Membangun Ulang Pengetahuan Pasca-Merdeka
Pasca-kemerdekaan, pengetahuan menjadi alat untuk membangun negeri yang baru merdeka.
Proses memerdekaakan diri tidak hanya dilakukan para pendiri negeri ini melalui perjuangan fisik. Upaya jauh lebih mendasar yang dilakukan ialah meningkatkan kualitas manusia melalui pendidikan dan membangun ilmu pengetahuan yang terbebas dari unsur penjajahan.
Usai proklamasi, upaya menyebarkan pengetahuan pun dilakukan dalam berbagai aspek, seperti pembangunan institusi pendidikan tinggi atau pengembangan riset. Ada pula upaya memelihara dan mengembangkan pengetahuan untuk tujuan yang lebih praktis. Ilmu pengetahuan tersebut amat dibutuhkan setelah kemerdekaan untuk membangun negara dan mendidik warganya.
“Dari pendekatan inilah proyek penelitian ini berjalan. Bagaimana Indonesia pasca-merdeka mencoba membangun kembali budaya pengetahuannya,“ kata Profesor Remco Raben dari Universitas Amsterdam dalam pembukaan seminar “The Construction of Indonesian Knowledge Culture since Independence” di UGM, Rabu, 5 Februari 2020.
Upaya mengorganisasi ilmu pengatahuan untuk membangun masyarakat amat kentara pada awal kemerdekaan. Contohnya, pembentukan Sekolah Tinggi Islam –institusi pendidikan tinggi Islam pertama di Indonesia; kini menjadi Universitas Islam Indonesia– di Yogyakarta pada 1946.
Baca juga:
Upaya membangun institusi pendidikan Islam itu sudah dirintis pada masa pra-kemerdekaan. Masyumi yang sudah punya gagasan untuk menyediakan pendidikan tinggi bagi negara baru ini, menyelenggarakan Sidang Umum Masyumi untuk membahas pembangunan perguruan tinggi Islam tersebut. Hasilnya, pendirian Sekolah Tinggi Islam di Jakarta pada 8 Juli 1945.
Dua hari berselang, sebagaimana dicatat Ramlah Mardjoened dalam K.H. Hasan Basri 70 Tahun, para mahasiswa STI mendirikan Persatuan Pelajar Sekolah Tinggi Islam. Namun karena pendudukan Jakarta oleh Sekutu, STI dipindahkan ke Yogyakarta pada 1946.
Sebagai presiden pertama, Sukarno juga mendorong para intelektual menciptakan pengetahuan yang dapat dipraktikkan langsung oleh rakyat bawah. Dalam pidatonya kala dinobatkan sebagai doctor honoris causa oleh UGM pada 1951, Sukarno menyebut bahwa dirinya tidak pernah puas pada ilmu pengtahuan bila tidak berguna bagi masyarakat. Pengetahuan tanpa praktik menjadi tak berarti karena kunci pengetahuan ada pada keberguanaannya bagi masyarakat.
Upaya mengkonstruksi budaya pengetahuan terus berlanjut. Dalam pidatonya di Univeristas Padjajaran, September 1957, Sukarno menekankan pentingnya membangun karakter berbangsa yang sehat. Guru besar Ilmu Kesehatan Anak UI Profesor Sudjono Pusponegoro juga menekankan pada mahasiswanya betapa penting memahami perubahan sosial ekonomi masyarakat di samping mempelajari ilmu kedokteran.
Usaha meningkatkan pengetahuan di era Sukarno cukup berhasil, khususnya dilihat dari cepatnya pertambahan jumlah mahasiswa dan besarnya keterlibatan negara dalam dunia pendidikan. Remco mencatat, ada tiga hal yang mempengaruhi berkembangnya budaya pengetahuan Indonesia pada dekade awal kemerdekaan. Pertama, keinginan untuk membangun negara; kedua, kewajiban sosial akademisi; dan ketiga, keikutsertaan masyarakat untuk membentuk pengetahuan budaya baru.
Upaya semacam itu menurutnya bisa dimasukkan dalam kerangka dekonolisasi. Tanggung jawab sosial dan nasional pada para akademisi lebih dititikberatkan untuk keuntungan masyarakat di mana perspektif macam ini amat berbeda dari praktik kolonial.
“Kemerdekaan berpengaruh pada perkembangan pengetahuan budaya Indonesia. Di samping itu, sejarah pengetahuan masih terpinggrikan dalam historiografi Indonesia. Padahal, pengetahuan menjadi dasar pembangunan agraria, pendidikan, atau industri pertambangan. Dekolonisasi bisa menjadi alat analisis yang berguna untuk melihat pilihan politik,” kata Remco.
Lebih jauh, Remco menjelaskan bahwa sejarah ilmu pengetahuan banyak didominasi oleh epistimologi Barat. Hal ini terlihat jelas pada analisis tajam dan deskripsi kaku antara asal ilmu pengetahuan Barat dan bagaimana Indonesia memaknai, menggunakan, dan memproduksi ilmu pengetahuan. Alasan inilah yang menurutnya penting untuk meneliti ilmu pengetahuan budaya di Indonesia pada dekade awal setelah kemerdekaan. Periode ini memperlihatkan bagaimana kebijakan pemerintah Indonesia menyikapi ilmu pengetahuan peninggalan kolonial.
“Ketiadaan diskusi tentang dekolonisasi di Indonesia menajdi menarik sekaligus mengejutkan,” lanjut Remco.
Baca juga:
Pembahasan tentang konstruksi budaya pengetahuan tersebut lebih lanjut dilakukan dalam seminar yang dihadiri lebih dari 20 peneliti sejarah, di antaranya Mikihiro Moriyama dari Univeristas Nanzen, Eline Kortekaas dari Universitas Amsterdam, dan Didi Kwartanada sebagai peneliti independen. Seminar itu sendiri merupakan program kerjasama antara Universitas Gadjah Mada, Amsterdam, dan Leiden yang didanai Nederlanse Organisatie voor Wetenschappelijk Onderzoek (Dewan Penelitian Belanda) sebagai bagian dari program “Decolonizing Knowledge. Postcoloniality and the Making of Modern Indonesia’s Knowledge Culture 1945-1970”.
Dengan menelusuri upaya Indonesia membentuk pengetahuan, penelusuran lebih jauh tentang produksi pengetahuan bisa dilakukan. Selain itu, penelusuran juga tidak hanya berkutat pada institusi formal, seperti pusat penelitian, universitas, dan lembaga yang memegang didominasi konsepsi ilmu pengetahuan Barat namun juga praktik pengetahuan yang berkembang dan hidup di masyarakat.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar