Dari Kina Ke Artemisia
Berabad lamanya kina jadi penghalau malaria. Kini, setelah plasmodium kebal, muncullah Artemisia.
BARU-BARU ini, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merilis hasil penelitian unggulannya mengenai kandungan Artemisia annua, tumbuhan yang dapat menggantikan kina sebagai obat malaria.
Menurut peneliti LIPI, Wiguna Rahman, kadar artemisinin, zat yang terdapat dalam tanaman Artemisia, terbukti lebih mujarab mengobati malaria ketimbang zat yang dihasilkan kina. Karenanya, Artemisia sanggup menggantikan kina. “Apalagi menurut WHO (World Health Organization), banyak temuan plasmodium (parasit penyebab malaria) mulai resisten terhadap kina,” ujar Wiguna.
Baca juga:
Mengobati Penyakit pada Zaman Kuno
Pengobatan Nusantara
Hari Kesehatan Nasional dan Pemberantasan Malaria
Dari Malaria Hingga Corona
Wabah malaria telah menyebabkan kina dibudidayakan dan diproduksi secara besar-besaran untuk obat. Di Hindia Belanda, terutama Batavia, nyamuk malaria menjadi musuh yang ditakuti. Setidaknya selama 53 tahun, antara 1714-1767, sebanyak 72.816 penduduk Eropa di Batavia meninggal karena penyakit malaria. Tak heran Batavia sempat berjuluk Het graf van het Oosten atau kuburannya negeri timur. Bertahun-tahun setelahnya malaria masih sulit ditanggulangi.
Pada pertengahan 1800-an, Menteri Jajahan Seberang Lautan Belanda Ch F. Pahud memulai proyek besar menanggulangi malaria. Dia mengutus Karl Haskarl, ilmuwan berkebangsaan Jerman, untuk membudidayakan kina yang dia selundupkan dari Peru. Kala itu, Peru dan negara-negara Amerika Selatan adalah penghasil kina terbesar. Mereka memonopoli dan melarang ekspor kina ke luar negeri.
Tugas Karl Haskarl berhenti ketika dia harus kembali ke Eropa. Penggantinya, Franz Wilhelm Junghuhn, naturalis terkemuka berkebangsaan Jerman, melakukan pembudidayaan kina di Jawa pada 1857. Dia memindahkan lokasi budidaya tanaman kina dari Cibodas yang dinilai kurang tepat ke lereng Gunung Malabar, Pangalengan. Mulai saat itulah budidaya kina mengalami kejayaan.
Pengolahan kina sangat menguntungkan pemerintah. Untuk mengolah kulit batang kina menjadi serbuk, pemerintah Hindia Belanda mendirikan pabrik kina di Bandung pada 1896, Bandoengsche Kinine Fabriek NV –kini jadi pabrik PT. Kimia Farma.
Perkebunan kina di Hindia Belanda bisa menghasilkan rata-rata 11.000 ton kulit kering per tahun atau setara dengan 33.000 ton kulit basah per tahun. Dari jumlah tersebut, 4.000 ton diolah di Bandung dan sisanya diekspor dalam bentuk kulit kina. Jumlah tersebut membuat Hindia Belanda memasok 90% pasar kina dunia. Bahkan setelah era kemerdekaan pamor penghasil kina terbesar masih dipegang Indonesia.
Baca juga: Misi Kina Indonesia
Namun, setiap makhluk hidup memiliki ambang batas resistensi terhadap racun, termasuk plasmodium. Kini, makhluk renik yang berinang di dalam tubuh nyamuk dan darah manusia itu mulai kebal terhadap kina. Maka, Artemisia bisa menggantikan kina.
Sebenarnya penggunaan zat Artemisia sebagai obat bukanlah hal yang baru. Di Tiongkok, Qinghaosu –nama setempat untuk Artemisia– telah digunakan untuk melawan sejumlah keluhan penyakit sejak era dinasti Han pada abad kedua sebelum masehi. Sebuah penelitian yang dimulai pada 1960 di China mendapatkan artemisinin sebagai obat yang mampu mempunyai reaksi tercepat dibanding obat lain sepanjang sejarah dalam membersihkan parasit malaria dari dalam tubuh pasien. Namun sepanjang penggunaannya untuk obat malaria di dunia, dibandingkan kina, Artemisia memang kalah populer.
Daun Artemisia dipercaya mengandung artemisinin yang paling banyak. Upaya yang terus dilakukan oleh para ahli adalah meningkatkan kadar artemisinin yang diekstraksi tersebut. Makin tinggi kadarnya, makin sangkil menghalau malaria.
“Tapi sementara pengobatan mesti dikombinasikan antara kina dengan Artemisia. Khawatir kalau Artemisia saja, plasmodium juga bisa lekas resisten,” kata Wiguna.
Data WHO menyebutkan tahun 2010 terdapat 544.470 kasus malaria di Indonesia, di mana tahun 2009 terdapat 1.100.000 kasus klinis dan tahun 2010 meningkat lagi menjadi 1.800.000 kasus dan telah mendapat pengobatan. Jumlah tersebut masih tergolong tinggi. Karenanya, menurut para peneliti LIPI, budidaya Artemisia masih potensial untuk terus dikembangkan. Kini, budidaya tanaman ini tidak hanya di Kebun Raya Cibodas, namun mulai ditanam pula di daerah Tawang Mangu, Jawa Tengah. Artemisia banyak dibudidayakan di China, Vietnam, dan India. Indonesia menyusulnya, mengikuti jejak budidaya kina yang melegenda.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar