Zaman Enak
Mengajak orang kembali ke masa lalu yang katanya zaman enak. Padahal, cara Orde Baru berkuasa tak ubahnya negara kolonial.
Beberapa tahun belakangan, banyak ajakan untuk kembali ke masa lalu. Di belakang bak truk, kaca angkot, spanduk dan kaos tertera kalimat “Enak zamanku, tho.” Seakan menegaskan kondisi kekinian tak mendatangkan apa-apa kecuali kesengsaraan dan penderitaan untuk banyak orang.
Situasi seperti itu yang kemudian jadi sasaran kritik kaum pohon beringin. Sebagai salah satu pemilik masa lalu yang “gemilang”, mereka mengklaim zaman Orde Baru jauh lebih enak, nyaman dan membahagiakan rakyat. “Era Orde Baru adalah masa yang paling indah,” ujar Aburizal Bakrie dalam kampanyenya di Sukabumi, 30 Maret 2014.
Bakrie juga menambahkan banyaknya spanduk dan kaos bertulisan “Enak zamanku” bukti kalau orang merindukan zaman Orde Baru. Fenomena tersebut direken seolah hasil referendum nasional ihwal perasaan rakyat tentang sebuah zaman.
Orang Indonesia memang mudah terharu biru, melankolik. Saat Indonesia baru merdeka, revolusi fisik masih terjadi, seperti yang pernah dituturkan oleh Romo Mangunwijaya, banyak penduduk desa yang bertanya-tanya kapan gerangan “zaman kemerdekaan” akan berakhir?
“Zaman kemerdekaan” yang dimaksud orang desa itu mengacu pada situasi revolusi yang penuh dengan ketegangan, pertempuran, pengungsian dan penderitaan. Banyak penduduk yang terkena imbas dari perubahan politik yang drastis itu. Kerinduan atas situasi yang tenang dan nyaman pun muncul. Mereka ingin kembali ke “zaman normal”, zaman di mana Belanda masih berkuasa dan semua berjalan baik-baik saja.
Tentu ini soal kesadaran yang dibentuk sedemikian rupa oleh kekuasaan. Penguasa kolonial berhasil membangun Hindia Belanda menjadi sebuah negara polisi sekaligus negara kekerasan. Menurut sejarawan Belanda Marieke Bloembergen, negara kolonial membatasi kebebasan dan aktivitas politik orang Indonesia dan secara terus menerus menghalangi perwujudan kebebasan warganya.
Teror negara dan ketakutan yang ditimbulkannya menciptakan sebuah situasi aman dan nyaman yang semu. Rakyat dibuat sama sekali tidak punya kesadaran kritis. Sementara penguasa kolonial secara leluasa mengeksploitasi mereka dengan perangkat hukum yang mereka ciptakan sendiri. Celakanya, situasi semu itulah yang dirindukan oleh sebagian penduduk desa di masa revolusi kemerdekaan.
Apakah pemerintah kolonial Belanda tidak berkampanye mengatakan “enak zamanku”? Tentu saja mereka melakukannya dalam bentuknya yang lain. Pada 1947 Dubes Belanda untuk PBB Elco Van Kleffens mengumbar propaganda bahwa sepeninggal Belanda, situasi di Indonesia tak menentu dan hanya Belanda yang bisa mengembalikan keadaan itu.
Setelah kemerdekaan, Indonesia sering disebut-sebut sebagai negara yang dipimpin bandit dan kolaborator fasis Jepang. Tak mampu memadamkan kekacauan dan menciptakan ketertiban, sebagaimana pernah dilakukan oleh Belanda saat masih berkuasa. Mereka pun punya media propagandanya sendiri, Het Uitzicht. Semua demi meyakinkan orang bahwa zaman Belanda jauh lebih baik.
Kini cara yang sama digunakan. Mengembalikan ingatan orang kepada masa lalu. Pangkal soalnya cara Orde Baru berkuasa tak ubahnya negara kolonial. Bahkan mungkin jauh lebih tersistematis. Dengan meminjam konsep Antonio Gramsci, maka kita tahu bahwa Orde Baru tak hanya mendominasi masyarakat lewat pranata negara yang identik dengan kekerasan, tapi juga mengelola kekuasaan atas rakyat lewat perangkat hegemoni yang terwujud dalam kepemimpinan intelektual dan moral.
Ingatan kolektif masyarakat atas sejarah dikontrol dan standar moralitas diatur berdasarkan apa yang benar menurut penguasa. Pada masa itu banyak orang merasa takut dan tabu mengkritik penguasa walaupun itu terjadi di dalam rumah. Dominasi dan hegemoni yang diberlakukan penguasa menunjukkan hasilnya.
Saya curiga, semua sticker, spanduk dan kaos bertulisan “Enak zamanku, tho” dan semua ajakan untuk “kembali ke masa lalu” bentuk kampanye yang hegemonik. Ia seperti memutar ulang rekaman lama yang sekian lama mengendap dalam kepala orang. Tujuannya bukan murni untuk memperbaiki keadaan, tapi lebih kepada cara untuk kembali berkuasa.
Lagipula, siapa sih yang bisa membuat harga bensin balik lagi Rp250/liter? Kalau begitu caranya, zaman Majapahit jauh lebih enak. Sayuran tinggal petik, plus tiada perlu beli BBM karena kuda gratis makan rumput. Mau?
Tambahkan komentar
Belum ada komentar