Masalah Kulit Sepanjang Masa
Sempat dikira bukan penyakit, jerawat menjadi masalah kulit nomor tiga paling banyak diderita orang Indonesia.
KALA remaja, Retno Iswari Tranggono pernah mengalami jerawatan. Dia mengobatinya menggunakan beras. Sebelum digunakan, beras itu terlebih dulu direndam semalaman. Setelah lunak, beras itu dia remas hingga menjadi tepung. Tepung itu lalu dicampur bunga melati, disaring, dan dibentuk bulat. “Kalau mau dipakai, ambil bedaknya satu buah, dikasih air, terus dipakai,” kata Retno sebagaimana ditulis Jean Couteau dalam The Entrepreneur Behind the Science of Beauty.
Tahun 1950-an itu obat jerawat belum banyak beredar. Kalaupun ada, obat itu tidak ampuh. Untuk menghilangkan jerawat, Retno sampai menjadi vegetarian lima tahun. Tapi kedua cara tadi rupanya tak manjur. Jerawat terus tumbuh di wajah Retno hingga dia masuk kuliah di FK UI tahun 1958. Dia bahkan dijuluki “Janda Bopeng” oleh Asih Wiyasti, putri Perdana Menteri Wilopo yang merupakan seniornya di kampus.
Pengalaman berjerawat membuat Retno semangat untuk mempelajari masalah jerawat dan kosmetika yang cocok untuk kulit orang Indonesia. Retno pula yang memprakarsai dibukanya subbagian Kosmetik Medik di UI. Dia bahkan pernah dijuluki “Dokter Jerawat” karena kepandaiannya mengobati jerawat pasien.
Sejak dulu, jerawat merupakan salah satu masalah kulit paling banyak diderita orang Indonesia. Ketika pengetahuan tentang penyembuhan jerawat belum semaju sekarang, orang-orang menutupi jerawat dengan bedak alih-alih menyembuhkannya. Jerawat dianggap hal yang normal.
“Pada saat itu yang banyak diderita (adalah, red.) jerawat. Jerawat itu penyakit kulit nomer tiga terbanyak di Indonesia. Sebelum dokter ikutan (dalam perawatan kecantikan), para ahli kecantikan menganggap jerawat bukan penyakit,” kata Sjarief Wasitaatmadja, dokter kulit senior yang pernah menajdi asisten Retno.
Menurut Sjarief, setiap orang pasti pernah memiliki masalah jerawat sepanjang hidupnya. Meski demikian, jerawat tidak bisa dianggap sebagai keadaan normal. Salah perawatan dalam menangani jerawat bisa membuat bekasnya semakin parah.
Kesalahkaprahan tentang jerawat kemudian dibenahi melalui beragam pertemuan antara dokter dan ahli kecantikan pada 1970-an. Ketika para dokter memberi pengarahan tentang penyembuhan jerawat yang benar secara medis, para ahli kecantikan sempat menolaknya. Namun perlahan, penolakan itu sirna. “Dulu mengobatinya macam-macam, ada yang pakai cairan, ada yang dipencet. Padahal kalau dipencet, infeksinya tambah parah, bekasnya jadi tambah sulit dihilangkan,” kata Sjarief.
Sementara, para dokter mengobati jerawat dengan pemberian antibiotik atau tretinoin. Pemberian dosis obat, jelas Sjarief, harus bertahap dari dosis paling rendah sebab obat selalu memiliki efek samping. Pemberian tretinoin dalam pengobatan jerawat, misalnya, tak diperbolehkan bila langsung memberikan tretinoin yang berwujud obat minum tapi harus dimulai dari bentuk salep dengan kadar paling rendah.
“Sampai hari ini, tretinoin masih menjadi obat paling bagus. Memang dipakai sebagai pengobatan akne (jerawat) oleh dokter. Ada juga bentuk oralnya (obat yang diminum). Buat jerawat bagus banget. Tetapi efek sampingnya juga berat. Efek paling buruk itu kalau dikonsumsi wanita hamil, anaknya cacat. Jadi tidak sembarangan dipakai,” kata Sjarief.
Tretinoin merupakan turunan dari vitamin A yang bersifat asam. Penggunaannya dalam pengobatan jerawat diprakarsai dokter kulit asal Amerika Albert M. Kligman. Sejak 1960-an, Kligman tertarik meneliti tretinoin. Penelitian sebelumnya yang dilakukan dokter kulit Eropa menunjukkan bahwa tretinoin terlalu mengiritasi kulit. Tapi pada 1967 Kligman menemukan dosis yang tepat penggunaan tretinoin. Hingga kini tretinoin menjadi obat jerawat yang dianggap paling efektif.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar