Wadah Pengetahuan Tanah Jajahan
Belanda bikin lembaga yang mengumpulkan informasi mengenai tanah jajahannya.
PENJAJAH membutuhkan pengetahuan tentang negeri jajahannya untuk menjaga kesinambungan penjajahannya. Karena itulah Kerajaan Belanda mendirikan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) pada 1851 untuk mengumpulkan informasi mengenai daerah jajahan.
“Kolonialisme tercermin dalam koleksi ilmiah dan sejarah seni yang indah, dan yang memberi gambaran daerah-daerah jauh yang pernah, kurang lebih, dikuasai Belanda,” kata Putri Maxima, pelindung KITLV, dalam pengantar katalog pameran, Treasures. Selain KITLV, “di seluruh dunia, tidak ada tempat yang menyediakan koleksi mengenai jajahan Belanda dan sekitarnya yang begitu luas dan mudah diakses.”
Namun, KITLV tak langsung mengumpulkan dan menyusun koleksinya. Buku pertama yang dibeli adalah buku kas seharga dua gulden pada 1863. Enam tahun kemudian, KITLV telah menjadi perpustakaan kolonial paling lengkap di Belanda. Sejak itu, perpustakaan terus tumbuh.
Selama lebih dari satu setengah abad, KITLV berhasil mengumpulkan lebih dari 300 ribu judul dalam 500 ribu jilid; 200 ribu foto, kartu pos bergambar dan negatif; lima ribu gambar; 500 atlas, 15 ribu peta dan buku atlas; arsip dan koleksi naskah yang jika direntang panjangnya lebih dari 400 meter; serta 10 ribu gambar audiovisual dan hasil rekaman suara, termasuk arsip audiovisual mengenai kehidupan sehari-hari di Indonesia yang baru disusun.
Pekerja KITLV yang dianggap berperan penting dalam pengumpulan dan pengelolaan koleksi adalah Gerret Pieter Rouffaer (1860-1928 dan Rob Nieuwenhuys (1908-1999).
Sebagai wakil sekretaris KITLV, Rouffaer, yang meneliti dan menulis berbagai topik tentang Nusantara, adalah yang pertama mengembangkan koleksi –tanpa bayaran dan gaji. Dia melihat pentingnya membuat koleksi foto. Bahkan, saking bersemangat, dia sering berkonflik dengan sang sekretaris, yang menganggap tak terlalu perlu membeli koleksi tertentu. Sampai-sampai Rouffaer merogoh koceknya sendiri dan menghadiahkan koleksinya untuk KITLV. Dia pun kerap menghimbau anggota yang berada untuk berbuat demikian.
Sedangkan Rob Nieuwenhuys membuat dan menyusun dokumentasi besar mengenai sastra Hindia Belanda. Hasilnya, berdirilah bagian tersendiri, Dokumentasi Sejarah Indonesia, yang menggabungkan semua koleksi khusus. Dalam buku fotonya, dia menghidupkan kembali foto-foto koleksi KITLV dengan teks yang bersifat pribadi.
Koleksi KITLV tersebut ditampilkan dalam pamerkan bertajuk “Mapping History” di Erasmus Huis Jakarta, 8-15 Februari 2013. Pameran tersebut menampilkan sekira seratus koleksi yang terbagi dalam tiga tema: Work, Water, dan Batavia.
“Koleksi gambar dan manuskrip yang kami tampilkan pada ekshebisi ini kurang lebih seratusan. Ide utama pameran adalah semacam sharing informasi,” kata Gert J. Oostindie, direktur KITLV.
Proses seleksi bahan-bahan yang dipamerkan cukup menarik, mengingat koleksinya sangat banyak. Tim penyeleksi memasukkan semua jenis bahan, seperti gambar, peta, foto, sketsa, dan naskah, dengan menjaga keseimbangan antara Hindia (Timur) Belanda dan Hindia Barat. Hanya ilustrasi dari periode sebelum 1950 yang diseleksi. Kemudian dipilih beberapa contoh dari setiap masa dalam periode itu. Dokumen dari abad ke-19 dan awal abad ke-20 lebih banyak daripada periode lain karena kebanyakan bahan visual dalam koleksi berasal dari periode ini. “Pilihan yang dibuat tetap bersifat manasuka,” demikian tertulis dalam katalog.
“Seiring perkembangan informasi yang sedemikian cepat, diperlukan sumber informasi yang mudah didapat oleh pengguna informasi tersebut,” kata BJ Habibie, dalam sambutan pembukaan pameran.
“Digitalisasi segala sumber data, terutama data masa lampau, merupakan jawaban dari tantangan untuk mendapatkan informasi secara terbuka dan mudah diakses. KITLV pun akan menyediakan semua sumber data yang mereka miliki dalam bentuk digital,” kata Oostindie.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar