Artati Marzuki, Menteri PD dan K di Tengah Konflik Departemen
Kala polarisasi politik sedang menjamah Kementerian PD dan K, Artati Marzuki ditunjuk sebagai menteri baru menggantikan Prof. Prijono.
MENYUSUL terjadinya krisis internal di tubuh Departemen Pendidikan, pemerintah menunjuk Artati Marzuki Sudirdjo sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PD dan K) pada Agustus 1964. Artati dianggap mampu melanjutkan jalannya roda departemen itu meski tak punya jejak karier dalam dunia pendidikan. Kariernya didominasi sebagai diplomat, sejak 1949.
Sebelum menjadi Menteri PD dan K, Artati yang lahir di Salatiga pada 15 Juni 1921 bekerja di Komite Urusan Luar Negeri dan sebagai Panitia Persiapan Penyerahan Kedaulatan Republik Indonesia pada 1949. Sejak 1950 ia menjadi perwakilan tetap Indonesia pada berbagai pertemuan PBB. Dalam Menteri-Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Sejak Tahun 1966, Sumardi menyebut keaktifan dan kepintaran Artati membuatnya diberi gelar Minister Counsellor oleh Kedutaan Besar RI di Roma.
Baca juga: Artati Sang Srikandi Diplomasi
Penunjukan Artati sebagai menteri PD dan K bertujuan utama untuk menertibkan lingkaran dalam departemen, menciptakan suasana kerja yang baik, dan membuat instansi tersebut terbebas dari polarisasi politik. Sebelum Artati menjabat, Departemen Pendidikan terbagi menjadi dua blok. Blok pertama terdiri atas pejabat dan pegawai beraliran komunis yang bergabung dengan Serikat Sekerja Pendidikan (SSP). Sebagian lain ialah pekerja pendidikan yang juga anggota partai politik (PNI) dan berideologi agama, yang bergabung dengan Serikat Sekerja Pendidikan dan Kebudayaan (SSPK).
Benih-benih pertentangan politik mulai bersemi di lingkungan PD dan K sejak awal 1960-an. Sebagai akibatnya, PGRI makin sulit mempertahankan sifat independennya karena baik SSP maupun SSPK saling berusaha menguasai situasi. Mereka saling berlomba untuk menentukan arah kebijakan departemen, khsusunya yang berupa program pendidikan dan kebudayaan nasional. Pertentangan dua kelompok tersebut terjadi bersamaan dengan polarisasi kekuatan politik di lingkungan masyarakat, antara kelompok aliran nasionalis, agamis, dan komunis.
Pada 1960, Menteri Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (PP dan K) Prof. Prijono mengajukan konsep Panca Wardhana sebagai sistem pendidikan nasional dan Manipol-Usdek sebagai dasar pendidikan nasional. Panca Wardhana berisi perkembangan Cinta Bangsa dan Tanah Air, Moral, Nasional, Internasional, Keagamaan; Perkembangan Intelegensia; Perkembangan Emosional, Artistik atau Rasa Keharuan dan Keindahan Lahir Batin; Perkembangan Kerajinan Tangan; dan Perkembangan Jasmani.
Konsep itu mulanya tak menimbulkan gejolak. Kelompok Maerhaenis dan agama bisa menerimanya. Ditambah lagi, Pancasila dimasukkan sebagai sistem pendidikan nasional sebagai falsafah dalam Panca Wardhana.
Gejolak konflik dimulai ketika pada 16-18 Februari 1963 Lembaga Pendidikan Nasional yang berafiliasi dengan PKI menyelenggarakan seminar “Pendidikan Mengabdi Manipol”. Dr. Busono Wiwoho dari UGM menjadi salah satu pembicara dalam seminar tersebut. Dalam kesempatan itu, Busono menyampaikan Panca Cinta: Cinta pada nusa-bangsa, ilmu pengetahuan, kerja dan rakyat bekerja, perdamain dan persahabatan antar bangsa-bangsa, dan orang tua. Menurut Busono, Panca Cinta itu merupakan inti dari Panca Wardhana.
Seminar ini menjadi puncak pergolakan kelompok agamis dan marhaenis melawan kelompok komunis dalam Departemen Pendidikan. Kelompok marhaenis dan agamis menuduh Panca Cinta menghilangkan sila pertama Pancasila.
Kekisruhan itu memaksa Menteri Prijono menengahi dengan mengatakan bahwa Panca Wardhana dan Panca Cinta tidak saling bertentangan, namun saling mengisi. Namun, para marhaenis dan agamis menganggap seminar itu tetap mengaburkan sila 1 Pancasila.
Baca juga: Mencari Arah Pendidikan Sejarah
Konflik antara SSPK dan SSP meningkat di dalam tubuh Departemen Pendidikan dengan penyelenggaraan seminar tandingan, “Penegasan Pancasila sebagai Dasar Pendidikan Nasional”, yang diselenggarakan kelompok marhaen dan agama pada 16-17 Juli 1963. Hasil seminar ini diajukan pada presiden untuk menetapkan keputusan tegas mengenai sistem pendidikan nasional. Buahnya adalah Penpres No. 19 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila.
Namun polarisasi politik dalam tubuh Kementerian P dan K tak dapat dibendung. Posisi Prof. Prijono pun digantikan oleh Artati Marzuki. Sementara, Prof. Prijono naik menjadi menteri koordiantor yang membidangi Kompartemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kabinet Dwikora.
Suradi HP dalam Sejarah Pemikiran Pendidikan dan Kebudayaan menyebut, boleh dikatakan patokan-patokan penting yang telah digariskan oleh menteri sebelumnya tidak mengalami perubahan. Tugas utama Artati adalah meredakan konflik dalam tubuh Departemen Pendidikan.
“Kebudayaan kita harus bersifat anti-imperialisme, anti-feodalisme, dan anti-neokolonialisme. Kebudayaan kita harus bersifat kebudayaan rakyat yang progresif revolusioner,” kata Artati dalam pidatonya sebagai menteri, 28 Mei 1965, seperti dimuat dalam Harian Rakjat.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar