Yang Terlupa dalam Surabaya 45
“Neraka” Surabaya yang dikenang lewat teatrikal dan film. Banyak peran manusia yang lekang dari ingatan.
RATUSAN pelajar bersenjatakan rupa-rupa senjata sederhana menghadang ofensif pasukan Inggris di sekitar Tugu Pahlawan, Surabaya pada Minggu (11/11/18) pagi. Satu per satu dari mereka lalu bertumbangan oleh tembakan lawan.
Pertempuran antara para pejuang Indonesia melawan pasukan Inggris itu bukan pertempuran Surabaya 10 November 1945 tapi aksi teatrikal untuk mengenang pertempuran tersebut. Aksi yang diikuti ratusan reenactor (pereka ulang sejarah) se-Indonesia dan elemen TNI itu membuka Parade Surabaya Juang, event tahunan yang dihelat Pemerintah Kota Surabaya untuk mengenang Hari Pahlawan.
Pelibatan para pelajar dalam aksi teatrikal itu dimaksudkan untuk mengenalkan mereka pada heroisme para pejuang 10 November yang banyak terdiri dari pelajar. “Mereka masuk ke BKR Kota Surabaya pimpinan Soengkono sebagai pasukan BKR Pelajar. Terbagi dalam empat staf. Staf I berjumlah 200 pelajar, Staf II 300, Staf III 1200 dan Staf IV 80 pelajar,” ujar peneliti sejarah Surabaya dan founder komunitas Roode Brug Soerabaia Ady Setyawan kepada Historia.
Baca juga: Kisah pemuda Surabaya yang mencabut nyawa Brigadier AWS Mallaby
“Mereka telah berjuang menjaga kemerdekaan Republik Indonesia. Mari kita melanjutkan perjuangan mereka dengan memerangi kemiskinan dan kebodohan. Mari kita berikan yang terbaik untuk anak-anak kita, pendidikan terbaik agar bisa sejajar dengan anak-anak muda di dunia. Jangan kenal putus asa dan pantang menyerah seperti yang dicontohkan mereka (para pelajar pejuang),” kata Walikota Tri Rismaharini.
Pertempuran 10 November dalam Layar Lebar
Media pengingat Pertempuran 10 November 1945 sejatinya bukan hanya aksi teatrikal. Bagi generasi 1990-an, ada film Soerabaia 45: Merdeka ataoe Mati! (selanjutnya disebut Soerabaia 45). Film ini digarap tokoh yang terlibat dalam Pertempuran 10 November 1945 sebagai anggota BKR Pelajar Darmo 49 (Staf I pimpinan Mas Isman), Gatut Kusumo Hadi.
Filmnya sendiri berangkat dari keinginan Pemda Tingkat I Jawa Timur (kini Pemerintah Provinsi Jawa Timur) untuk memperkuat identitas Kota Surabaya sebagai Kota Pahlawan, di mana tiap 10 November diperingati secara nasional. Awalnya, Pemda menunjuk Imam Tantowi sebagai sutradara.
Namun pada rapat awal produksi di mana Gatut Kusumo turut diundang, diputuskan naskahnya menggunakan memoar milik Gatut yang bertajuk “100 Hari di Surabaya” dan buku Seratus Hari di Surabaya yang Menggemparkan Indonesia karya Roeslan Abdulgani. Imam Tantowi yang sudah dikenal secara nasional dicantumkan sebagai sutradara, setelah Gatut memintanya tetap berperan atas film ini, meski perannya ibarat manajer belaka. Film ini dibuat besar-besaran dengan pendanaan dari Pemda dan Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur.
Film Soerabaia 45 sendiri mengisahkan konflik di Surabaya sejak dari kedatangan Sekutu hingga masa ketika pasukan republik mesti menyingkir ke luar kota setelah bertahan selama 23 hari. Berdurasi 123 menit, film yang diproduksi PH Inter Pratama Studio dan Cinema City Studio ini dirilis tahun 1990 dengan Imam Tantowi sebagai sutradara yang tercantum.
“Di credit-nya, Pak Gatut Kusumo hanya dicantumkan sebagai co-director (asisten sutradara). Padahal perannya lebih seperti sutradara. Imam Tantowi ibaratnya sebagai manajer saja. Skenarionya juga yang buat Pak Gatut,” ujar Dhahana Adi Pungkas, peneliti musik dan film cum penulis Surabaya Punya Cerita, kepada Historia.
Thea Susetia Kusumo, istri mendiang Gatut Kusumo Hadi (Foto: Randy Wirayudha/Historia)
“Kalau aktor-aktor utama sudah ditentukan beberapa pihak. Tapi untuk figuran, Pak Gatut sendiri yang ambil beberapa orang, termasuk anak bungsunya, Mamas (Masadji Paramatma sebagai pemuda pejuang Amirin). Ya langsung tunjuk saja, lalu dikasih skenarionya. Pokoknya yang teringat, dia (Mamas) muncul di scene terakhir dengan dialog yang ditulis bapaknya juga: ‘Ini baru permulaan (Pertempuran 10 November). Lama kita akan mengalami ini (revolusi fisik kemerdekaan)’,” kenang Thea.
Baca juga: Para pemuda Surabaya menembak jatuh pesawat yang ditumpangi Jenderal Inggris
Selain tayang di bioskop, film ini acap ditayangkan TVRI saban Agustus-an maupun Hari Pahlawan. Namun, kontribusi besar Gatut dalam film yang dibintangi antara lain oleh Leo Kristi (sebagai Bung Tomo), Usman Effendy (Jenderal Iwabe), Sutanto Suphiady (Dr. Mustopo), Rudy Wowor (Kapten Terzee Huis), dan Jill P. Kalaran (Soengkono) ini tak mendapat penghargaan sepadan.
“Film itu ongkosnya sekitar Rp2 miliar. Tapi dia (Gatut Kusumo) ya hanya dapat berapa, sedikit sekali. Tidak sampai Rp10 juta sebagai sutradara. Orang film yang bisa kaya kan bintang filmnya,” kata Thea Susetia Kusumo, istri mendiang Gatut Kusumo, saat ditemui Historia di kediaman sederhananya di Perumahan Dosen Universitas Negeri Surabaya.
Hingga kini, Soerabaia 45 dan film animasi Battle of Surabaya (2015) tercatat sebagai film yang total mengisahkan “neraka” di Surabaya. Tak heran bila Soerabaia 45 melegenda, selain karena prestasinya yang memenangkan Piala Citra 1991.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar