Hasil pencarian
9571 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Riwayat Penghulu dari Masa Lalu
KERINGAT dingin membasahi tubuh Dedi Slamet Riyadi, 38 tahun. Setelah menuruni bukit, melalui tegalan sawah, dan menerabas sungai dengan sepeda motornya, dia tiba di tempat perhelatan: sebuah masjid kampung di Kuningan, Jawa Barat. Begitu masuk masjid, wajah dan berkas pernikahan yang dia jinjing sama-sama kusut. Tapi toh dia mesti menuntaskan pekerjaannya: menghadiri dan mencatat pernikahan.
- Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga
DI rooftop kantor call center Palestine Red Crescent Society di Ramallah, Tepi Barat, siang, 29 Januari 2024, itu Omar Alqam (diperankan Motaz Malhees) diri bersenda-gurau dengan rekan-rekannya. Namun begitu kembali menerima panggilan di meja kerjanya seusai jam istirahat itu, perasaannya tak pernah lagi sama usai mendengar tangisan bocah 6 tahun, Hind Rajab. Dengan headset -nya, Omar mendengar dengan seksama suara permintaan tolong dari ujung telepon. Sebagai sukarelawan call center PRCS, Omar berusaha menenangkan si penelepon yang berada di utara Kota Gaza. Sejak Oktober 2023 di mana Israel menggempur Jalur Gaza secara membabi-buta dari darat dan udara, semua panggilan darurat warga Gaza dialihkan ke kantor pusat PRCS di Ramallah, sekitar 83,6 kilometer dari Jalur Gaza. “Aku takut. Mereka menembak. Aku mohon jemput aku, ” pinta Hind Rajab. “Siapa namamu?” tanya Omar. “Hind Rajab Hamada. Tolong jangan tinggalkan aku. Aku sendirian,” jawab si bocah. Ternyata situasinya amat gawat. Hind Rajab terjebak dalam kemelut. Serangan tank Israel menghancurkan mobil Kia Picanto hitam yang membawa Hind Rajab beserta sepasang paman dan bibi, serta ketiga sepupunya. Hanya Hind Rajab yang selamat dan terus bersembunyi di kursi belakang mobil sambil minta pertolongan via ponsel. Selugas itu sineas Kaouther Ben Hania mengisahkan awal tragedi Pembunuhan Hind Rajab dalam dokudrama bertajuk The Voice of Hind Rajab . Di antara tiga film di tahun ini – Close Your Eyes Hind dan Hind Under Siege – yang juga sempat diracik sineas-sineas lain tentang tragedi itu, The Voice of Hind Rajab mengangkat lagi kisahnya hanya dengan point of view sukarelawan PRCS yang menerima panggilan darurat Hind Rajab. Tidak hanya Omar yang berusaha menenangkan Hind Rajab. Saat ia harus melapor ke penyelianya, Mahdi Aljamal (Amer Hlehel), headseat -nya diserahkan kepada Rana Faqih (Saja Kilani) dan kadang kepada Nisreen Qawas (Clara Khoury) untuk terus berbicara dan menenangkan Hind Rajab. Dari pencarian data sinyal yang dilakukan Mahdi, diketahui posisi Hind Rajab ada di sebuah jalan dekat SPBU Fares di kawasan Tel al-Hawa, Kota Gaza, Jalur Gaza. Unit ambulans PRCS yang hanya berjarak 2,5 km atau 8 menit dari lokasi Hind Rajab (Willa) Tapi untuk menjemputnya menjadi problem tersendiri. Di Gaza Utara hanya tersisa satu ambulans dan tim first responder : Yusuf Zeino dan Ahmad Madhoun. Mahdi tak ingin gegabah mengirim keduanya meski hanya berjarak 8 menit dari Hind Rajab, sebab militer Israel tak pandang bulu menghantam ambulans manapun tanpa koordinasi keamanan. Koordinasi keamanan melalui setidaknya tiga perantara antara PRCS, Palang Merah Internasional, dan militer Israel. Prosesnya butuh berjam-jam, itupun jika diberi izin dan rute yang disetujui. Padahal, kondisi Hind Rajab sudah begitu gawat. Omar frustrasi. Dia tak berdaya menolong Hind Rajab. Lalu, dari ujung telepon terdengar semburan tembakan dan teriakan Hind Rajab. Hanya keheningan yang tersisa. Omar dan kawan-kawan tenggelam dalam keputusasaan. Apa yang terjadi pada Hind Rajab? Mengapa proses mendapatkan izin penyelamatannya begitu berbelit-belit dan memakan waktu berjam-jam? Baiknya Anda saksikan sendiri The Voice of Hind Rajab . Setelah world premier -nya tayang di Festival Film Venice pada 3 September 2025 dan menerima standing ovation selama 23 menit 50 detik. Film yang juga turut disokong para elite Hollywood sebagai produser eksekutifnya –seperti Brad Pitt, Joaquin Phoenix, Alfonso Cuarón dan Rooney Mara– itu kemudian diputar di berbagai negara, termasuk di beberapa bioskop di Indonesia mulai 26 November 2025. Melawan Lupa Hind Rajab dan Perjuangan Penanggap Pertama Sutradara Ben Hania dan tim produksi tak menghadirkan dokudrama ini muluk-muluk secara sinematografinya. Filmnya bahkan hanya di- shoot di satu lokasi: kantor call center PRCS Ramallah. “Saya sengaja membuatnya hanya di satu lokasi dan tak menyajikan kekejamannya (Israel) karena gambaran-gambaran itu sudah banyak ada di layar kita, di lini masa, di ponsel kita. Yang saya inginkan adalah fokus pada sesuatu yang tak kasat mata: menunggu, rasa cemas, keheningan yang tak tertahankan ketika pertolongan tak jua datang. Kadang apa yang tak bisa Anda lihat itu lebih menghancurkan dari apa yang bisa kita lihat,” dikutip Deadline , 22 Juli 2025. Tidak satu pun adegannya sepanjang durasi 89 menit diiringi music scoring. Toh rekaman asli suara Hind Rajab –yang totalnya berdurasi sekitar 70 menit– sudah cukup membuat penonton bisa menyesapi rasa marah, frustrasi, dan kepedihan dari percakapan Omar dkk. dengan Hind Rajab. Ditambah keheningan yang terasa setelah terdengar rentetan senjata dan jeritan Hind Rajab begitu memekakkan telinga. “Jantung dari film ini sangatlah sederhana dan (tetapi) sangat sulit untuk diterima. Saya tidak bisa terima bahwa ada di dunia ini seorang anak meminta pertolongan dan tidak ada satupun yang datang. Rasanya seperti dunia sudah terbalik dan menghimpit saya. Luka itu, kegagalan itu, adalah tanggung jawab kita semua,” tambah sineas asal Tunisia tersebut. “Saya juga bicara dengan ibu kandung Hind, orang-orang yang berada di ujung telepon yang berusaha menolongnya. Saya mendengarkan mereka, saya menangis, saya menulis (naskahnya). Ini bukan sekadar cerita tentang Gaza. Ini adalah kedukaan universal yang berbicara dengan sendirinya. Dan saya percaya film jadi alat yang lebih kuat daripada breaking news yang gaduh atau rasa lupa dari scrolling (media sosial). Film bisa merawat ingatan. Film bisa melawan amnesia”. Hal lain yang juga ditonjolkan The Voice of Hind Rajab agar tak juga dilupakan publik adalah soal perjuangan para sukarelawan call center dan para penanggap pertama PRCS. Badan kemanusiaan dan pertolongan medis di bawah organisasi Bulan Sabit Merah dan Palang Merah Internasional yang juga berperan banyak menyelamatkan warga sipil Gaza sejak gempuran Israel medio Oktober 2023 hingga hari ini. Meski sudah disepakati gencatan senjata pada 10 Oktober, zionis Israel belum berhenti membantai warga sipil Gaza. Adegan Omar Alqam menunjukkan foto asli Hind Rajab (Mime Films) PRCS sendiri didirikan Dr. Fathi Arafat, adik bungsu pejuang Palestina, Yasser Arafat, pada 57 tahun silam, tepatnya 26 Desember 1968, di bawah naungan PLO atau Organisasi Pembebasan Palestina. Legalitasnya sebagai badan kesehatan dan keselamatan baru diresmikan pada 1 September 1969. PRCS mulai mendirikan klinik-kliniknya pasca-Perjanjian Kairo pada 2 November 1969. PRCS tidak hanya mendirikan kliniknya di kamp-kamp pengungsi di Mesir dan Yordania tapi juga di Lebanon. Inisiatif itu begitu cepat “menular” dan bahkan beberapa klinik secara spontan mengubah nama kliniknya dengan papan nama “Palestine Red Crescent Society”. Hal ini ditemukan sendiri oleh Dr. Fathi Arafat ketika mengunjungi Kamp Pengungsi Tall al-Za’atar di Beirut Timur, Lebanon pada akhir 1969. Ketika ia mendatangi kliniknya sudah ada papan nama PRCS. Dengan ditemani seorang perawat Palestina bernama Nidal, Fathi Arafat menengok keperluan-keperluan dan perlengkapan seadanya di klinik itu. “Kami mendengar bahwa kita sudah mendirikan Bulan Sabit Merah, jadi kami tak ingin menunggu lama. Kami ambil bangsal-bangsal ini dan kami tempatkan tempat tidur kecil, beberapa peralatan, wastafel, dan sebuah selimut putih besar, di mana seorang pelukis di kamp ini melukiskan sebuah (simbol) bulan sabit dan menuliskannya ‘Palestine Red Crescent Society’,” ucap Nidal kepada Fathi Arafat, dikutip Rex Brynen dalam Sanctuary and Survival: The PLO in Lebanon. Inisiatif itu lantas juga mendapat dukungan dari pemerintah Mesir, Lebanon, dan Suriah yang juga terlibat dalam Perjanjian Kairo. Sehingga kemudian PRCS tidak hanya memiliki sejumlah klinik tetapi juga beberapa rumah sakit. “Bulan Sabit Merah Palestina diresmikan pada 1969 (oleh PLO) dengan mengemban tanggung jawab menyediakan fasilitas-fasilitas medis bagi semua warga Palestina, baik sipil maupun para kombatan. Faslitas gratis yang ditawarkan PRCS bagi warga Palestina membutukan banyak keperluan dari (bantuan) negara-negara Arab. PRCS merespon dengan membuka pintu lebar-lebar bagi siapapun yang membutuhkan perawatan medis,” ungkap pernyataan PLO, dikutip Jillian Becker dalam The PLO: The Rise and Fall of the Palestine Liberation Organization. Mulai 1996, PRCS memiliki lebih dari 100 mobil ambulans yang dioperasikan di Tepi Barat dan Gaza. Satu dasawarsa berselang, PRCS – bersamaan dengan MDA atau Perisai David Merah dari Israel, diakui sebagai bagian dan anggota ICRC atau Komite Palang Merah Internasional. Hanya saja sejak Intifada Kedua sepanjang 2000-2008, ambulans-ambulans Bulan Sabit Merah Palestina mulai ikut jadi sasaran Israel. Militer zionis itu menuduh ambulans-ambulans itu dipergunakan para Pejuang Hamas sebagai transportasi pasukan dan persenjataan. Amnesty International dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membantahnya. “Tidak ada penggunaan ambulans-ambulans PRCS untuk mengangkut senjata atau amunisi dan tidak ada penyalahgunaan emblem oleh PRCS,” ungkap kesimpulan Dewan HAM PBB dalam laporannya, “Human Rights in Palestine and Other Occupied Arab Territories: Report of the United Nations Fact Finding Mission on the Gaza Conflict” yang disampaikan pada sesi ke-12 pertemuan Dewan HAM PBB, 15 September 2009. Tak ayal sejak saat itu koordinasi PRCS dengan Palang Merah Internasional beserta Israel acap dipersulit. Hal itu turut tergambarkan di beberapa adegan di film The Voice of Hind Rajab , di atas. Bahwa jika ingin mengirim ambulans ke suatu lokasi di Gaza, PRCS di Ramallah terlebih dulu mesti berkoordinasi dengan Palang Merah Internasional di Yerusalem. Lalu Palang Merah International akan mengkomunikasikannya lagi dengan COGAT atau Koordinator Aktivitas Pemerintah Israel di Wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza, baru ditembuskan ke komando militer lapangan di Gaza. Jika diberi lampu hijau, COGAT akan mengkomunikasikannya kembali kepada Palang Merah Internasional. Baru Palang Merah Internasional akan menginfokan ke PRCS lagi. Sisanya baru PRCS menggerakan ambulans dan para penanggap pertama mereka di Gaza untuk bergerak dengan rute-rute yang sudah ditentukan. Itu pun jika diberikan izin, sebagaimana di atas, akan perlu waktu berjam-jam. Bila ditolak, baik oleh COGAT atau militer di lapangan, PRCS harus mengulang proses melelahkan itu dari awal lagi. Dalam film di atas, ketika tengah frustrasi dengan penolakan COGAT dan militer Israel, pada akhirnya PRCS mencoba “jalan belakang” dengan berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan Palestina. Hasilnya sempat menimbulkan harapan karena PRCS mendapat rute untuk ambulansnya guna mencapai lokasi Hind Rajab dan lampu hijau. Nahas, ambulans yang dikendarai duet penanggap pertama tadi: Zeino dan Madhoun, ikut ditembaki tank Israel, hanya sekitar 300 meter dari lokasi Hind Rajab. Baik Zeino, Madhoun, dan Hind Rajab pun jadi martir. Jasad ketiganya baru ditemukan pada 10 Februari 2024 ketika terjadi gencatan senjata sementara dan pasukan Israel mundur dari kawasan Tel al-Hawa. Tragedinya dan rekaman suara Hind Rajab sempat viral di media sosial dan kanal-kanal berita dunia meski begitu cepat pula tragedinya terlupakan, sebagaimana pembantaian anak-anak Gaza lain oleh zionis Israel. “Setelah banyak kejahatan yang dilakukan, pemerintah Israel selalu punya modus standar: menyangkal, mengalihkan, merekayasa, dan menunggu sampai perhatian dunia berganti ke tempat lain. Kebanyakan media massa ikut berkolaborasi dengan strategi ini yang membuat Israel bisa terus melanjutkan genosidanya. Dalam kasus (Hind Rajab) ini, Israel mengklaim tidak ada pasukan mereka di area itu,” tulis kolumnis Owen Jones di artikel The Guardian , 18 Agustus 2024, “Hind Rajab’s death has already been forgotten. That’s exactly what Israel wants”. Namun banyak masyarakat dunia tak begitu saja ikut arus “strategi” Israel itu. Para mahasiswa Universitas Columbia di New York yang pro-Palestina yang berunjuk rasa pada 29 April 2024, menduduki gedung kampus Hamilton Hall dan menamainya dengan “Hind’s Hall”. Rapper Macklemore merilis lagu protes bertajuk “Hind’s Hall” pula pada 6 Mei 2024 untuk mengenangnya. Sebuah organisasi non-profit Hind Rajab Foundation (HRF) pun didirikan di Brussels, Belgia, medio 2024. Pada 3 Mei 2025, HRF merilis laporan investigasinya dan menemukan klaim bahwa sosok yang paling bertanggungjawab atas pembantaian keluarga Hind Rajab dan kedua penanggap pertama PRCS adalah komandan Brigade Lapis Baja ke-401 Israel, Letkol Beni Aharon sehingga HRF mengajukan kasusnya ke ICC atau Pengadilan Kejahatan Internasional. Tak ketinggalan sebuah komisi PBB di bawah Dewan HAM PBB, Independent International Commission of Inquiry on the Occupied Palestinian Territory including East Jerusalem and Israel, pada 16 September 2025 lalu merilis laporannya terhadap genosida Israel terhadap Gaza bertajuk “Legal analysis of the conduct of Israel in Gaza pursuant to the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide”. PBB menyertakan tragedi Hind Rajab sebagai salah satu tindakan Israel dalam melakukan genosida di Gaza. “Komisi (PBB) menyoroti pembunuhan lima anak dekat SPBU Faris di kawasan Tel al Hawa di Kota Gaza pada 29 Januari 2024. Pada insiden itu Bashar Hamada Hamouda dan Enaam Mohammad Hamada terbunuh oleh pasukan Israel ketika mengendarai mobil bersama lima anak (empat perempuan dan satu laki-laki) termasuk Layan Hamada yang berusia 15 tahun dan sepupunya, Hind Rajab, berusia 5 tahun. Komisi menemukan bahwa mobil mereka dibidik dan ditembaki beberapa tank, menewaskan orangtua Layan, Bashar dan Eenam, dan tiga saudarinya, membuat Layan dan Hind terluka...pasukan Israel juga menembakkan peluru-peluru tank ke ambulans yang datang ke lokasi untuk mencegahnya mendatangi korban. Hind masih hidup hingga pukul 19:00 hari itu dan kemudian meninggal,” tulis salah satu poin laporan tersebut. Deskripsi Film: J udul: The Voice of Hind Rajab | Sutradara: Kaouther Ben Hania | Produser: Nadim Cheikhrouha, Odessa Rae, James Wilson | Pemain: Motaz Malhees, Saja Kilani, Amer Hlehel, Clara Khoury, Nesbat Serhan | Produksi: Mime Films, Tanit Films, Film4, MBC Studios. Watermelon Pictures, Plan B Entertainment | Genre: Dokudrama | Durasi: 89 Menit | Rilis: 3 September 2025 .
- Pamer Kemewahan dalam Upacara Pemakaman
KEBIASAAN pamer kemewahan menjadi hal yang umum bagi warga Batavia di zaman kolonial VOC. Tak hanya dilakukan saat pergi ke gereja, di mana kaum elite Batavia akan diiringi oleh sejumlah budak yang membawa payung dan kipas, tetapi juga dalam berbagai acara seperti upacara pernikahan maupun pemakaman.
- Omar Barack Selamat dari Bom Atom
BEGITU sauh ditarik, kapal Bandung Maru berjalan meninggalkan Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya pada Agustus 1940. Dua puluh hari lamanya Bandung Maru akan mengarungi Samudera Pasifik melewati Taipei dan Shanghai untuk mancapai tujuan akhir, Kobe di Negeri Sakura.
- Menyingkap Selubung Suci Pembawa Misi
INGWER Ludwig Nommensen berusia 27 tahun ketika kapal Pertinax membawanya berlayar dari Amsterdam menuju Padang saat malam Natal, 24 Desember 1861. Setelah 142 hari mengarungi samudra, Nommensen menjejakkan kaki di negeri koloni Hindia Belanda, 16 Mei 1862. Dari Padang, Nommensen menetap sebentar di Barus, kemudian meneruskan muhibah ke arah pedalaman. Dia mengemban tugas suci: memberitakan Injil ke Tanah Batak.
- Menyelami Penguasa Laut Selatan
SENAPATI memasuki samudera. Dia memusatkan pikiran, mengheningkan cipta, bersemedi untuk memohon petunjuk Yang Mahatahu. Badai datang. Angin ribut. Petir menyambar. Laut bergolak. Nyai Roro Kidul beranjak dari peraduan. Di halaman dia seorang manusia berdiri di tepi laut. Dia turun hingga ke pinggir laut dan mendekati Senapati.
- Mencari Nyai Blorong
SUATU sore, sekira 1960-an. Warga Magelang berkumpul di tepi jalan utama yang menghubungkan Magelang dan Yogyakarta sembari membunyikan kentongan dan apapun yang menimbulkan bunyi berisik. Sebagai anak kecil, Prapto Yuwono turut berbaur dalam kerumunan. Namun, herannya jalanan sedemikian sepi; tak ada yang lewat. Selang beberapa waktu, angin berhembus dari arah selatan.
- Mencari Cincin Nabi Sulaiman
KARENA tanah airnya dilanda kelaparan, seorang Hadrami muda meninggalkan rumah dan keluarganya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Di pelabuhan, ketika orang-orang bertanya tujuannya, dia menjawab: “Aku ingin pergi di mana ada timbunan emas dan perak, kuda bercap, dan lahan subur yang bisa digarap.” Dia naik kapal, memulai perjalanannya dan tiba di Surat, India.
- Menangkap Masa Lalu Tuyul
KETIKA melakukan penelitian di Mojokuto, nama samaran untuk Pare, Jawa Timur pada 1952–1954, antropolog Clifford Geertz mendapat uraian sistematis mengenai makhluk halus di Jawa. Seorang tukang kayu muda mengatakan ada tiga jenis pokok makhluk halus: memedi, lelembut, dan tuyul. Dia menunjuk dua anak kecil berumur tiga tahun yang sedang berdiri mendengarkan percakapan mereka.
- Mas Marco dan Politik Busana Kolonial
PADA pertengahan 1914, Mas Marco Kartodikromo, dalam kolom surat kabar Doenia Bergerak mengisahkan pengalaman buruk jadi korban diskriminasi ketika naik kereta dari Solo ke Semarang. Apa sebabnya? Hanya karena ia mengenakan ikat kepala batik! Ketika itu dia pergi bersama seorang Belanda dan seorang Jawa yang mengenakan setelan Belanda. Mereka membeli tiket kelas tiga. Namun, karena gerbong kelas tiga penuh, ketiganya kemudian pindah ke gerbong kelas dua.
- Hak Hidup Makhluk Halus
MEMASUKI ruang auditorium gedung 4 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) bau hio menyengat bercampur aroma melati yang ditaruh di setiap kursi. Acara promosi doktor Sunu Wasono pada 22 Desember 2015 agak menyeramkan. Sang calon doktor pun mengenakan pakaian hitam dan blangkon.
- Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak
AHMAD Ryan Pratama, lelaki asal Balikpapan, tak pernah melupakan pengalaman “pahit” di masa kecilnya. Sewaktu masih duduk di Sekolah Dasar di Balikpapan, dia mengalami infeksi mata yang akut. Penyebabnya adalah kabut menyelimuti sebagian daerah Kalimantan Timur sekitar 1997-1998. Tak hanya Balikpapan, Samarinda dan sekitarnya termasuk daerah terdampak kabut asap itu. Kabut ini muncul sebagai dampak dari kebakaran hutan pada musim kemarau. Kendati begitu, Ryan tetap tak lepas dari bahan bacaan. Dia ingat, kala itu dirinya membaca Kisah Si Pongi, suatu karakter orangutan, satu jenis satwa yang dilindungi. “Si Pongi itu adalah anak orangutan yang survive atau selamat dari pembakaran hutan dan kemudian dia ditolong oleh jagawana atau penjaga hutan,” kenang Ryan tentang komik berwarna itu. Nama Si Pongi merujuk pada Pongo pygmaeus , nama latin untuk spesies orangutan Kalimantan. Sekitar 38 km dari tempat Ryan dulu tinggal, terdapat penangkaran orangutan yang nama kawasannya dikenal sebagai Bukit Soeharto. Belakangan, jumlah orangutan di Kalimantan menurun drastis. Hanya sekitar 50.000-an yang tersisa sekarang. Mereka masih terus terganggu oleh penggundulan hutan (deforestasi) untuk industri besar yang ada. Lebih parahnya, selain ruang hidup mereka direnggut, ada pula orangutan seperti si Pony yang dijadikan pelacur. “Bagian akhir menyebut kalau yang menyebabkan terjadinya kebakaran 1997-1998 itu bukan pemilik lahan yang luasnya 1.000 hektar, tapi ada orang yang membuang puntung rokok dari bus jalan Balikpapan-Samarinda, sama orang-orang Dayak yang mengunakan teknik slash and burn membakar lahan ukuran kecil kemudian ditanami,” terang Ryan. Slash and burn biasa dilakukan oleh peladang berpindah. Hidup dari pertanian ladang berpindah dilakukan oleh orang Dayak secara turun-temurun. Tanah Kalimantan tidak sesubur Jawa untuk digunakan sebagai lahan pertanian pangan, jadi ladang berpindah sejak lama menjadi solusi. Dalam sistem ladang berpindah itu biasanya setelah lahan dibuka dengan cara dibakar, lalu ditanami. Luasannya tidaklah besar, jauh lebih kecil daripada hutan yang ditebang untuk tanaman industri. Kegiatan ladang berpindah oleh beberapa pihak disebut sebagai sebuah kearifan lokal. Tradisi ini sudah turun-temurun dan menjadi bagian dari ketahanan pangan –juga kesehatan–orang Dayak di Kalimantan Timur dan lain-lain. “Teknologi ladang berpindah mendukung pemulihan kesuburan lahan secara alami dan dapat menekan populasi gulma dengan menurunnya viabilitas cadangan biji gulma dalam tanah,” kata Suyadi Jelai dalam Bahan Pangan Pokok Alternatif Dan Fungsional . Namun, “teknologi” ladang berpindah dianggap sebagian kalangan sebagai pemborosan karena memerlukan waktu setidaknya tujuh tahun. Karena sistem itu pula orang Dayak yang hidup sebagai peladang berpindah lebih sering disalahkan daripada perusahaan-perusahaan yang dilindungi pemerintah, terutama Orde Baru, dalam membuka hutan. Penebangan hutan untuk industri di Kalimantan sendiri baru masif setelah abad ke-20. Akibatnya, luas tutupan hutan alam berkurang. Kendati penebangan hutan untuk kepentingan industri sudah ada di Kalimantan sebelum Perang Dunia II, jumlahnya jauh lebih kecil dari yang ada pada era Orde Baru. Masifnya penggundulan hutan era Orde Baru berdampak parah hingga kini. Dengan HPH sebagai andalannya untuk mendapatkan “cuan”, Orde Baru membuat Kalimantan yang awalnya berhutan lebat menjadi botak. Mongabay menyebut antara 1973 hingga 2010, telah terjadi penebangan hutan seluas 270.819 km 2 . Hutan-hutan ditebangi untuk diambil kayu-kayu gelondongannya. Bank Dunia melanjutkan, selama periode 1986-1997 sekitar 1,7 juta hektare per tahun lahan hutan menghilang di Kalimantan. Mayoritas pelakunya adalah perusahaan-perusahaan industri hasil hutan yang mendapat izin Orde Baru. Bank Dunia menginformasikan, pada tahun 1900, asumsi tutupan hutan alam Kalimantan masih seluas 17.500.000 hektar. Jumlah itu berkurang drastis hingga 11.111.900 hektar pada 1985. Lalu pada 1997, luas tutupan hutan itu hanya 4.707.800 hektar. Data tersebut jelas mematahkan klaim Orde Baru yang menyatakan bahwa orang Dayak sebagai salah satu penyebab utama kebakaran dan kabut 1997-1998. Kendati ratusan tahun orang-orang Dayak mempraktikkan sistem ladang berpindah, jumlah tutupan hutan Kalimantan di hingga 1900 masih tinggi. Artinya, ladang berpindah yang dijalankan orang Dayak tidaklah masif. “Pulau Kalimantan merupakan pusat keanekaragaman hayati Asia Tenggara, dengan mayoritas spesies dan garis keturunan evolusi dari wilayah yang lebih luas berasal dari Kalimantan. Kalimantan diperkirakan telah kehilangan lebih dari 30% hutannya antara tahun 1973 dan 2010. Kebakaran dan alih fungsi hutan menjadi perkebunan —terutama kelapa sawit ( Elaeis guineensis ) dan tanaman pohon-pohon lainnya (seperti Acacia specis dan karet)— merupakan pendorong terbesar hilangnya hutan. Pada 2010, pulau ini menampung hampir 65.000 km² (6,5 juta ha) perkebunan kelapa sawit dan 10.537 km² (1,1 juta ha) perkebunan pohon lainnya, yang secara keseluruhan menempati 10% dari total luas daratannya,” kata buku Industrial Agricultural and Ape Conservation yang dieditori Helga Rainer, Alison RT dkk. Kini, orang Daya justru tak bisa lagi melakukan kegiatan ladang berpindah akibat deforestasi oleh industri baik untuk diambil kayunya atau pertambangan batubara serta kegiatan-kegiatan bisnis lain. Para peladang berpindah dipaksa hidup di luar pertanian ataupun penangkapan ikan alami yang telah turun-temurun menjadi jalan hidup mereka. "Nilai belom bahadat terhadap lingkungan yang terkandung dan tercermin dalam tindakan orang Dayak memperlakukan alam sekitarnya. Upaya memanfaatkan hutan dan alam sebagai tempat memenuhi segala kebutuhan, kearifan lokal orang Dayak berdampak terhadap kebersinambungan alam dan hutan. Mereka tidak menebang pohon dengan ‘ chain saw ’ atau gergaji mesin dan alat berat yang mempunya daya rusak tinggi. Kearifan lokal Dayak mengajarkan mereka bagaimana memanfaatkan alam dengan baik serta tidak merusak tatanan ekosistem," tulis Linggua Sanjaya Usop dalam Mempertahankan Hak Atas Tanah .





















