Planet Baru di Luar Galaksi
Sebuah kelompok astronom, yang dipimpin orang Indonesia, menemukan planet baru yang terbentuk secara tak lazim.
SEJAK pertengahan 1990-an, secara berkala para astronom menemukan planet-planet di luar tata surya, yang disebut eksoplanet. Hingga saat ini setidaknya ditemukan 500 eksoplanet yang terbentuk tak jauh dari Bima Sakti.
HIP 13044b adalah eksoplanet terbaru yang ditemukan para ilmuwan, sebuah bintang tua yang mengorbit di Bima Sakti sebagai induknya. Para astronom memperkirakan bintang itu adalah sisa dari sebuah galaksi berukuran kecil yang pernah mengorbit di sekeliling Bima Sakti. Sebelumnya, pada 2010, para astronom juga menemukan lima planet baru bersuhu amat tinggi, lebih panas dari suhu lava yang meleleh.
Sekitar enam trilyun tahun lalu, Bima Sakti bertabrakan dan kemudian menghisap sebagian galaksi tak bernama tadi dan meninggalkan jejak berupa bintang yang bergerak dengan kecepatan 965.600 km/jam.
Kelompok astronom yang menemukan planet baru itu dipimpin oleh Johny Setiawan, orang Indonesia yang saat ini bekerja sebagai astronom di Max-Planck Institute for Astronomy di Jerman. “Planet itu kemungkinan besar terbentuk jauh sebelum bintang menjadi bagian dari galaksi kita. Planet itu terus bergerak bersama-sama dengan bintang yang menjadi induknya,” ujar Johny.
“Penemuan ini merupakan bukti perdana bagi para ilmuwan bahwa formasi planet dapat terjadi di galaksi lain,” tulis Oskar von der Luhe dalam sebuah email, seorang astronom di Kiepenheuer-Institut fur Sonnen-physuk di Jerman yang tak terlibat langsung dalam penemuan itu. “Ini juga menunjukkan bahwa pembentukan planet dapat terjadi di galaksi dalam kelas yang berbeda dengan Bima Sakti. Galaksi-galaksi ini memiliki pola evolusi dan sejarah pembentukan bintang yang berbeda.”
Jurnal Science menggambarkan planet baru itu dipenuhi dengan gas dengan massa setidaknya 1,25 kali planet Jupiter, yang mengorbit di sekeliling sebuah bintang berjarak 2.000 tahun cahaya dari Bumi.
Jarak planet itu terlalu jauh untuk bisa diamati secara langsung. Namun menggunakan sebuah teleskop di European Southern Observatory di observatorium La Silla di Chili, Johny Setiawan dan timnya menyimpulkan keberadaan planet itu berdasarkan gas yang menyelubunginya dan terikat gravitasi gugusan bintang yang menjadi induknya. Keberadaan planet itu menyebabkan cahaya gugusan bintang sedikit meredup.
Tim yang sama juga mengamati gugusan bintang yang menjadi induk HIP 13044b, yang diperkirakan punya kemiripan dengan matahari sistem surya kita. Saat ini gugusan bintang itu berusia delapan trilyun tahun dan berada dalam fase “Cahaya Merah Raksasa,” fase lanjut dalam evolusi bintang.
Dalam fase ini, bintang dapat “membengkak” ratusan kali dari ukuran aslinya. Planet-planet yang berada di sekitarnya akan tertelan dan menguap.
Beberapa astronom meramalkan Bumi akan mengalami nasib serupa dalam waktu lima trilyun tahun mendatang –uniknya, HIP 13044b berhasil terhindar dari kemusnahan.
Berdasarkan teori pembentukan planet yang selama ini berkembang, para astronom mengatakan bahwa HIP 13044b seharusnya tak terbentuk sama sekali. Gugusan bintang yang menjadi induknya tak memiliki unsur metal yang memadai –artinya, planet itu memiliki sedikit sekali elemen yang lebih berat dari hidrogen dan helium.
Para astronom berpendapat bahwa bintang-bintang dan planet-planet yang menjadi induknya terbentuk dari bahan yang sama. Maka jika sebuah bintang hanya memiliki sedikit unsur metal, planet yang terbentuk dari bintang itu juga akan memiliki kondisi yang sama.
Meski planet-planet yang diselubungi gas terbentuk dari hidrogen dan helium, para astronom berpendapat bahwa planet-planet itu masih membutuhkan inti yang terbentuk dari elemen lebih berat untuk bisa menarik gas dan kemudian berkembang menjadi lebih besar.
Alan Boss, ahli teori dari Carnegie Institution for Science di Washington, D.C, mengatakan bahwa HIP 13044bb adalah sebuah “berita besar,” karena asal-muasalnya yang tak lazim.
“Objek ini… kemungkinan tak terbentuk dengan mekanisme konvensional, di mana inti terbentuk dari bebatuan dan es yang kemudian menarik gas untuk membentuk sebuah planet yang diselubungi gas,” ujar Boss.
Johny Setiawan mengamini pendapat itu: ”Temuan ini memperlihatkan kepada kita bahwa ada kemungkinan mekanisme pembentukan planet lain yang memungkinkannya terbentuk dari bintang yang miskin unsur metal. Sebuah mekanisme yang belum kita ketahui hingga kini.” [NATIONAL GEOGRAPHIC/DAILY NEWS]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar