Sinema untuk Bangsa
Film yang baik tak hanya memanjakan indera, namun juga menempa rasa menjadi manusia dan bangsa.
Di usia senjanya, Slamet Rahardjo Djarot tak mau menepi dari dunia seni. Dia masih menunjukkan kepiawaiannya sebagai aktor maupun sutradara. Dia naik pentas dalam pertunjukan teater. Setiap minggu, dia menyuguhkan guyonan bernada satir tentang perpolitikan di Indonesia dalam sebuah acara di stasiun televisi swasta.
Seniman serbabisa ini tak berhenti berkarya. Tak heran jika dia mendapat penghargaan Lifetime Achievement dalam Jogja Nefpac Asian Film Festival 2011 dan Festival Film Bandung 2012.
Slamet Rahardjo, kini 64 tahun, memasuki dunia film lewat teater. Beberapa kali dia menerima Piala Citra, anugerah tertinggi insan perfilman tanah air, sebagai penata artistik, aktor, maupun sutradara. Sebagai tokoh perfilman, dia mengidolakan Usmar Ismail, “Bapak Perfilman Nasional”.
Baca juga: Kisah Tragis Akhir Hidup Bapak Film Nasional
Usmar Ismail, lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, pada 20 Maret 1921, dikenal sebagai sutradara, penulis skenario, dan produser film. Pada 1950, dia keluar dari tentara dan uang pesangonnya digunakan untuk mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini).
Ditemui di sesela kesibukannya, Slamet Rahardjo menyempatkan diri berbincang tentang idolanya.
Sebagai seniman film, siapakah tokoh idola Anda?
Jika tokoh idola dalam pemikiran, ya Sukarno. Tokoh idola dalam dunia teater ya Teguh Karya, wong saya ini muridnya. Namun, jika tokoh idola dalam dunia perfilman ya tentu saja Usmar Ismail.
Dari film-film Usmar Ismail, saya belajar mengenai seluk-beluk pembuatan sebuah film, meski secara pribadi saya tak terlalu dekat dan belum sempat belajar langsung dari dia.
Kapan pertama kali bersinggungan dengan sosok Usmar Ismail?
Ya tentu saja pertama kali sebagai penonton. Ada beberapa filmnya yang saya suka, seperti Lewat Djam Malam, Enam Djam di Djogdja, Tiga Dara, dan Krisis. Saya juga pernah belajar di sekolah yang didirikan Usmar Ismail, yaitu Akademi Teater Nasional Indonesia (yang didirikan tahun 1955, dan menjadi akademi teater modern pertama di Asia Tenggara).
Mengapa mengidolakan Usmar Ismail?
Usmar Ismail adalah orang yang menyadarkan saya bahwa film bukan sekadar hiburan. Film adalah kredo atau pernyataan dari pembuatnya. Jika ingin membuat film, buka mata, pelajari kesusahan, pelajari kesuksesan, pelajari kehidupan dengan jernih. Harus jujur, jangan pura-pura. Seorang pembuat film tak dapat dihakimi oleh hakim; karyanya yang dapat menghakiminya. Jika seseorang membuat film sontoloyo, yang hanya bikin bodo rakyat, ya itulah harkat dia.
Apa yang menarik dari sosok Usmar Ismail?
Ada hal menarik yang pernah dia sampaikan: “Saya membuat film seukuran kesadaran nasionalisme saya. Saya membuat film dengan kesadaran bahwa ini adalah karya budaya. Saya ingin membuat film yang dekat dengan masyarakat karena saya seorang wartawan. Saya ingin bikin film yang berharkat dengan ceritanya karena saya seorang sastrawan. Dan, saya ingin membuat film dengan patriotisme karena saya seorang mayor.” Itu kan lengkap. Jadi ada alasan bagi saya untuk mengaguminya.
Sejauh mana Usmar menginspirasi Anda?
Usmar Ismail memberikan gambaran kepada saya bahwa film bisa digunakan sebagai nation character building. Misal, dia membuat film yang berpikiran Indonesia, problem indonesia, semangat membangun Indonesia. Dalam film saya, Ponirah Terpidana (1983), saya menggunakan simbolisasi situasi bangsa kala itu, saat Orde Baru, di mana tidak ada kebebasan untuk bicara. Akibatnya ya itu, Ponirah tetap sebagai terpidana, terbelenggu oleh kondisi.
Film dapat menjadi vitamin jika dibuat dengan benar, dan bisa menjadi racun jika dibuat dengan sembrono.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar