top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Mula Cacar Menyebar

Meski tak menakutkan lagi, penyakit cacar dulu amat menakutkan. Banyak suku menganggapnya sebagai ulah makhluk halus dan mesti meninggalkan desa untuk menghindarinya.

Oleh :
10 Jul 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Sebelum penanganan cacar dilakukan secara medis modern, orang mengira penyakit ini sebagai ulah makhluk halus. Sumber: “Smallpox, Vaccination, and the Pax Neerlandica”.

DI masa kini, cacar bukanlah penyakit menakutkan. Orang bisa dengan tenang menghadapinya lantaran akses layanan kesehatan sudah terjangkau dan makin mutakhir. Paling banter, orang akan merisaukan bekas lepuhan yang berubah jadi koreng lantaran sulit hilang. Kerisauan akan penyakit ini cenderung rendah sekarang.


Hal itu berbeda jauh dari zaman dulu. Mereka amat menakutinya. Sebelum masyarakat mengetahui cacar, mereka menganggap kemunculan cacar akibat ulah makhluk halus yang datang dari laut. Penduduk Pulau Buru bahkan sampai punya kepercayaan untuk menghindari pantai dan laut. Untuk mencegah cacar masuk ke desa, mereka melakukan ritual dengan membangun rakit kecil untuk melarung penyakit ke tempat asalnya.


Di Kubu, Sumatera dan orang Dayak di Borneo percaya untuk menghindari cacar mereka dilarang pergi ke dataran rendah dan berada di sekitar orang asing. Bila harus melakukan transaksi, mereka akan melakukan barter bisu, melakukannya dari jarak jauh, dan menghindari dataran rendah. Kebiasaan itu berhasil menghindarkan orang Kubu dari epidemi cacar. Dalam seabad, tercatat hanya tiga kali Kubu terserang wabah cacar, jauh lebih sedikit dibanding daerah lain.


Di Aceh, Bali, Batak, dan Sulawesi, orang memilih meninggalkan desa selama bertahun-tahun untuk menghindari cacar. Begitu tahu ada salah seorang penduduk desa yang terkena cacar, mereka langsung cepat-cepat kabur dan mencari tempat tinggal baru. Usaha itu dilakukan karena mereka belum tahu cacar penyakit menular, melainkan kutukan roh halus.


Di Bali, Borneo, dan Sulawesi Tengah, orang-orang yang mati karena cacar dianggap sebagai kematian yang buruk. Mereka tidak akan diterima di surga atau alam kematian dan dikeluarkan dari lingkungan leluhur. Di Halmahera, pemakaman korban cacar akan dilakukan tanpa ritual, sedangkan di Batak, makamnya tidak boleh kelihatan.


Hal berbeda terjadi di Jawa. Ketika wabah cacar menyerang, orang tetap tinggal karena sudah terbiasa menghadapi penyakit menular. “Beberapa etnis yang paham bahwa cacar adalah penyakit menular tidak berusaha meninggalkan desa ketika epidemi terjadi,” tulis Peter Boomgard dalam “Smallpox, Vaccination, and the Pax Neerlandica”. Ia menduga, keputusan penduduk untuk tinggal karena mereka sudah terbiasa dengan penyakit mematikan dan pindah desa adalah hal sia-sia.


Cacar sendiri, menurut catatan paling awal, muncul pertamakali tahun 1558 di Ternate dan Ambon. Dalam periode tersebut, cacar sudah jadi penyakit endemik di beberapa wilayah Asia Tenggara. Para pelaut Portugis mencatat, cacar mewabah di Fillipina pada 1574 dan 1591. Antara 10-20 persen penduduk terbunuh oleh cacar pada abad ke-16.


Dalam “Dari Mantri Hingga Dokter Jawa” yang dimuat Jurnal Humaniora Oktober 2006, Baha’Udin menyebut cacar pertamakali masuk ke Batavia pada 1644. Tom Harrison dalam “Prehistory of Borneo” berpendapat bahwa penyakit cacar dibawa oleh pedagang Eropa ke Borneo. Namun pendapat ini dibantah Boomgard, yang mengatakan cacar sudah dikenal lama oleh penduduk Tiongkok dan India. Dua negeri ini sudah menjalin kontak dengan banyak kerajaan di Nusantara jauh sebelum bangsa Eropa datang. Sagat sulit untuk tidak membawa serta cacar (tanpa sengaja) dalam hubungan antarnegara tersebut.


Keganasan cacar tentu tak hanya menyerang pribumi. Pada 1658 di Banda, beberapa orang kulit putih terkena cacar. Namun, penderitaan mereka tak separah kaum terjajah. Orang-orang Eropa relatif lebih resisten terhadap cacar lantaran kualitas lingkungan hidup yang bersih dan makanan yang bergizi. Pun akses kesehatan bagi mereka terbuka lebar, berbanding terbalik dengan pribumi. Orang Belanda menyebut cacar sebagai cacar anak atau penyakit anak-anak (kinderziekte) lantaran kebanyakan menyerang anak di bawah 12 tahun. Ada anggapan bahwa orang Eropa lebih kebal pada cacar lantaran sudah mengenal penyakit ini lebih dulu sehingga imun tubuhnya pelan-pelan terbentuk untuk resisten pada cacar.


Petugas kesehatan di Batavia juga berpikir bahwa etnisitas berpengaruh pada daya tahan penyakit tiap orang. Budak-budak dari Bugis dan Bali punya daya tahan tubuh lebih kuat menghadapi cacar dibanding budak dari Nias. Hal ini dikarenakan jumlah penduduk dan kemungkinan terpapar cacar di tempat asal para budak. Bugis dan Bali berpenduduk padat, sementara Nias lebih jarang. “Nias terpapar cacar lebih jarang dibanding Bali dan Bugis sehingga punya daya imun lebih rendah,” tulis Boomgard.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
Mengintip Kelamin Hitler

Mengintip Kelamin Hitler

Riset DNA menyingkap bahwa Adolf Hitler punya cacat bawaan pada alat kelaminnya. Tak ayal ia acap risih punya hubungan yang intim dengan perempuan.
bottom of page