anaknya. Kondisi yang lebih mengenaskan terjadi di antara para pekerja tidak tetap dan mereka yang masih berjuang untuk mendapatkan pekerjaan.
Di tengah kondisi keuangan yang kembang-kempis itu, merayakan Lebaran adalah pelipur lara tersendiri. Puasa Ramadan yang sudah selesai dengan lancar, silaturahmi dengan keluarga besar, dan hiburan rakyat di berbagai sudut kota adalah alasan-alasan yang membuat Lebaran senantiasa ditunggu-tunggu.
Maka, pada hari libur Lebaran, masyarakat betapapun sulit hidupnya, senantiasa mencari cara menghibur diri dengan berplesir ke tempat keramaian yang terjangkau, mulai dari kebun binatang, bioskop, hingga pantai. Tepat agaknya apa yang disampaikan jurnalis Pewarta Soerabaia ketika merespons keramaian di tempat-tempat umum di Surabaya pada Lebaran tahun 1957, yang tampaknya juga masih berlaku hingga kini: “Lebaran ini meskipun kantong agak tipis tapi tetap membutuhkan hiburan murah dan menjenangkan hati”.
Penulis adalah staf pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar