Kisah Badak Tak Bernama
Cerita badak terus mengusik imajinasi manusia.
BADAK jantan itu pun menjejakkan kaki di pelabuhan kota Lorient di Prancis pada 11 Juni 1770 setelah turut serta dalam pelayaran selama enam bulan dari Kolkata, India. Sebagai hadiah dari M. Chevalier, gubernur Prancis di Chandernagor, untuk Raja Louis XV, ia akan bergabung dengan koleksi binatang raja di kandang-kandang pameran (menagerie) di Istana Versailles.
Namun kedatangannya jauh dari tabuhan dan perayaan. Sebagaimana gajah dan singa yang terlebih dahulu tiba, badak jantan dan sekelompok pekerja yang mengiringinya masih harus menempuh perjalanan darat sekira tiga bulan menuju Versailles.
Setibanya di menagerie, tidak ada pesta sambutan. Juga tidak ada dokumen mengenai pemberian nama untuknya.
Inspirasi Mode
Suasana ini berbeda dari kegempitaan di Versailles dan Paris pada 1749 ketika Clara, badak muda betina dari India, datang bersama pemiliknya, Douwe Mout van der Meer.
“Seluruh Paris, yang begitu mudah mabuk oleh objek-objek kecil, kini begitu kagum dengan binatang yang disebut badak,” tulis Baron Friedrich Melchior von Grimm, kritikus dan penulis kebangsaan Jerman, kepada filsuf Prancis Denis Diderot dalam Correspondance, Litteraire, Philosophique Et Critique Par Grimm, Diderot, Raynal, Meister, etc (1878) karya Maurice Tourneaux.
A’la Rhinoceros segera menjadi inspirasi sosialita di Prancis. Gelungan rambut dan hiasan bulu bak cula badak menghiasi penampilan para bangsawan. Bahkan kuda-kuda mereka turut bersolek dengan lilitan pita berbentuk cula di surai. Tak kurang, pelukis Jean-Baptiste Oudry dan Pietro Longhi memulas kanvas mereka dengan sosok Clara.
Van der Meer telah memperhitungkan biaya serta transportasi untuk membawa Clara keliling Eropa sejak 1746. Delapan ekor kuda menghela kereta dorong (wagon), lengkap dengan penguat besi yang tersemat di semua sisi roda.
“Dengan berat sekitar empat ribu pon, Clara membutuhkan sekitar 70 pon jerami, 25 pon roti, dan 14 ember air untuk minum setiap hari,” catat Glynis Ridley, profesor bahasa Inggris di Universitas Louisville, Amerika Serikat, yang mengkhususkan diri pada studi abad ke-18, dalam Clara's Grand Tour: Travels with a Rhinoceros in Eighteenth-century Europe (2004).
Selain mengatur logistik, Van deer Meer mengelola promosi tur. Lewat poster, dia mencoba memikat mayoritas masyarakat yang religius dengan memuji Clara sebagai “bentuk kemuliaan Tuhan lewat karya cipta-Nya”.
Bagi masyarakat yang haus imajinasi tentang “kebuasan” badak, Van der Meer tak segan mengutip Naturalis Historia karya Pliny the Edger, filsuf Roma. “Badak adalah musuh besar gajah… ia akan menggesek cula di batu serta menyerang sisi bawah perut gajah untuk membunuhnya….”
Kaum bangsawan yang ingin melihat Clara dari dekat bisa membayar dengan harga khusus. Sementara masyarakat awam cukup membayar “satu gulden atau empat groschen... tergantung berapa lama waktu melihat” di Frankfurt dan Vienna, tulis Ridley.
Van deer Meer, mantan kapten Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) di India yang membeli Clara sejak balita, sempat bermaksud menjualnya pada Raja Louis XV. Penawaran ini tidak berhasil karena harga tinggi.
Lukisan badak Clara karya Jean Baptiste Oudry, tahun 1752. Foto: enfilade18thc.com.
Imajinasi Badak
Namun badak pertama yang terdokumentasi sebagai sensasi massal di abad pertengahan Eropa adalah Ganda, seekor badak jantan India di Portugis.
Ganda merupakan hadiah dari Sultan Muzafar II dari Gujarat untuk Afonso de Albuquerque, gubernur jenderal India Portugis (koloni Portugal di India), pada 1514. Albuquerque kemudian mempersembahkan Ganda sebagai hadiah bagi Raja Manuel di Lisboa, Portugal.
Terpengaruh mitos seputar badak, termasuk “teori” Pliny, Raja Manuel menghelat pertarungan antara gajah dan badak.
Dalam Animals Strike Curious Poses (2017), Elena Passarello, penulis Amerika Serikat, menuturkan bahwa “saat hari pertarungan, Ganda diselubungi kain lukisan dinding oleh Ocem, pengasuhnya yang keturunan Sumatra, di taman Istana Ribeira. Saat kain disingkap, gajah terlihat tidak terkesan dengan apa yang ada di hadapannya. Sebelum pertarungan dimulai, gajah berlari menjauh dari arena.”
Meski akhirnya batal, hiruk-pikuk pertarungan menarik perhatian banyak orang. Konon, salah satu yang hadir adalah Valentim Fernandez, penerjemah dan pengusaha percetakan kelahiran Jerman. Fernandez mengirim sketsa dan deskripsi Ganda kepada seniman Albrecht Dürer di Nuremberg, Jerman.
Lewat goretan Dürer, punggung Ganda berbalut kulit serupa tameng baja dengan tanduk kecil. Walau secara anatomi tidak akurat, karya Dürer seakan menjawab imajinasi publik tentang badak –kebuasan, kekuatan, sekaligus kepelikan sains. Menggunakan teknik cukil kayu (woodcut) yang mudah direproduksi, hasil karya Dürer memperoleh sambutan luas. Hingga awal abad ke-18, ilustrasi karya Dürer menjadi referensi utama wujud badak di Eropa.
Sayangnya Ganda, yang menjadi inspirasi Dürer, tidak pernah berkesempatan menjelajahi Eropa. Pada 1515, atas titah Raja Manuel, Ganda dikirim ke Roma sebagai hadiah bagi Paus Leo X. Ketika berlayar di perairan Italia sekitar Januari 1516, kapal yang membawanya terhempas badai. Dengan keadaan terkekang rantai di kapal, Ganda pun tenggelam bersama para awak kapal.
Ilustrasi badak Ganda karya Albrecht Dürer. Foto: amazon.com.
Fantasi Eksotisme
Jauh sebelum Clara-mania dan ilustrasi Dürer melanda, penguasa Eropa kuno telah terpikat badak. Fantasi terhadap “eksotisme” melebur dengan mitos kebuasan dan nilai kepahlawanan maskulin yang dijunjung tinggi para penguasa.
Dalam The Rhinoceros in Captivity, A List of 2439 Rhinoceros Kept from Roman Times to 1994 (1998), L.C. Rookmaker, kepala redaksi Rhino Resource Center, menyebut kehadiran badak pada acara ritual tertera di berbagai dokumen kerajaan Yunani dan Romawi. Misalnya, Athenaeus, penulis Yunani Kuno, dalam Deipnosophistae (abad 3 M) mencatat bahwa Ptolemy II Philadelphus, penguasa Yunani di Mesir Kuno, menyemarakkan prosesi memuja dewa Dionisius pada 278 SM dengan menampilkan “empat belas ekor macan gunung,… tiga ekor anak beruang, seekor jerapah, dan seekor badak Etiopia.”
Sementara pada masa Kaisar Commodus (180-192 M), sejarawan Dio Cassius menulis dalam Roman History, LXXIII bahwa kaisar kerap menyelenggarakan pertarungan binatang buas dan gladiator di Kolosseum. Dia tak hanya duduk menonton tapi juga “turut melontar panah dan tombak ke arah badak, kuda nil, jerapah….”
Pedang Revolusi
Lalu, bagaimana nasib badak jantan tak bernama di Prancis?
Ketika Rezim Teror menguasai Prancis pada 1793, bangunan milik kerajaan termasuk menagerie di Versailles menjadi sasaran. Selain melarang pertunjukan binatang, Rezim Teror mengambil-alih semua binatang buas dengan kekerasan. Badak jantan tak bernama, menurut beberapa sumber, mati di ujung pedang revolusi pada 23 September 1793.
Namun Amandine Péquignot, antropolog dari Muséum National d'Histoire Naturelle, Paris, dalam The Rhinoceros (fl 1770 -1793) of King Louis XV and Its Horn Archives (2013) menulis kemungkinan faktor lain penyebab kematian. Salah satunya infeksi jamur di kaki, sesuai catatan harian yang tersisa di menagerie. Tubuhnya tergeletak di kolam lumpur di kandang sekitar Juli atau Agustus 1793, beberapa saat sebelum Rezim Teror datang.
Seperti suasana sepi saat kali pertama ia melangkah di tanah Prancis, kematian badak jantan tak bernama ini pun berlalu datar di tengah pergolakan revolusi.
Namun cerita badak jantan tak bernama tak hilang begitu saja.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar