Sejarah Pengangkatan Guru Besar dan Profesor di Indonesia
Dulu sarjana pun bisa jadi profesor kalau sudah ubanan sehingga disebut profesor linglung.
Acara obrolan Erdian Aji Prihartanto alias Anji dan Hadi Pranoto tentang penemuan obat herbal untuk Covid-19 menuai kontroversi. Bukan saja isinya, tapi juga penyematan atribut profesor pada Hadi Pranoto. Tak diketahui dari universitas mana dia memperoleh atribut itu. Belakangan, dia mengaku atribut itu hanyalah panggilan sayang dari teman-temannya.
Meski Hadi mengaku dia memperoleh atribut “profesor” dari teman-temannya, atribut itu sejatinya tak bisa sembarang disematkan oleh suatu kelompok kepada orang tertentu. Penyebutan profesor memiliki aturan jelas dalam sejarah negeri ini meski ada kalanya tak tertulis.
Profesor merupakan sebutan lain untuk guru besar. Profesor bukanlah gelar akademik, melainkan penyebutan untuk orang yang menjabat guru besar dalam struktur pengajar di universitas. Profesor berasal dari bahasa latin, artinya orang yang memiliki keahlian.
Nama Hussein Djajadiningrat tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang mengemban jabatan guru besar dan memiliki atribut profesor. Dia memperolehnya dari Rechtshogeschool (Perguruan Tinggi Hukum) di Jakarta pada 1924.
Baca juga: Rektor Tak Lulus Kuliah
Waktu itu hampir seluruh aturan dan sistem pendidikan tinggi di Hindia Belanda meniru aturan dan sistem pendidikan tinggi di Belanda. Termasuk pula penyebutan gelar untuk para sarjananya (Mr. atau Meester in de Rechten) dan penyematan jabatan guru besar.
Seturut dengan tradisi kampus-kampus di Eropa, kaprah pada masa itu komunitas akademik di sebuah kampus di Belanda saling mengusulkan seseorang untuk diangkat sebagai guru besar. Sebelumnya orang itu harus memiliki sejumlah karya akademik yang berbobot dan diakui komunitas akademik.
Sebelum pengangkatan menjadi guru besar, seseorang harus menyiapkan pidato ilmiah. Dia akan membacakan pidato itu di hadapan komunitas akademik tempat dia bekerja. Pidato lazimnya disampaikan dengan bahasa yang bisa dipahami oleh orang yang tidak sebidang dengan kepakaran atau keilmuannya. Menurut laman uu.se (Uppsala University, universitas pertama di Swedia) tradisi seperti ini telah berakar di kampus-kampus Eropa pada abad pertengahan (14–16 M).
Tradisi pengukuhan guru besar masuk ke Hindia Belanda seiring dengan pendirian perguruan tinggi di Hindia Belanda sepanjang 1920-an. Tradisi tanpa aturan tertulis ini terus bertahan di perguruan tinggi Indonesia selama masa 1950-an. Bachtiar Rifai dkk. dalam Perguruan Tinggi di Indonesia menyebut masa ini sebagai masa bertahan atau survival perguruan tinggi.
Masa ini perguruan tinggi Indonesia mendasarkan geraknya pada Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1950 tentang pemberian kekuasaan kepada menteri pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan untuk menyelenggarakan universitas. Sebagian besar isi UU itu berupa upaya penambahan tenaga pengajar dari orang Indonesia dan pengambilalihan perguruan tinggi dari tangan NICA Belanda.
Sementara Nugroho Notoususanto dkk. dalam Sedjarah Singkat Universitas Indonesia menyebut masa 1950-an sebagai masa Indonesianisasi perguruan tinggi. Ini termasuk pula upaya mendorong pengukuhan guru besar dari kalangan bangsa Indonesia. “Lagi pula Senat Guru Besar sebagian besar terdiri dari orang-orang Belanda, demikian pula tenaga-tenaga dosen lainnya,” catat Nugroho.
Memasuki dekade 1960-an, aturan tertulis tentang pengangkatan guru besar dan penyematan sebutan profesor mulai diperkenalkan. Ini seiring dengan keluarnya UU No. 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi. UU ini mengatur penyelenggaraan pendidikan seperti tujuan, bentuk-bentuk perguruan tinggi, tingkat ujian dan gelar, jenis pengajar, dan definisi guru besar dan profesor.
Pasal 11 ayat 7 menyebut pemakaian sebutan profesor diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). Ada ancaman pidana jika seseorang sembarang menggunakannya. Tapi PP tentang pemakaian sebutan profesor tak kunjung keluar selama setahun. Ini membuat sejumlah perguruan tinggi menerapkan kembali konvensi lama tentang penyematan sebutan profesor. Seseorang pun terkadang menyematkan sebutan profesor di depan namanya secara mana suka.
“Pernah terjadi bahwa gelar profesor telah digunakan secara disengaja atau tidak disengaja oleh yang bersangkutan sebelum keluar Surat Keputusan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, hal mana sama sekali tidak dapat dibenarkan,” catat Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perguruan Tinggi di Indonesia terbitan tahun 1975.
Peraturan Tertulis Pertama
Kekosongan peraturan tertulis tentang penyematan sebutan profesor mendorong Tojib Hadiwijaya, Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, mengeluarkan Surat Keputusan No. 74 Tahun 1962 tentang Pedoman Sementara Mengenai Pengangkatan Guru Besar Pada Perguruan Tinggi dan Penggunaan Sebutan/Gelar Profesor. Inilah aturan tertulis pertama sejak Indonesia merdeka tentang pengangkatan guru besar dan penggunaan sebutan profesor.
SK No. 74 memuat lampiran tentang tata cara pengangkatan seseorang menjadi guru besar dan penyebutan profesor. Menurut SK ini, guru besar adalah jabatan dalam suatu perguruan tinggi. Sedangkan sebutan profesor merupakan pengakuan dan penghormatan tertinggi pada seorang pengajar di perguruan tinggi.
Baca juga: ITB Rayakan Seabad TH Bandung
“Karena itu, pengangkatan menjadi Guru Besar dan penggunaan gelar Profesor harus diatur,” catat SK No 74. Syaratnya ada lima. Seseorang harus mempunyai spesialisasi bidang ilmu; menulis karya ilmiah dalam bentuk buku, majalah, jurnal, disertasi; memiliki pengalaman mengajar; bermoral dan berintegritas tinggi; dan berjiwa Pancasila-Manipol USDEK.
Syarat terakhir tak lepas dari kondisi politik saat itu. Sukarno sedang giat-giatnya menggelorakan gagasannya tentang Manipol dan USDEK. Karena posisinya terus menguat, Sukarno pun ikut menentukan proses seseorang menjadi guru besar. Mula-mula para guru besar mengadakan rapat untuk mengajukan calon guru besar.
“Bilamana dalam rapat tersebut dicapai suara bulat, usul pengangkatan sebagai Guru Besar (biasa atau luar biasa) diteruskan kepada Presiden/Ketua Perguruan Tinggi,” tulis SK No. 74. Presiden berhak menerima atau menolak pencalonan guru besar.
Baca juga: Pembersihan Mahasiswa IPB dan UI
SK No. 74 juga menyebutkan, jabatan guru besar tak mesti selalu harus diisi seorang bergelar doktor atau Ph.D. Sebaliknya, seorang bergelar doktor atau Ph.D tak lantas menjadi guru besar. Dengan demikian, seorang bergelar sarjana bisa saja menjabat guru besar dan memakai sebutan profesor.
“Setelah cukup lama mengabdi sebagai akademisi, sudah ubanan bahkan karena sudah tua diplesetkan dengan ‘profesor linglung’,” tulis Adnan Kasry dalam Riau Pos, 13 Juni 2006.
Profesor yang Pensiun
Mengenai apakah penyebutan profesor itu bersifat permanen atau sementara, SK No. 47 menyebut akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Tapi Peraturan Pemerintah pun tak lantas cepat keluar. Akibatnya beberapa guru besar dan profesor masih membawa jabatan dan sebutan itu hingga liang lahat. Sebagaimana tertulis di batu nisannya. Bahkan sebagian menjadi nama jalan.
SK No. 47 sempat ditinjau ulang melalui SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 211/P/1976. Meski begitu, SK No. 47 baru diganti secara resmi setelah keluarnya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Baca juga: Sediono Tjondronegoro, Profesornya Kaum Tani
“Sebutan Guru Besar atau Profesor, hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja… Karenanya seorang profesor yang telah pensiun, secara akademik tidak berhak lagi menuliskan kata ‘Prof’ di depan namanya,” catat Adnan Kasry, dalam Riau Pos, 13 Juni 2006.
Kasry juga menyebut sejak UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas berlaku, guru besar hanya bisa diisi oleh seorang dosen yang bergelar doktor atau Ph.D. “Tidak seperti dosen sebelumnya,” kata Adnan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar