Menyingkap Misteri
Tak semua peradaban di masa lampau menjauhi dan mengucilkan penderita lepra. Manusia abad ke-20 justru memperlakukan mereka sebagai kaum yang tersisihkan.
KETIKA bertugas di Angkor, Kambodia pada 1296-1297, seorang diplomat China bernama Chou Ta-kuan mencatat interaksi unik antara masyarakat Khmer dengan penderita lepra terkait legenda Raja Lepra.
“Banyak penderita lepra di sepanjang jalan. Mereka kerap datang ke rumah penduduk untuk tidur dan makan bersama; tidak ada penolakan. Beberapa penduduk mengatakan penyakit ini disebabkan oleh iklim setempat. Konon, seorang raja pernah menderita penyakit lepra. Karenanya, penduduk tidak menganggap penyakit itu menjijikkan,” tulis Chou Ta-kuan dalam Customs of Cambodia.
Hingga kini sebuah arca dengan nama Teras Raja Lepra berdiri di pelataran candi Angkor Thom. Kondisi arca yang terselubung bercak-bercak lumut memperkuat interpretasi legenda Raja Lepra. Namun arca yang berasal sekitar abad ke-15 itu juga diyakini sebagai representasi Dewa Yama, dewa kematian dalam agama Hindu. Ilmuwan sejarah dan arkeologi Asia Tenggara, George Coedes, pada 1929 menyimpulkan bahwa tulisan Sansekerta yang terukir di arca, Dharmadipati Adhiraja, memiliki dua makna. Selain merupakan gelar bangsawan, Dharmadipati adalah sebutan umum untuk Yama.
Di belahan dunia lain, raja lepra bukan hanya sekadar legenda. Salah seorang raja yang sakit lepra adalah Raja Baldwin IV dari Yerusalem. Berbagai ulasan memperdebatkan bahwa penyakit lepra yang diderita Baldwin IV sejak kecil melemahkan kemampuannya mengatur strategi pertempuran perang salib. Dua tahun setelah dia meninggal, kerajaan Yerusalem ditaklukan oleh Sultan Saladin dalam pertempuran di Hattin pada 1187.
Penyakit lepra juga dialami oleh Sultan Saifuddin dari Tidore di masa akhir pemerintahannya. Kondisi ini tak membuat Sultan Saifuddin mundur, meski sekelompok bangsawan dengan dukungan Belanda kemudian mengangkat putranya, Kaicili Seram, sebagai penguasa Tidore. Dalam The World of Maluku, Leonard B Andaya menulis bahwa Sultan Saifuddin tetap menjalankan pemerintahan sehari-hari dengan berkomunikasi melalui dinding sebuah kamar berasap dupa hingga dia wafat pada 1687.
Asal-usul dan penyebaran bakteri Mycobacterium leprae (M. leprae) menjadi misteri. Berbagai penemuan arkeologi pada masa prasejarah di Asia dan Afrika mulai memberikan titik terang tentang penyebaran lepra. Kerangka penderita lepra prasejarah ditemukan di beberapa wilayah seperti Uzbekistan (abad ke-1 SM), Mesir dan Thailand (sekitar abad ke-2 SM), serta Nubia (abad ke-5 SM).
Pada 2008, tim antropolog Amerika dan India mengidentifikasi situs kuburan dan kerangka lepra berjenis kelamin pria yang diperkirakan berasal dari akhir 2.000 SM di Balathal, Udaipur, India. Penemuan itu merupakan bukti penyebaran lepra tertua di dunia.
“Diagnosis lepra pada kerangka terlihat dari keropos pinggiran rongga hidung serta luka di tulang pipi dan mulut. Walaupun kondisi ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, namun lepra merupakan jawaban yang paling memungkinkan,” ujar Dr Gwen Robbins dari Appalachian State University, pemimpin penelitian sekaligus penulis utama makalah “Ancient Skeletal Evidence for Leprosy in India (2000 B.C.)”, yang dimuat jurnal PLoS ONE.
Penelitian Dr Robbins menyimpulkan pengeroposan daerah sekitar hidung, rahang atas, dan rongga pipi, serta infeksi bilateral sistemik di sisi kiri dan kanan tengkorak menunjukan ciri-ciri lepra jenis lepromatus.
Penemuan situs dan kerangka di Balathal sekaligus mengungkapkan tradisi masyarakat India yang berlangsung hingga kini, yakni menguburkan orang sakit jika kondisi mereka dianggap tak layak untuk kremasi. Sesuai tradisi Vedic, kuburan orang dewasa terhitung sangat sedikit. Hanya mereka yang sakit, anak-anak, serta orang suci atau memiliki kekuatan magis yang dikuburkan.
Selain mengungkapkan tradisi masyarakat, penemuan kerangka itu juga memperkuat argumentasi bahwa teks Sansekerta Atharva Veda merupakan referensi penyakit lepra tertua. Atharva Veda, yang ditulis sebelum abad ke-1 SM, memuat himne-himne sakral kesehatan dan pengobatan. Himne nomor 23-24 merupakan mantra untuk menyembuhkan lepra dengan menggunakan sejenis tanaman “berwarna gelap, hitam, tumbuh di malam hari.” Himne nomor 23 juga mengilustrasikan pengetahuan masa itu tentang proses infeksi lepra: “…berawal dari dalam tubuh, menjalar ke tulang, menyeruak ke kulit.”
Selain itu, Atharva Veda memuat deskripsi tentang tanaman kushta, tanaman suci yang memiliki kekuatan untuk menyembuhkan berbagai penyakit, termasuk penyakit kulit akibat lepra (sesuai bahasa Sansekerta kushta yang berarti lepra).
Melalui penemuan arkeologi, teori penyebaran lepra pun berkembang, termasuk evolusi strain bakteri M.leprae. Berbagai penelitian masih terus menyelidiki apakah strain II, yang banyak terdapat di Afrika Timur, berevolusi menjadi strain I di Asia dan strain III di Eropa (dan kemudian menyebar ke Afrika Barat dan Amerika). Atau sebaliknya: strain I merupakan evolusi dari strain II.
Seandainya Chou Ta-kuan hidup pada abad ke-20, observasinya terhadap masyarakat Khmer dan lepra boleh jadi akan berbeda. Seperti negara-negara lain, penderita lepra di Kambodia di abad modern berjuang mengatasi berbagai bentuk diskriminasi. Hingga 1996, banyak penderita lepra di Kambodia mengucilkan diri ke “desa lepra” atau desa Poem Trung di provinsi Kompong Cham untuk menghindari penolakan masyarakat.
“Saya tidak ingin merusak nama baik keluarga dan memilih melarikan diri ke sini,” ujar seorang penderita lepra kepada wartawan Cambodia Daily News, 12 Maret 2009.
Selain menanggung beban moral, para penderita lepra juga mengalami diskriminasi oleh peraturan-peraturan pemerintah yang membatasi mobilitas mereka ke luar desa. Pihak-pihak yang ingin mengunjungi mereka di desa Poem Treung pun harus terlebih dahulu memperoleh izin.
Pengucilan pasien lepra di Poem Trung mulai berkurang dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak berbagai lembaga kemanusiaan menggencarkan program antidiskriminasi dan reintegrasi pasien lepra di tengah masyarakat. Termasuk dalam rangkaian program itu adalah penyebarluasan informasi medis mengenai penularan lepra –yang tak seganas atau secepat dugaan umum– serta fasilitas identifikasi dini dan pengobatan Multiple Drug Therapy (MDT) di berbagai balai kesehatan untuk proses penyembuhan pasien lepra.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar