Awal Mula Cetak Biru Pembangunan DKI Jakarta
Tidak ada cetak biru pembangunan Jakarta sampai 1957. Saat kali pertama dibuat, cetak biru itu telah memuat konsep Jabotabek.
JAC P. Thijsse, lelaki Belanda bersetelan jas lengkap dan topi fedora, saban minggu pergi-pulang Jakarta-Bandung menggunakan pesawat Dakota. Dia bekerja di Biro Perantjang Pusat Departemen Pekerdjaan Umum, Jakarta. Tugasnya membuat blueprints (cetak biru) pengembangan kota-kota di Indonesia Timur.
Kebanyakan kota di Indonesia timur rusak akibat Perang Kemerdekaan. Untuk memperbaikinya, pemerintah meminta cetak biru buatan ahli perencana kota yang jumlahnya masih hitungan jari.
Cetak biru kota mengandung pembagian wilayah kota berdasarkan peruntukannya (zonasi). Entah itu untuk permukiman, perdagangan, industri, transportasi, pemerintahan, pendidikan, ataupun fasilitas umum. Termaktub pula di dalamnya perkiraan pertumbuhan jumlah penduduk dan rencana pembiayaan untuk mengembangkan wilayah kota.
Thijsse kerap menggelar diskusi bersama staf-stafnya untuk membuat cetak biru sejumlah kota. Salah satu stafnya seorang Indonesia bernama Soesilo. Selama 1945-1949, tim Thijsse telah berhasil menyelesaikan cetak biru sejumlah kota di Indonesia. Tapi dari sekian banyak cetak biru tersebut, tak tersua cetak biru untuk Jakarta. Penyebabnya ahli perencana kota masih langka ketika itu.
“Kota paling besar dan tumbuh tercepat di Indonesia, Jakarta, tak punya Rencana Pendahuluan (Outline Plan) dan Zonasi hingga 1957,” catat Freek Colombijn dalam “Post-war Reconstruction and Recommencement Urban Planning”, termuat dalam Under Construction.
Pembuatan Outline Plan terjadi pada masa Kotapraja Jakarta di bawah kepemimpinan Walikota Sudiro (1953-1959). Sudiro merumuskan pembangunan Jakarta dalam empat hal terpenting: wisma (rumah), karya (lapangan kerja), marga (transportasi), dan suka (rekreasi dan fasilitas umum). Tapi dia mengaku membangun empat hal tersebut cukup sukar.
Sudiro mengatakan Jakarta belum stabil untuk pembangunan. “Jalannya pemerintahan waktu itu seperti keong saja,” kata Sudiro dalam wawancara dengan Ekspres, 16 Juni 1972. Situasi wilayah sekitar Jakarta belum pulih dari keonaran. Migrasi urban penduduk dari desa sekitar Jakarta yang dilanda keonaran terus meningkat.
Masalah lain pembangunan di Jakarta ialah kekaburan batas wewenang pemerintah pusat dan daerah. Sudiro menceritakan bahwa dirinya suatu hari pernah ditegur keras oleh Presiden Sukarno lantaran ada kambing masuk ke bandar udara Kemayoran. Padahal, menurut Sudiro, bandar udara Kemayoran urusan Kementerian Perhubungan.
“Hanya kalau ada kesulitan-kesulitan saja, biasanya Pemerintah Kotaprajalah yang diwajibkan menyelesaikannya,” kata Sudiro dalam Karya Jaya: Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta.
Keadaan-keadaan demikian menyebabkan Sudiro berpikir bahwa Jakarta tidak mungkin dibangun secara singkat dan terpisah. “Perlu untuk mengadakan persiapan-persiapan ke arah penyusunan Rencana Induk, yang dikenal juga dengan nama Master Plan, untuk perkembangan Kota Jakarta,” terang Sudiro.
Sudiro menggunakan Undang-Undang Pembentukan Kota No. 168 Tahun 1948 sebagai pijakan legal pembuatan Rencana Induk Jakarta. Dia membayangkan Rencana Induk itu bakal memuat pemetaan fungsi tanah untuk permukiman, pekerjaan, transportasi, dan rekreasi.
Pembuatan Rencana Induk Jakarta melibatkan ahli dari Amerika Serikat. Antara lain Prof. Clifford Holliday dan Kennet Watts sepanjang 1954-1957. Tidak ada lagi keterlibatan ahli perkotaan asal atau didikan Belanda seperti Thijsse dan Soesilo yang merancang kota di Indonesia Timur berbasis model kota-kota di Belanda. Freek Colombijn menyebut hengkangnya keterlibatan orang Belanda dan didikannya sebagai tapak mula dekolonisasi dalam perencanaan kota di Indonesia.
Aliran perencanaan kota ala Holliday dan Watts berhulu dari aliran Prof. Sir Patrick Geddes. Aliran ini mencari tahu secara mendalam kebutuhan warga kota dari segala lapisan masyarakat. Caranya dengan mengumpulkan gambaran keadaan dan sifat kehidupan warga kota; kesulitan dan kesukaran apa yang warga kota hadapi dalam kesehariannya.
Holliday hanya punya waktu enam bulan. “Maka kegiatannya terbatas pada mengadakan berbagai survei tersebut di atas sebagai tindakan pendahuluan,” ungkap Sudiro. Holliday balik mengajar ke Amerika Serikat begitu survei kelar. Watts mengambil-alih pekerjaan itu beberapa lama, bersama seorang ahli kota asal Indonesia bernama R.S. Danunagoro.
Berbekal survei kebutuhan warga oleh Holliday, tim perencana meluaskan kajiannya pada sejarah perkembangan Jakarta, masalah tata-guna tanah, dan bangunan seperti gedung pemerintahan, tempat ibadah, gedung sejarah, dan sekolah.
Tim perencana menemukan empat masalah pokok Jakarta. “Kekurangan lapangan kerja, kelangkaan rumah, kepadatan lalu-lintas, dan kecelaan fasilitas umum,” tulis Freek Colombijn. Kemudian empat masalah pokok ini dibuatkan rancangan pemecahannya. Satu sama lain saling terhubung dan mendukung.
Kerja tim perencana berbuah laporan bernama Djakarta Outline Plan pada akhir 1957. “Ini merupakan bahan pertama dalam rangka perumusan Laporan Rencana Induk,” tulis Sudiro. Rencana Induk akan mencakup desain pengembangan Jakarta selama 20 tahun ke depan.
Dalam Djakarta Outline Plan inilah muncul untuk kali pertama konsep pengembangan Jakarta yang bersinggungan dengan wilayah sekitarnya seperti Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek). Menurut Sudiro, tim perencana telah melihat potensi pengembangan Jakarta yang bakal melampaui batas-batas kota tersebab pertumbuhan jumlah penduduk Jakarta dalam 20 tahun mendatang.
Tim perencana menghitung perkiraan pertumbuhan penduduk Jakarta sebesar empat persen per tahun (80.000 jiwa). Ini berarti Jakarta akan mempunyai penduduk sebanyak 4,5 juta jiwa pada 1977. Dengan demikian, wilayah Jakarta harus dikembangkan lebih luas daripada batas-batas pada 1957. Pengembangan ini akan menyentuh wilayah Bogor, Tangerang, dan Bekasi.
Tim perencana menyarankan pemerintah Kotapraja Jakarta melibatkan pemerintah daerah di tiga wilayah tersebut dan mengonsultasikannya pula dengan Pemerintah Pusat melalui Biro Perantjang Negara (sekarang jadi Kementerian Bappenas).
Demi kesinambungan pembuatan Rencana Induk dan pembangunan Jakarta, tim perencana juga memandang penting partisipasi dari warga. “Bilamana dukungan ini tidak ada, maka segala rencana itu betapa baik dan indah sekalipun, akan mengalami kegagalan,” tulis Sudiro.
Tim perencana tidak lekas berhasil menyelesaikan Rencana Induk pada masa Sudiro. Rencana Induk rampung pada 1965, saat Soemarno menjabat gubernur. Kemudian Ali Sadikin menjadi gubernur pertama yang berupaya menjalankan rencana besar bernama Djakarta Master Plan 1965-1985 itu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar