Satgas Flu Spanyol di Hindia Belanda
Selama pandemi flu spanyol melanda Hindia Belanda, pemerintah kolonial membentuk sebuah gugus tugas yang bertujuan menanggulangi penyebaran virus di masyarakat.
Pandemi Covid-19 di Indonesia telah berjalan selama lebih dari satu tahun lamanya. Tercatat hampir tiga juta orang terpapar virus tersebut. Hingga Juli 2021, sebagaimana dikutip laman Covid.go.id, pasien meninggal di Indonesia telah menembus angka 76 ribu jiwa. Sementara pasien sembuh mencapai 2,3 juta jiwa.
Pemerintah Indonesia terus berupaya menanggulangi bencana kesehatan global ini. Berbagai cara pun dilakukan untuk menekan laju penyebaran virus di masyarakat, seperti membatasi kegiatan di luar rumah, memberlakukan jam malam, mengesahkan aturan baru tentang pandemi, hingga mengadakan vaksinasi. Upaya lain dari pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini adalah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Covid-19.
Secara resmi Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) Covid-19 dibentuk pada 13 Maret 2020, melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Pembentukan Gugus Tugas itu bertujuan untuk meningkatkan ketahanan nasional di bidang kesehatan; mempercepat penanganan Covid-19; mengantisipasi penyebaran virus; serta meningkatkan kemampuan dan kesiapan dalam mencegah, mendeteksi, dan merespons Covid-19.
Baca juga: Kiai Tunggul Wulung Menangkal Wabah Penyakit
“… untuk menghindari kesimpangsiuran informasi yang disampaikan kepada publik, saya minta agar Satgas Covid-19 menjadi satu-satunya rujukan informasi kepada masyarakat,” ujar Presiden Jokowi dalam sebuah keterangan pers di Istana Kepresidenan Bogor pada 16 Maret 2020, seperti dikutip laman Presidenri.go.id.
Di masa lalu, ketika pandemi flu Spanyol mewabah di Hindia-Belanda pada permulaan abad ke-20, pemerintah kolonial juga melakukan hal serupa dengan membentuk Satgas penanggulangan pandemi. Gugus Tugas yang sebagian besar diisi oleh ahli kesehatan dan peneliti itu diberi nama Influenza Commisie (Komisi Influenza).
Pembentukan Komisi Influenza merupakan langkah konkret yang diambil pemerintah kolonial dalam menghadapi gempuran virus Flu Spanyol di Hindia Belanda pada 1918. Menurut Arie Rukmantara, dkk dalam Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda, Komisi Influenza dibentuk pada November 1918 di bawah naungan Burgerlijke Geneeskundige Dienst (BGD) atau Dinas Kesehatan Rakyat. Pencetusnya adalah inspektur BGD, Dr. Thomas de Vogel.
Baca juga: Cara Shinse Melawan Flu Spanyol
Komisi tersebut bertugas menanggulangi penyebaran wabah dan mencari upaya penyembuhan terhadap virus. Mereka juga harus mengadakan investigasi terkait penyebaran virus, mula dari penyebab, akar penyebaran, wilayah-wilayah terjangkit, gejala-gejala dari penyakit, tingkat mortalitas, hingga cara penanggulangan Flu Spanyol tersebut.
Komisi Influenza dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Burgerlijke Geneeskundige Dienst No. 11767 Tanggal 16 November 1918. Disebutkan Iswara N. Raditya dalam 1918: Kronik Kebangkitan Nasional, Gugus Tugas penyebaran virus Flu Spanyol tersebut diketuai oleh Dr. C.D. de Langen. Dalam menjalankan tugasnya, Dr. Langen dibantu oleh empat orang dokter ahli, yakni Dr. G.O.E. Lignac, Dr. P.C. Flu, Dr. J. Huizinga, dan Dr. Sardjito.
“Pembentukan tim tersebut mendorong diambilnya tindakan cepat untuk mencegah penyebaran penyakit itu dan menjangkau lapisan bawah masyarakat dengan penyebaran informasi yang berkaitan,” tulis Rukmantara, dkk.
Dr. Langen bersama Komisi Influenza membawahi banyak dokter dan peneliti di laboratorium yang berkaitan langsung dengan Flu Spanyol. Ketika pertama kali dibentuk, komisi itu memulai pekerjaannya dengan melakukan survei terhadap kondisi Flu Spanyol di masyarakat. Mereka membagikan daftar pertanyaan ke seluruh dokter di Hindia Belanda. Nantinya hasil survei tersebut akan menjadi rujukan bagi penanganan pandemi di masa mendatang.
Baca juga: Hoax Masa Pandemi Flu Spanyol
Dijelaskan Ravando dalam Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial 1918-1919, hasil survei Komisi Influenza menunjukkan bahwa gejala umum para penderita Flu Spanyol cenderung beragam. Namun ada kondisi yang hampir sama pada tiap penderita, yakni demam tinggi selama tiga hingga tujuh hari saat pertama terjangkit.
Selain itu, gejala lain yang biasanya diderita oleh pasien Flu Spanyol adalah batuk kering, sakit kepala, sakit di sekitar pinggang, nyeri otot, sampai sakit di belakang mata. Dalam beberapa kasus para penderita sampai merasakan gejala cukup berat, seperti tubuh menggigil, mimisan, muntah-muntah, diare, dan gejala akut lainnya.
“Dari segi kejiwaan dan mental, beberapa dokter menemukan bahwa Flu Spanyol menyebabkan berbagai gangguan psikis, seperti cemas berlebihan, mudah lupa, afasia, sulit tidur, kegilaan, dan berbagai gangguan lainnya,” kata Ravando.
Baca juga: Kain Kafan, Peti Mati dan Flu Spanyol
Berdasarkan survei Komisi Influenza itu juga diketahui bahwa sejumlah dokter melakukan beragam cara untuk melakukan pertolongan pertama terhadap pasien Flu Spanyol, seperti menggunakan minyak kayu putih yang diuapkan. Selain itu ada juga dokter yang menggunakan campuran kina dan codeine, meski akhirnya banyak ditentang karena ada kandungan narkotika di dalamnya. Beberapa dokter juga merekomendasikan campuran salypirin, kina, dan rad:rhei.
Ketidakpastian dalam penanganan Flu Spanyol itu membuat kondisi pandemi kian memburuk. Baik dokter maupun masyarakat tidak memiliki cukup informasi tentang obat yang benar-benar ampuh menyembuhkan Flu Spanyol. Mereka hanya mengikuti isu-isu yang beredar. Para dokter juga umumnya hanya mengobati gejala yang muncul saja.
Melihat kondisi itu Pemerintah kolonial segera memerintahkan BGD melakukan penelitian laboratorium guna mendapatkan obat Flu Spanyol resmi. Pemerintah berusaha menghentikan penggunaan racikan-racikan yang belum diuji secara laboratorium agar tidak menimbulkan kesalahan medis lain. Setelah beberapa bulan pengujian, imbuh Ravando, BGD akhirnya mengeluarkan obat resmi pemerintah, dengan komposisi utamanya: champor, pulvis doveri, dan aspirin.
“Ketika racikan obat tersebut diproduksi untuk pertama kali dalam skala besar, dihasilkan 972.300 tablet yang seluruhnya dibagikan secara cuma-cuma kepada masyarakat yang membutuhkan,” kata Ravando.
Pada Mei 1919, Komisi Influenza mengeluarkan tujuh keputusan penting dalam merespons pandemi Flu Spanyol yang masih mewabah di sejumlah tempat di Hindia Belanda. Tujuh keputusan tersebut, di antaranya membentuk komite khusus yang bertugas menyiapkan makanan dan obat-obatan bagi penduduk; membuat obat influenza; melakukan penyiraman secara berkala di jalan; mengimbau penggunaan obat kumur yang terdiri dari campuran air dan garam; imbauan penggunaan masker; menugaskan dokter pemerintah di daerah; dan menyebarkan informasi tentang Flu Spanyol di berbagai daerah.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar