Bilangan Nol, Apple, Kari Ayam dan Soal Keyakinan Asli
Zaman sekarang, pengetahuan dan gagasan merupakan sesuatu yang dapat dimiliki secara pribadi atau oleh sebuah lembaga dan siapa yang berhak menggunakan dapat ditetapkan sekaligus dibatasi. Seperti Hak Paten merupakan perangkat masyarakat modern guna mengatur penggunaan gagasan tertentu dan pembagian keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan gagasan tersebut. Akibatnya, masyarakat modern sangat memuliakan pencipta gagasan.
Pertanyaan semacam: “Siapa pencipta aslinya?” amat penting bagi kehidupan zaman sekarang. Namun, seribu lima ratus tahun lampau serta sebelumnya pertanyaan macam itu bisa jadi tak relevan atau bahkan asing. Memelajari serta menafsirkan gagasan asing bahkan dari daerah lain kemudian memajukannya lebih relevan bagi nenek moyang manusia Nusantara (dan Eropa), ketimbang memasalahkan siapa penggagas aslinya. Di zaman itu pengetahuan merupakan barang milik publik.
Pada pertengahan abad ke-5, bilangan nol untuk membantu penulisan bilangan dengan nilai tempat seperti yang sekarang biasa digunakan dirancang di India. Gagasan bilangan nol ini menyebar ke Kamboja di sekitar abad ke-7. Kemudian, di abad ke-8 gagasan ini menyebar lebih jauh lagi, ke Tiongkok dan negeri-negeri Arab di Timur Tengah. Di daerah terakhir ini, gagasan bilangan nol dan nilai tempat dimanfaatkan luas oleh para pedagang.
Dapat dibayangkan betapa rumitnya para pedagang mencatat serta menghitung saat bertransaksi sebelum ada bilangan nol. Luar biasa rumit tentunya berdagang dengan penyajian bilangan Romawi. Apalagi jika penulisan bilangan menggunakan sistem tally, yang hari ini jamak dilakukan untuk mencatat hasil pemilihan suara, yakni menuliskan garis-garis tegak dan setiap sampai pembilangan kelipatan lima dicoret dengan garis diagonal empat garis vertikal sebelumnya. Jangankan menghitung perkalian, menjumlahkan dua bilangan besar dalam sistem bilangan Romawi tentu tak sesederhana seperti yang dilakukan anak kelas 1 SD hari ini.
Keberhasilan penggunaan sistem nilai tempat dan pemanfaatan bilangan nol kemudian diketahui dan dipelajari oleh Leonardo dari Pisa atau yang lebih dikenal sebagai Fibonacci. Walau Leonardo dilahirkan di kota Pisa Italia sekitar 1175 M, dia besar dan dididik di Afrika Utara. Leonardo melakukan banyak perjalanan ke rangkaian pantai Mediterania dan berhubungan dengan para pedagang Arab. Melalui pertemuan ini, Leonardo mempelajari cara berhitung para pedagang Arab yang memanfaatkan bilangan nol dan sistem nilai tempat tersebut.
Gagasan yang baru dikenalnya itu kemudian ditulisnya dalam buku terkenalnya Liber Abaci, yang dipublikasikan pada 1202. Perlu digarisbawahi dan direnungkan, ini artinya Eropa baru sekitar 800 tahun lalu mengenal bilangan nol serta cara berhitung yang seperti dilakukan anak-anak SD hari ini. Tentu layak direnungkan pula, gagasan berhitung canggih 8 abad lalu menjadi keterampilan sepele bagi anak SD hari ini.
Dapat dibayangkan, sampai 1202, orang di Eropa saat menjumlahkan 1999 dan 648, akan disajikan dalam penjumlahan angka MCMXCIX dan DCXLVIII. Apalagi melakukan perkalian 2012 dengan 44, yakni MMXVI XLIV. Sesulit itu kira-kira perhitungan di Eropa saat sebelum Fibonacci mengenalkan cara berhitung dari Mediterania.
Beliau memperkirakan dan yakin bahwa gagasan bilangan nol serta cara berhitung dari pantai Mediterania dan jamak digunakan para pedagang Arab ini berguna serta merupakan pengetahuan yang dibutuhkan masyarakat Eropa. Leonardo menafsirkan gagasan asing ini dan kemudian mengemasnya dengan lebih terstruktur untuk dikenalkan ke budaya Eropa.
Keadaan ini menunjukkan bahwa saat itu, pengetahuan mengalir bebas dari satu daerah di bumi ke daerah lain, dari satu budaya ke budaya lain. Dan tentunya juga, ini menandakan bahwa saat itu pengetahuan bebas dimiliki siapa saja. Pengetahuan serta kebenarannya tak dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok masyarakat semata.
Saat bertemu dengan gagasan baru dari masyarakat serta budaya berbeda ini, Leonardo berpikiran terbuka untuk memahaminya serta menafsirkan gagasan ini. Kemudian, beliau mengemas gagasan ini dan memasarkannya ke masyarakat Eropa. Leonardo bukan pencipta gagasan bilangan nol, tetapi dia telah menjadi penafsir hebat sekaligus salesman atau wiraniaga gagasan. Tanpa upaya dan karya penafsirannya, perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa kemungkinan akan terlambat beberapa puluh tahun atau lebih.
[pages]
Di akhir abad ke-20 sampai awal abal ke-21, planet Bumi beruntung kembali karena disinggahi oleh seorang penafsir dari peradaban digital, yakni Steve Jobs. Seperti Leonardo yang jeli mengenali dan memasarkan gagasan bilangan nol ke Eropa, Steve juga jeli mengenali gagasan mouse atau tetikus yang diciptakan oleh Xerox. Setelah melihat demo gagasan ini, Steve percaya ini inovasi penting dan akan meluas jika dipasarkan. Namun, tidak seperti aslinya di Xerox yang dilengkapi 3 tombol dan biaya produksinya mahal, Steve memerintahkan untuk membuat tetikus dengan satu tombol dan seperduapuluh harga yang di Xerox.
Artinya, Steve Jobs tidak menyalin gagasan asing semata, tetapi menafsirkan, kemudian memperbaiki, merumuskan ulang, dan memadukannya dengan filosofi “kesederhanaan” ciri unik desain Apple. Gagasan tetikus yang dikembangkan Apple ini mewabah luas dan menjadi lebih bersahabat dengan pengguna dan digunakan sampai hari ini. Ini tentunya diterapkan bukan saja pada kasus tetitkus ini saja, tetapi pada jajaran produk lainnya.
Sementara itu, di Asia Tenggara sekitar seribu tahun sebelum Leonardo mengenalkan bilangan nol ke masyarakat Eropa atau malah sebelumnya, para penafsir juga aktif berperan mengembangkan dan memproduksi pengetahuan sekaligus menyebarkannya di Asia Tenggara. Para penafsir nirnama ini melakukan hal yang serupa dengan yang dilakukan Leonardo dan Steve.
Dari sungai Mekong di Utara sampai kali Brantas di Selatan, jejak peradaban India tertorehkan dengan jelas di Asia Tenggara sampai hari ini. Dari arsitektur, tarian, boga, pakaian, bahasa, sampai keyakinan merupakan hasil olah-tafsiran dan sumbangsih gagasan melalui Sub-benua India. Namun, jejak peradaban seperti itu justru tak ada di India. Gagasan yang sampai di Asia Tenggara diperhalus, diperbaiki, dan ditingkatkan pesannya.
Epik dan tarian Ramayana setelah sampai Pulau Jawa dan Pulau Bali menjadi tarian yang baru dengan pesan lebih kuat. Boga di Thailand, Malaysia, Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, sampai Sumatra Selatan walau dipengaruhi boga India, tetapi mewujud menjadi sesuatu yang baru. Sama seperti Steve Jobs yang menafsirkan ulang tetikus yang dilihatnya di Xerox dan kemudian mengemas ulang secara lebih bermakna dan memadukan dengan filosofi kelokalan budayanya, demikian pula seni perbatikan di Indonesia yang hari ini menjadi paling maju di dunia.
Yang perlu dicatat pula, hampir semua keyakinan utama di Indonesia masuk melalui sub-benua India. Hindu misalnya setelah sampai di Jawa apalagi Bali ditafsirkan ulang serta dipadukan dengan karakteristik geografis serta budaya lokal menjadi keyakinan yang berbeda dari aslinya. Hindu Bali hari ini berbeda dengan satu dari 63 sekte apapun di Hindu India. Hindu Bali melebur menyatu dengan alam Bali serta budayanya sampai mustahil lagi dipisahkan. Ritual upacara Hindu di Bali menjadi tak terpisahkan dari ke-Bali-annya. Ini keberhasilan para penafsir.
Demikian pula Islam yang salah satu gelombang pertama masuk ke Nusantara melalui Gujarat, India. Setelah sampai di Nusantara, keyakinan ini ditafsirkan ulang dan menyatu dengan budaya serta filosofi lokal. Ini mungkin asal muasal dan yang hendak ditawarkan ke dunia tentang bagaimana masyarakat Asia Tenggara, dan Indonesia khususnya, dalam beragama. Bukan menelan gagasan asli langsung, tetapi seperti Leonardo dan Steve, gagasan digabungkan dengan gagasan lain.
Penafsir seperti Leonardo, Steve, atau nenek moyang masyarakat kita mungkin hari ini dianggap sekunder dibanding pencipta, namun tanpa para penafsir ini, gagasan asli belum tentu dapat tersebar dan diterima masyarakat luas. Gulai Ayam di Tanah Minang tentu berbeda dengan Kari Ayam di India, namun tak perlu dan jangan ada yang mau mengaslikan Gulai Ayam. Demikian pula gagasan yang sudah ditafsirkan tidak lebih rendah dari gagasan aslinya.
Penulis adalah Guru Besar di Institut Teknologi Bandung.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar