Gelombang Kelumpuhan
Sebuah penyakit yang melumpuhkan dan membawa kematian mengguncang Asia. Serangkaian penelitian berupaya mengungkapnya.
1877 adalah tahun yang kelam bagi Kaisar Meiji. Penyakit misterius kakke mulai merenggut orang-orang di sekitarnya. Kido Takoyashi, penasehat politik senior pemerintahan Meiji, meninggal dengan dugaan komplikasi penyakit termasuk kakke. Putri Chikako (Kazunomiya), adik tiri sang ayah atau Kaisar Komei, meninggal selang tiga minggu setelah didiagnosis kakke. Kaisar Meiji juga tak luput dari serangan kakke, yang dia alami kali pertama di Kyoto.
Kakke telah merambah Jepang sejak masa pemerintahan Tokugawa (Edo) awal abad ke-17. Dokter Tachibana Nan-kei pada 1874 menggambarkan kakke sebagai penyakit yang menimbulkan pembengkakan di kaki dan kelumpuhan pada anggota tubuh tangan dan kaki. Dia juga mencatat peningkatan detak jantung secara drastis pada penderita sebelum berakhir dengan kematian.
Ketika pejabat Iwakura Tomomi menawarkan Sang Kaisar untuk membangun tempat peristirahatan di sebuah lokasi yang sejuk dan tinggi untuk memulihkan diri, Kaisar Meiji menolak. Selain mengetahui kakke juga diderita sebagian prajurit yang bertugas di daerah pegunungan, dia menginginkan jawaban yang lebih pasti tentang penyakit ini.
“Memang, pergantian udara adalah obat yang baik. Namun saya bukan satu-satunya penderita kakke. Penyakit ini telah menjangkiti semua orang dan tak mungkin kita meminta seluruh populasi berpindah tempat. Demi kebaikan rakyat, saya ingin mempertimbangkan beberapa hal untuk mencegah penyakit ini,” jawab Kaisar Meiji kepada Tomomi, seperti dikutip dari arsip kekaisaran oleh Donald Keene dalam Emperor of Japan: Meiji and His World, 1852-1912.
Baca juga: Sejarah Beri-Beri: Nutrisi yang Hilang
Pada Juli 1878, Kekaisaran Meiji mendanai pendirian rumah sakit khusus kakke. Sejalan dengan kebijakan Restorasi Meiji yang beradaptasi dengan modernisasi, rumah sakit kakke dikelola bersama oleh kanpo (pakar pengobatan tradisional Jepang, yang juga menerapkan pengobatan China) dan dokter Eropa. Walau berbeda pendekatan, kedua kelompok medis ini sedikit banyak menyepakati bahwa kakke bersifat menular dan disebabkan oleh bakteri dari lingkungan yang buruk: tanah, air, atau sanitasi.
Beberapa tahun kemudian, pemahaman akan penularan kakke mendapat sanggahan. Hal ini seiring dengan pengamatan dan laporan Kanehiro Takaki, seorang dokter yang bertugas di Angkatan Laut Jepang selama 1878-1882. Dia menyimpulkan kekurangan protein sebagai faktor penyebab kakke dan menyerang sepertiga anggota angkatan laut. Sebagai rekomendasi, Takaki menyarankan agar beras diganti dengan barley (sejenis gandum berserat). Mengikuti sarannya, pemerintah Jepang pun memperbesar dana untuk tambahan daging, susu, roti, dan sayuran dalam menu makanan angkatan laut.
Di belahan tenggara Asia, sekitar 1629, seorang ahli botani dan medis Belanda bernama Jacob de Bont (atau Jacobus Bontius dalam bahasa Latin) mendokumentasikan pengobatan tradisional dan penyakit-penyakit kronis yang melanda Hindia Belanda, termasuk beri-beri. Nama beri-beri, menurut Bontius, diambil dari bahasa setempat untuk domba/biri-biri; langkahnya yang tertatih-tatih dianggap mirip dengan kesulitan penderita beri-beri berjalan.
Bontius meninggal dunia di Jawa sekitar 1641. Dalam dokumentasinya yang terbit pada 1769, An account of the diseases, natural history and medicines of the East Indies, dia mendeskripsikan gejala beri-beri berupa, “kondisi kelelahan di sekujur tubuh, kehilangan sensasi pada kaki dan tangan… pengucapan kata-kata menjadi terganggu… semua kegiatan berat dapat menimbulkan bahaya kematian… Penyakit ini terjadi pada musim hujan.”
Baca juga: Seabad Flu Spanyol
Seperti kakke di Jepang, beri-beri di Hindia Belanda juga menyerang rombongan militer, terutama orang-orang Jawa yang bekerja pada angkatan laut Belanda dalam pelayaran menuju Aceh pada 1873. Dokter militer Belanda yang turut dalam rombongan, Van Leent, memperhatikan bahwa serangan beri-beri jarang terjadi pada awak kapal Belanda. Dia juga mengamati bahwa kondisi orang-orang Jawa cenderung membaik setelah kapal berlabuh di Palembang.
Kenneth J. Carpenter dalam Beriberi, White Rice and Vitamin B: A Disease, A Cause and A Cure, menulis bahwa Van Leent menyimpulkan perbaikan kondisi orang Jawa adalah karena mereka memperoleh bahan makanan lokal seperti telur, santan, dan lainnya di Palembang. Bahan makanan ini sukar mereka dapatkan selama bertugas di Aceh. Serupa dengan kesimpulan Takaki di Jepang, Van Leent kemudian berargumentasi bahwa kekurangan protein dan lemak menimbulkan beri-beri. Dia menganjurkan agar menu awak lokal dibuat seperti menu awak Belanda agar kasus beri-beri menurun.
Perubahan komposisi makanan ternyata bukan satu-satunya jawaban. Beri-beri kembali melanda anggota angkatan laut Belanda di Aceh pada 1886. Kali ini, pemerintah Belanda mengirim profesor patologi Cornelis Pekelhering dan asistennya, dokter C. Winkler, untuk menyelidiki penyebaran beri-beri di Batavia dan Aceh.
Ketika Pekelhering menemui koleganya di Berlin, Jerman dalam perjalanan menuju Hindia Belanda, dia berkenalan dengan ilmuwan Belanda Christiaan Eijkman, yang sedang cuti akibat sakit malaria setelah bertugas sebagai dokter tentara di Hindia Belanda. Perkenalan ini membawa kesan yang mendalam untuk Pekelhering, yang kemudian mengajak Eijkman bergabung dalam penelitian beri-beri di Hindia Belanda setelah dia pulih.
Baca juga: Penyakit yang Ditakuti pada Zaman Majapahit
Penelitian Pekelhering dan Winkler di Hindia Belanda berjalan sepanjang November 1886 hingga Agustus 1887. Selain berusaha menemukan infeksi bakteri penyebab beri-beri, penelitian mereka juga mendokumentasikan gejala klinis dua tipe beri-beri pada penderitanya: beri-beri “kering” –menyerang sistem saraf– dan beri-beri “basah” –yang diikuti dengan kerusakan fungsi jantung.
Winkler juga menetapkan bahwa beri-beri adalah sebuah bentuk polyneuritis –proses kelumpuhan akut saraf motorik, dari kaki dan menyebar ke otot lainnya. Kesimpulan Winkler sejalan dengan beberapa penelitian klinis serupa di Jepang pada masa itu.
Beri-beri juga menyebar di sejumlah wilayah lainnya di Asia seperti Singapura, Sri Lanka, Filipina dan Malaysia. Kategori beri-beri lainnya yang terjadi di wilaya Asia, yaitu beri-beri bayi, dideskripsikan oleh Hirota Zent di Jepang pada 1888. Zent menyimpulkan bahwa beri-beri bayi terjadi lewat air susu ibu mereka yang menderita beri-beri. Dalam hitungan hari atau minggu, kondisi bayi yang semula sehat merosot drastis akibat gangguan pernafasan dan pembengkakan ginjal serta berakibat kematian. Di Filipina pada 1928, sebuah laporan komisi kesehatan setempat mendata 16.500 bayi meninggal dunia akibat beri-beri atau hampir 30 persen dari jumlah total kematian bayi tahun itu.
Dunia penelitian masih akan melewati berbagai ujicoba sebelum tiba pada kesimpulan bahwa kekurangan thiamine (vitamin B1), termasuk pada ibu-ibu menyusui, adalah faktor penyebab beri-beri. Adalah Christiaan Eijkman yang meneruskan penelitian beri-beri di Hindia Belanda sejak 1888 melalui eksperimen beras kasar (tidak digiling) dan beras putih halus sebagai pangan untuk ayam-ayam ujicoba. Penelitiannya kelak menjadi titik terang untuk berbagai penelitian berikutnya untuk menyimpulkan pencegahan dan pengobatan beri-beri.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar