Black Hole Terlalu Aneh untuk Dipercaya
Black Hole atau Lubang Hitam merupakan konsep ekstrem. Bahkan Einstein meragukannya
Berkat Katie Bouman, astronom sekaligus ilmuwan komputer, gambar lubang hitam (black hole) bisa ditangkap untuk pertama kali oleh Teleskop Event Horizon. Gambar ini tak hanya mengonfirmasi teori Albert Einstein, tapi juga memberikan bukti tak terbantahkan kalau monster gravitasi itu ada.
Menurut laman resmi NASA, lubang hitam bukanlah lubang sama sekali. Lubang hitam adalah wilayah di ruang angkasa di mana gaya tarikan gravitasi begitu kuat. Bahkan cahaya pun tak bisa lepas dari jeratannya. Jika bintang yang terang bersinar tepat di sebelah lubang hitam, lubang hitam itu akan menelan cahaya bintang selamanya.
“Apa pun yang terlalu dekat dengan lubang hitam akan tertelan,” tulis laman itu.
Gravitasi yang kuat terjadi karena materi telah ditekan ke dalam ruang kecil. Kompresi ini dapat terjadi pada akhir kehidupan sebuah bintang. Beberapa lubang hitam adalah hasil dari bintang yang sekarat.
Karena tak ada cahaya yang bisa lolos, lubang hitam tidak terlihat. Namun, teleskop ruang angkasa dengan instrumen khusus dapat membantu menemukan lubang hitam. Mereka dapat mengamati perilaku material dan bintang yang sangat dekat dengan lubang hitam.
Jauh sebelum gambar yang baru-baru ini dirilis NASA, fisikawan termasyur asal Jerman, Albert Einstein (1879-1955) lewat teori relativitasnya membuka jalan bagi penemuan konsep lubang hitam. Namun, konsep di balik itu sempat dinilai begitu aneh. Karenanya, bahkan ilmuwan yang visioner pun tak yakin akan keberadaan lubang hitam.
Baca juga: Katie dan Margaret yang Berjasa dalam Riset Antariksa
Mengenai idenya itu, Einstein pun punya kekhawatiran yang besar karena konsep yang menjelaskan soal lubang hitam begitu radikal pada masanya.
“Dia menyimpulkan dalam sebuah makalah 1939 di Annals of Mathematics bahwa idenya ‘tidak meyakinkan’ dan fenomena itu tidak ada di dunia nyata,” catat Ian O’Neill, ahli astrofisika dan sains dalam laman History.
Teori Ruang-Waktu
Menurut Ian O’Neill, lebih dari seabad yang lalu Einstein mengejutkan dunia dengan menjelaskan alam semesta lewat teorinya soal relativitas umum. Teori ini tidak hanya menggambarkan hubungan antara ruang, waktu, gravitasi, dan materi. Namun juga membuka pintu bagi kemungkinan teoretis akan fenomena yang sangat membingungkan yang kemudian disebut lubang hitam.
Dilansir dari Space, teori relativitas umum menyebutkan, gravitasi muncul sebagai konsekuensi adanya pembengkokan waktu dan ruang. Objek yang sangat besar menciptakan lengkungan dalam ruang kosmik (event horizon), yang membuat objek lain tertarik ke dalamnya ketika ia melewati lengkungan itu.
Teori ini juga membuat prediksi yang spesifik tentang cara kerja bagaimana objek tertarik ke dalam lengkungan itu. Misalnya, teori itu menyatakan kalau lubang hitam ada. Itu bahwa si monster gravitasi punya ruang di mana tak ada satupun objek bisa melepaskan diri dari daya tariknya, bahkan cahaya.
Mengutip fisikawan Amerika, John A. Wheeler, O’Neill menjelaskan, teori relativitas umum mengatur sifat ruang-waktu. Terutama bagaimana ia bereaksi di hadapan materi.
“Materi memberi tahu ruang-waktu bagaimana cara melengkung, dan ruang-waktu memberitahu materi bagaimana bergerak,” ujarnya.
Baca juga: Einstein: Genius Pengubah Dunia
Ruang dan waktu tak punya arti lagi menurut relativitas Einstein ketika gaya gravitasi menjadi tak terhingga pada pusat singularitas. Singularitas adalah kumpulan materi dalam seluruh jagat-raya, dengan kerapatan, temperatur, dan tekanan yang tak terhingga. Fenomena Big Bang (Ledakan Dahsyat) juga diawali dari suatu singularitas semacam ini.
Sementara jika gravitasi tak terhingga, sebagaimana yang terjadi pada singularitas, maka ruang-waktu akan terbengkokkan ke pusat singularitas dengan kepadatan yang tak terhingga. Inilah yang terjadi dalam fenomena singularitas pada sebuah lubang hitam.
Fisikawan teoretis Jerman Karl Schwarzschild menemukan bahwa hipotesis soal singularitas akan benar-benar menembus ruang-waktu. Dia menyadari, singularitas dalam astrofisika akan membelokkan ruang-waktu sedemikian parahnya sehingga bahkan cahaya tidak akan cukup cepat untuk keluar dari lubang ruang-waktu yang akan diciptakan singularitas.
Kendati dalam matematika, singularitas adalah solusi numerik yang menarik. Namun, singularitas dalam astrofisika, pada waktu itu begitu dihindari, karena tidak ada mekanisme yang diketahui yang dapat menghasilkannya. Namun, Schwarzschild bertahan dengan pemikirannya itu hingga kematiannya pada 1916.
“Meskipun ini adalah konsep yang menarik, tidak ada mekanisme yang diketahui yang dapat menciptakan singularitas di alam, sehingga gagasan itu sebagian besar diabaikan,” catat O’Neill.
Konsep Lubang Hitam Lahir
Kamudian pada 1935, astrofisikawan India, Subrahmanyan Chandrasekhar menyadari, jika sebuah bintang masif kehabisan bahan bakar, tekanan gravitasi dari massa itu akan terkonsentrasi pada suatu titik. Ini menyebabkan ruang-waktu runtuh dengan sendirinya.
“Chandrasekhar telah menjembatani kesenjangan antara keingintahuan matematis dan kemungkinan ilmiah. Ia menempatkan teorinya di balik pembentukan singularitas dengan konsekuensi yang ekstrem bagi susunan ruang-waktu,” kata O’Neill.
Bahkan dengan kontribusi Chandrasekhar itu terhadap pemahaman modern tentang sifat black hole, singularitas astrofisika tetaplah dianggap sangat ganjil. Dan ini tetap seperti itu sampai 1960-an ketika fisikawan teori Inggris dan Amerika Stephen Hawking dan Roger Penrose membuktikan kalau itu hal yang wajar terjadi.
Berdasarkan pendapat keduanya, singularitas adalah bagian dari ekosistem kosmik. Fenomena ini merupakan bagian dari evolusi alami bintang-bintang masif setelah mereka kehabisan bahan bakar dan mati.
Baru pada 1967, 12 tahun setelah kematian Einstein pada 1955, singularitas astrofisika ini dikenal sebagai “lubang hitam”. Ini adalah sebuah istilah yang diciptakan oleh fisikawan Amerika John A. Wheeler selama konferensi di New York, untuk menggambarkan nasib suram sebuah bintang masif setelah kehabisan bahan bakar dan runtuh dengan sendirinya.
“Lubang hitam mengajarkan kita bahwa ruang dapat diremas-remas seperti selembar kertas menjadi titik yang sangat kecil, bahwa waktu dapat dipadamkan seperti nyala api yang dipadamkan, dan bahwa hukum fisika yang kita anggap sebagai suci, kekal, ternyata tidak,” tulis Wheeler dalam otobiografinya pada 1999, dikutip O’Neill.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar