Kegetiran di Balik Obat Jerawat
Tretinoin menjadi bahan andalan yang diresepkan dokter untuk memerangi jerawat. Di balik penemuannya, terpendam kegetiran banyak narapidana yang jadi kelinci percobaan.
KETIKA bintik merah menghiasi wajah, beberapa orang akan langsung lari ke dokter kulit. Biasanya dokter akan meresepkan tretinoin dosis rendah dalam bentuk obat oles sebagai pengobatan jerawat. Bila pengobatan belum berhasil, dosis tretinoin ditingkatkan dalam bentuk obat minum.
Tretinoin merupakan nama umum dari Retin-A, turunan vitamin A yang bersifat asam. Asam vitamin A membantu mengelupas kulit dan meningkatkan kolagen sehingga memperbaiki kulit rusak dan mempercepat penyembuhan jerawat.
“Sejauh ini tretinoin yang paling jadi andalan. Obat oralnya buat akne (jerawat) bagus banget. Tetapi boleh diresepkan bila dosis di bawahnya tidak mempan karena efek sampingnya juga berat,” kata Sjarief Wasitaatmadja yang sudah menjadi dokter kulit sejak 1970-an.
Sjarief menyayangkan beberapa dokter langsung memberikan tretinoin oral untuk pasien. Sebab, efek tretinoin cukup berat, seperti cacat janin bila dikonsumsi perempuan hamil. Untuk mengurangi kesalahan dan risiko pengobatan jerawat, Sjarief beserta beberapa rekannya di Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Seluruh Indonesia (Perdoksi) membuat Kelompok Studi Dermatologi Kosmetik yang memberikan bimbingan pengobatan jerawat pada para dokter muda.
Penggunaan tretinoin dalam pengobatan jerawat di Indonesia dimulai ketika ilmu kosmetik medik muncul pada dekade 1970-an, tak lama setelah dokter kulit asal Amerika Albert Kligman menemukan obat jerawat berbahan tretinoin. Jerawat sebagai masalah kulit yang pasti diderita semua orang sekali seumur hidup, dulunya dianggap bukan penyakit. Jerawat ditangani dengan dipencet dan diberi sulfur.
Penemuan yang Penuh Kegetiran
Penemuan tretinoin sebagai obat jerawat bermula dari ketertarikan Kligman, profesor di Universitas Pennsylvania, Amerika untuk mempelajari zat turunan dari Vitamin A pada 1960-an. Para peneliti Eropa jauh sebelumnya memang telah melakukan riset tentang tretinoin, tapi menurut mereka zat ini terlalu keras untuk kulit. Kligman bersama rekan-rekannya menemukan dosis yang tepat dalam penggunaan tretinoin sehingga aman digunakan sebagai obat pada 1967. Penemuan ini dilisensikan untuk perusahaan farmasi Johnson & Johnson yang memasarkan Retin-A pada 1971.
Tapi penelitian Kligman menyimpan kegetiran. Sejak 1951-1974 penelitian medis di Amerika Serikat menggunakan narapidana sebagai kelinci percobaan. Para napi di penjara Holmesburg, Pennsylvania, dibayar untuk menguji beberapa kandungan zat dari yang paling remeh seperti bahan pembuat deodoran dan sampo sampai bahan radioaktif, halusinogenik, dan beracun. Para tahanan bahkan harus siap bersinggungan dengan patogen penyebab infeksi kulit, herpes, dan jamur.
Allen M. Hornblum dalam artikelnya “A Conspiracy of Silence” yang dimuat dalam Journal of Clinical Research Best Practice April 2006, menyebut lebih dari 30 perusahaan farmasi dan beberapa lembaga pemerintah ada di balik praktik kejam ini.
"Uang adalah alasan utama para narapidana mau berpartisipasi dalam program itu. Mereka membutuhkan uang untuk keluarga mereka dan kebutuhan hidup,” kata Gerd Plewig ketika diwawancara Hornblum tahun 1996.
Plewig adalah murid Kligman dari tahun 1967 hingga 1970. Dia salah satu dokter kulit yang ikut dalam riset medis di Penjara Holmesburg. Plewig kemudian menjadi ketua Departemen Dermatologi di Universitas Munich, Jerman, sebuah posisi penting di kalangan dokter kulit Eropa.
Menurut Plewig, Holmesburg adalah tempat kelahiran tretinoin sebagai obat jerawat. Ketika masih menjadi murid Kligman, dia mengkhususkan diri pada perawatan jerawat. Riset utama Plewig adalah retinoid (tretinoin) untuk terapi obat.
“Prapengujian untuk keamanan dan toleransi dosis retinoid dilakukan di penjara. Uji klinis pertama di laboratorium baru dilakukan setelahnya,” kata Plewig. Untuk membayar penemuan bahan obat jerawat paling andalan ini para napi yang menjadi sukarelawan harus rela mengalami pengelupasan kulit hebat, bahkan luka.
Studi medis yang melibatkan napi kemudian berakhir pada dekade 1970-an. Pemicunya bukan eksperimen retinoid, melainkan dioxin, zat beracun yang digunakan militer Amerika selama Perang Vietnam.
Kligman, pemimpin riset di Holmesburg, selain melakukan riset tentang penyembuhan jerawat juga bereksperimen dengan dioxin. Kligman memaparkan zat dioxin dosis tinggi pada sekira tujuh puluh napi Holmesburg. Riset ini dibiayai Dow Chemical, yang membayar Kligman 10 ribu dollar Amerika pada 1965-1966.
Pada 1980-an, seperti ditulis Keramet Reitert dalam artikelnya “Experimentation on Prisoners: Persistent Dilemmas in Rights and Regulations”, dimuat di jurnal hukum universitas California, dua tahanan menuntut Dow Chemical. Mereka mengaku masih mengalami bekas luka, lecet, kista, dan ruam sampai 15 tahun pasca-percobaan.
"Kligman samasekali tidak peduli tentang para tahanan di Holmesburg dan masalah etika eksperimennya pada mereka,” kata Bernard Ackerman, ahli fisika yang tak sepakat dengan studi medis Kligman di penjara.
Tingginya protes dan laporan dampak buruk dalam ujicoba medis membuat pemerintah menutup Penjara Holmesburg pada 1975. Tiga tahun setelahnya, keluar peraturan federal yang melarang ujicoba studi medis berisiko tinggi pada manusia, termasuk napi.
Sementara Kligman dan Johnson & Johnson mendapat untung besar dari penemuan retinoid dan mendunianya penemuan mereka, para napi menanggung luka. Ada kegetiran yang harus ditanggung untuk sebuah resep mujarab menghaluskan kulit.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar