Setengah Abad Planetarium dan Observatorium Jakarta
Sukarno menyadari bangsa Indonesia dapat berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain melalui pengembangan sains.
Indonesia mempunyai sejarah panjang dalam penyelidikan ilmiah dunia astronomi. Bermula dari pendirian observatorium Mohr di Batavia sebagai observatorium pertama di Hindia Timur pada pertengahan abad ke-18 sampai kepada kegiatan observatorium Bosscha pada 1923.
Sukarno mengetahui jejak sejarah tersebut dan berpikir untuk terus mengembangkan tradisi pengetahuan astronomi di Indonesia. Caranya dengan popularisasi sains antariksa kepada masyarakat melalui pembangunan Planetarium Jakarta pada awal dekade 1960-an. Di dalamnya termasuk juga sebuah observatorium baru untuk para peneliti astronomi.
“Harapan Bung Karno mendirikan planetarium dan observatorium Jakarta adalah ingin menjadikan Indonesia unggul dalam bidang sains dan teknologi,” kata Darsa Sukartadiredja, Kepala Planetarium dan Observatorium Jakarta periode 1977–2001, dalam Sarasehan 50 Tahun Planetarium dan Observatorium Jakarta di Cikini, Jakarta, 27 April 2019.
Sukarno menyadari bahwa bangsa Indonesia dapat berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain melalui pengembangan sains. Masa itu astronomi menjadi cabang sains paling menonjol sebagai penanda peradaban sebuah bangsa.
Tanpa Master Plan
Pencanangan pembangunan Planetarium dan Observatorium berlangsung pada 9 September 1964. Pembangunannya, sebut Darsa, tanpa master plan lengkap. Ide Sukarno disambut oleh pihak-pihak yang merasa mampu membangun Planetarium dan Observatorium. Maket pun dibuat. Pembangunannya berdasarkan maket itu.
“Jadi dari gagasan Bung Karno, dan kemudian ada yang bersedia membiayainya, ada yang bisa mengerjakannya, ada insinyur-insinyur yang bisa mewujudkannya, maka jadilah,” terang Darsa.
Perkiraan biaya pembangunan Planetarium dan Observatorium Jakarta sebesar Rp3,2 miliar, termasuk US$1,5 juta atau setara Rp1,8 miliar untuk pembelian peralatan proyektor lensa merek Zeiss dari perusahaan Carl Zeiss AG dan peralatan penunjang lainnya dari Jerman Timur. Nilai dolar Amerika saat itu sekira Rp1.205.
Semula biaya pembangunan akan menjadi beban lembaga-lembaga tinggi negara. “Tapi ada tambahan juga dari buku yang saya tahu, bahwa yang membangun ini sebenarnya adalah juga usaha-usaha yang tergabung dalam Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI), peran swasta,” ungkap Darsa.
Gubernur DKI Jakarta Henk Ngantung menjadi penanggung jawab utama seluruh pembangunan. Henk memberikan mandat kepada dua perusahaan negara bidang konstruksi, Hutama Karya dan India Karya, sebagai kontraktornya. Prof. Ir. Roosseno Soerjohadikoesoemo bertugas sebagai pengawas proyek.
Dana terbesar pembangunan berasal dari GKBI, lembaga tempat bernaung para pengusaha batik di Indonesia. Tapi pembangunan Planetarium dan Observatorium Jakarta kandas pada 1965.
Berkaitan dengan rentetan peristiwa G30S, GKBI kehabisan dana. Mereka tidak mampu lagi mendanai pembangunan Planetarium dan Observatorium Jakarta. Pemerintah Jakarta mengambil alih tanggung jawab pembangunan tersebut pada 1966–1968.
Gubernur Ali Sadikin menunjuk Santoso Nitisastro, seorang staf Observatorium Bosscha, sebagai pemimpin pembangunan Planetarium dan Observatorium Jakarta. Dia memperoleh bantuan dari seorang teknisi senior bernama Kodrat Iman Satoto.
Keduanya bekerja keras memasang seluruh peralatan Planetarium dan Observatorium. Kebutuhan elektrik dan mekaniknya selesai pada 1968. Ali Sadikin kemudian meresmikan Planetarium pada 10 November 1968. Tapi tidak ada kegiatan untuk publik beberapa waktu setelahnya.
“Waktu diresmikan 10 November 1968, pintu masih terbuka, membawa masuk sinar dari luar, juga air ketika hujan. Orang keluar masuk dalam keadaan pintu yang terbuka. Saat itu Planetarium dan Observatorium Jakarta belum layak beroperasi,” kata Darsa.
Selama rentang November 1968–Maret 1969, Santoso dan kawan-kawan menyusun staf kerja untuk mengelola Planetarium dan merunut daftar kebutuhan penunjang kegiatannya.
Semua kerja keras berbuah manis. Planetarium berhasil menggelar pertunjukan teater bintang pertama untuk khalayak pada 1 Maret 1969. Pengurus Planetarium Jakarta menetapkan kala ini sebagai hari jadi Planetarium dan Observatorium Jakarta. Indonesia akhirnya mempunyai Planetarium pertama. Tapi pengurus memandang Planetarium belum sepenuhnya lengkap.
“Itu baru gedung berkubah saja, dengan diameter kubah sekitar 25 meter, dengan tinggi hampir 30 meter. Jauh dari bentuk maket awal,” kata Darsa.
Pengurus mengupayakan bangunan tambahan untuk Planetarium. Misanya kantor pengurus, perpustakaan, ruang kelas, dan ruang multimedia. Mereka mengajukan usulan tersebut kepada pemerintah daerah.
“Penambahan fasilitas tersebut agak lama karena pemerintah daerah sedang membangun gedung Arsip Jayakarta pada kompleks dan saat yang sama. Bahan bangunan gedung arsip tersebut mengambil bahan-bahan untuk penambahan fasilitas pelengkap Planetarium,” kata Darsa.
Planetarium perlahan memiliki bangunan tambahan pada awal 1980-an dan terus begitu hingga 1990-an. Planetarium pun tampak memiliki persamaan dengan maket awal pada masa 1960-an.
Dekat Masyarakat
Darsa mengenang kehadiran Planetarium tidak langsung menarik perhatian khalayak. Pengurus harus memperkenalkan planetarium kepada khalayak melalui bermacam cara. Dari mencetak stensilan, poster, dan sablon sampai mengedarkan surat-surat ke sekolah. Semua biaya keluar dari kocek pengurus sendiri alias probono.
Hasilnya kelihatan pada 1975 sampai 1980-an awal. Jumlah pengunjung Planetarium menyentuh angka 30.000 hingga 40.000 per tahun. Kemudian secara bertahap meningkat lebih dari tujuh kali lipatnya pada dekade 1980-an. Kebanyakan pengunjung berasal dari kalangan pelajar sekolah dasar.
Hamdan Pabeangi, salah satu peserta sarasehan berusia 50 tahun, bercerita kepada Historia tentang pengalamannya kali pertama mengunjungi Planetarium pada 1977. Dia pelajar sekolah dasar saat itu. Dia ingat sebuah manekin berpakaian astronot di dalam etalase, di depan pintu masuk Planetarium Jakarta. Manekin itu sampai sekarang masih ada.
Hamdan terpukau dengan pertunjukan bintang-bintang buatan Planetarium. Menurutnya, “Sebuah pengalaman berbeda dari melihat bintang pada langit malam Jakarta ketika itu.” Dia juga beroleh inspirasi dari Planetarium untuk menyenangi mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam hingga menginjak pendidikan menengah pertama.
Syifaunsyah, peserta lain sarasehan, menyatakan kesan serupa saat kali pertama menyambangi Planetarium Jakarta pada awal 1990-an. “Dari sana saya tahu bahwa Andromeda itu ternyata nama galaksi, bukan nama tokoh jagoan dalam film anime (kartun Jepang) Saint Seiya,” kata Syifaunsyah kepada Historia.
Seiring penambahan jumlah pengunjung dan keterkenalan Planetarium Jakarta, alat-alat Planetarium bekerja lebih keras. Umur produktifnya pun berkurang. Dan muncul sejumlah masalah teknis. Pengurus mengajukan permintaan pembelian peralatan baru kepada Gubernur Jakarta Surjadi Soedirdja pada 1992 demi memastikan peran planetarium di masyarakat tetap terjaga.
Avivah Yamani Riyadi, salah seorang pembicara sarasehan sekaligus jurnalis langitselatan.com, menyebut Planetarium Jakarta sebagai jembatan para saintis ilmu astronomi menuju masyarakat.
“Jika ada orang yang menyukai ruang angkasa, akan tetapi tidak mengerti soal ilmu astronomi sebagai ilmu eksak, apakah dia bisa memahami astronomi? Tentu saja bisa. Di sinilah peran Planetarium menjembatani ilmuwan dengan masyarakat, untuk memperkenalkan sains kepada semua orang,” sebut Avivah.
Avivah menyatakan bahwa peran tersebut akan tetap relevan meski sekarang masyarakat bisa mengakses pengetahuan astronomi secara lebih luas melalui internet. “Tetapi tidak semua orang bisa memiliki kemampuan untuk menyaring berita yang benar,” kata Avivah.
Peneliti astronomi di Observatorium Jakarta masih memiliki otoritas untuk menghadirkan pengetahuan dan berita yang benar tentang astronomi. Mereka bisa mengemas berita dan pengetahuan itu dalam Planetarium. Karena itu Planetarium harus terus mendekat kepada masyarakat demi menghindarkan masyarakat dari berita dan pengetahuan tentang astronomi yang tidak benar.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar