Yang Terkubur di Laut Lepas
KRI Matjan Tutul hancur lebur dalam suatu pertempuran laut yang tak seimbang.
Begitu melihat gelagat akan dikepung, Kolonel Laut Sudomo memerintahkan ketiga KRI untuk putar haluan menuju arah 239 derajat dan bergerak kembali ke pangkalan. Serentak semua KRI cikar kanan. Namun ada yang aneh dengan KRI Matjan Tutul. Alih-alih mengikuti terus gerakan kedua kapal lainnya, KRI Matjan Tutul malah memutar dengan kekuatan penuh, melewati sisi kanan KRI Matjan Kumbang dan langsung mengambil haluan 329 derajat, melaju ke arah posisi Hr.Ms. Eversten.
Eversten langsung bereaksi. Dengan garang, fregat milik Belanda itu memuntahkan peluru meriam 12 cm-nya ke posisi Matjan Tutul. Bersamaan itu dari KRI Matjan Tutul, bergema suara khas Komodor Jos Soedarso: “Kobarkan semangat pertempuran!” Jelas sudah, Jos Soedarso sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Laut RI sudah mengambil alih komando dari Kapten Wiratno, komandan KRI Matjan Tutul.
Baca juga: Pertempuran Alot di Pantai Utara Papua
Tembakan Eversten langsung menghantam meriam 40 mm Bofors yang terletak di buritan KRI Matjan Tutul. Meriam itu pun langsung tumbang. Hantaman kedua mengenai tiang radar hingga tumbang ke laut. Peluru meriam musuh ketiga mengenai dapur (tengah) sehingga kapal menjadi pecah mengeluarkan api dan asap hitam menutupi kapal dari depan sampai ke belakang. Peluruh musuh yang keempat mengenai mesin diesel (listrik) dan mematikan semua aliran listrik. Peluru musuh kelima menghancurkan anjungan dan alat komunikasi (PHB).
Sepeninggal dua kapal perang lainnya, KRI Matjan Tutul mendapatkan tembakan bertubi-tubi dari pihak musuh. Tak ayal lagi, kapal cepat buatan Jerman itu luluh lantak. Semua senjata meriamnya tak satu pun utuh, seperti para penembaknya yang hancur berkeping-keping. Matjan Tutul pun perlahan mulai tenggelam dan terkubur selamanya di lautan Arafuru. Tigapuluh awaknya gugur seketika, termasuk Wakasal Komodor Jos Soedarso. Sementara sisa para waknya terombang-ambing di tengah lautan, sebelum kemudian diangkut oleh kapal-kapal Belanda.
Junias Rapamy masih ingat bagaimana dia dan kawan-kawannya diangkat dengan jaring-jaring kawat ke atas kapal perang Belanda. Saat jaring diangka, perlahan-lahan mulut jaring mengecil. Jadilah mereka terjepit dan seperti diperas. Ada suatu kejadian menyakitkan hati para prajurit dan sukarelawan Indonesia yakni kala jaring akan diturunkan di atas geladak kapal, ternyata masih ada darah yang menetas . Tiba-tiba jaring menjauh lagi dari geladak kapal dan berputar ke arah samping kapal.
“Rupanya kapal Belanda itu tidak sudi menerima tetesan darah kami…” kenang Junias.
Baca juga: Pertempuran Laut Jawa
Sekira satu jam lebih mereka dibiarkan bergelantungan dalam jaring itu. Begitu yakin tidak ada lagi tetesan darah, awak kapal Belanda itu baru mau mengarahkan jarring ke geladak kapal. Setelah jaring terbuka dan mereka mempunyai ruang untuk bernapas ternyata seorang kelasi bernama Banuardi sudah tidak bergerak lagi. Beberapa prajurit marinir Belanda kemudian menggotongnya ke arah belakang kapal.
”Saya tidak melihat lagi apa yang terjadi, namun saya menduga jenazah Banuardi langsung dibuang ke laut…” ujar Junias.
Dua prajurit Indonesia, Rekrut Niki dan Kelasi II K. Ekson, yang sudah terlihat sekarat dipisahkan dari kami dan ditidurkan di atas brankart menunggu waktunya mati. Sementara 51 orang sisanya, disuruh tidur di geladak kapal tempat apel para marinir. Mereka ditidurkan telentang mengelilingi sebuah botol bir besar (Angker Bir) sebagai pusat kaki mereka, dengan posisi kaki dan tangan terikat.
Berdasarkan daftar yang diterima oleh Markas Besar Palang Merah Indonesia dari IRC (Palang Merah Internasional) pada 14 Februari 1962, ada 54 awak KRI Matjan Tutul yang menjadi tawanan Marinir Belanda. Kendati ketika awal penahanan mereka diperlakukan secara kurang baik, namun karena campur tangan PBB dan IRC pada akhirnya para tawanan itu mendapat perlakuan sesuai Konvensi Jenewa. (Bersambung)
Baca juga: Infiltrasi Nekat ke Irian Barat
Tambahkan komentar
Belum ada komentar