Volksraad, DPR ala Hindia Belanda
Kisah lembaga yang dibentuk untuk mewakili suara pribumi. Berisikan orang-orang terpilih yang dianggap bisa membawa perubahan bagi orang-orang Hindia Belanda.
Rapat paripurna pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Senin (5/10/2020), berakhir. Setelah dibahas melalui 64 kali rapat, sejak 20 April hingga 3 Oktober 2020, ketukan palu Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin menandai omnibus law resmi disahkan. RUU Cipta Kerja itu terdiri atas 15 Bab dan 174 Pasal.
Putusan DPR tersebut mendapat reaksi keras dari masyarakat. Banyak yang menilai langkah pengesahan RUU Cipta Kerja akan berdampak buruk bagi kehidupan para pekerja di Indonesia. Dilansir BBC Indonesia, sejumlah kelompok buruh menyatakan perlawanannya terhadap undang-undang itu.
Baca juga: Di Balik Pendudukan Gedung DPR
“Kami akan berusaha berjuang sekuat-kuatnya bagaimana mendesak agar terjadi pembatalan terhadap Omnibus Law. Pengalaman kami dulu, beberapa kali, misalkan pemerintah ingin melahirkan suatu regulasi, ketika ini bertentangan dengan prinsip dan asas konstitusi dan Pancasila, sekuat mungkin harus diperjuangkan,” kata Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia Nining Elitos seperti dikutip BBC.
Selain aksi turun ke jalan, kecaman juga banyak disuarakan publik di media sosial. Masyarakat beramai-ramai menolak putusan tersebut, dan mengecam DPR selaku lembaga legislatif di negeri ini. Aksi “mosi tidak percaya” kepada pemerintah juga menjadi trending di Twitter.
Baca juga: Anggota DPR Disangka Teroris
DPR sebagai lembaga legislatif akarnya telah ada sejak zaman Hindia Belanda. Pada masa itu lembaga legislatif yang mewakili rakyat pribumi di hadapan pemerintah Belanda dikenal sebagai Volksraad atau “Dewan Rakyat”. Dewan tersebut diisi oleh orang-orang terpilih yang mencerminkan suara para pribumi.
Wakil Para Pribumi
Menurut Joko Darmawan dalam Sejarah Nasional “Ketika Nusantara Berbicara”, Volksraad terbentuk atas desakan dari pemuka-pemuka pergerakan di Indonesia dan orang Belanda yang menuntut adanya dewan perwakilan bagi orang-orang Hindia. Dewan ini merupakan parlemen untuk urusan bumiputra, yang hak-haknya secara resmi dijamin oleh hukum Belanda.
Mulanya lembaga parlemen ini bernama “Dewan Kolonial”, namun kemudian namanya diubah menjadi Volksraad atau “Dewan Rakyat”. Volksraad dibentuk lewat keputusan Indische Staatsregeling, wet op de Staatsinrichting van Nederlandsh-Indie (Indische Staatsrgeling) Pasal 53 sampai Pasal 80 bagian Kedua tanggal 16 Desember 1916, serta diumumkan dalam Staatsblat No. 114 tahun 1916. Peraturan yang berlaku pada 1 Agustus 1917 itu memuat hal-hal yang berkenaan dengan Volksraad sebagai dewan legislatif.
“Boleh jadi pembentukannya hanya semacam basa-basi politik pemerintahan kolonial saja. Lewat pemilihan yang bertingkat-tingkat dan berbelit, komposisi keanggotaan Volksraad pada mulanya tidak begitu simpatik,” tulis Azizah Etek, dkk dalam Kelah Sang Demang Jahja Datoek Kajo: Pidato Otokritik di Volksraad 1927-1939.
Baca juga: Perdebatan Lingkungan di Volksraad
Pembentukan dewan rakyat itu tidak terlepas dari peran Gubernur Jenderal Graaf van Limburg Stirum dan Menteri Urusan Kolonial Belanda Thomas Bastian Pleyte. Stirum menghendaki anggota-anggota Volksraad nantinya berisikan orang-orang yang mewakili unsur-unsur di Hindia Belanda seluas-luasnya.
“Ia sangat berharap, kepentingan Hindia Belanda dapat terwakili dalam Dewan Rakyat tersebut dengan sebaik-baiknya meski ia mengakui keterwakilan daerah-daerah di luar Jawa sulit untuk dilakukan,” tulis Gamal Komandoko dalam Boedi Oetomo: Awal Bangkitnya Kesadaran Bangsa.
Di dalam surat yang ditujukan kepada Menteri Urusan Jajahan pada Juni 1917, Stirum berencana membuat daftar calon anggota yang akan duduk di Volksraad. Dia tidak ingin Volksraad hanya diisi oleh pejabat tinggi dan bangsawan pribumi yang secara kualitas tidak cukup baik untuk mewakili rakyat di bawahnya. Stirum juga berusaha menjauhkan Volksraad dari kesan sebagai “boneka pemerintah”.
Pada 21 Januari 1918, hasil pemungutan suara untuk anggota Volksraad dari kalangan pribumi diumumkan. Benar saja, daftar anggota terpilih tersebut didominasi oleh kaum priayi, di antaranya: Abdoel Moeis, M. Aboekasa Atmodirono, R. Kamil, Radjiman Wedyodiningrat, R. Sastrowidjono, Abdoel Rivai, R.A.A.A. Djajadiningrat, R.A.A. Koesoemo Joedo, R.M.A.A. Koesoemo Oetojo, dan A.L. Waworoentoe.
Baca juga: Abdoel Moeis, Pahlawan Nasional Pertama
Demi menjaga keseimbangan antara bangsawan tinggi dan kalangan pribumi biasa di tubuh Volksraad, Stirum menggunakan kekuasaannya untuk mengangkat lima anggota baru. Mereka adalah Tjipto Mangoenkoesoemo, Tjokroaminoto, Dwidjosewojo, P.A.A.P. Prangwadono, dan Teukoe Tjhi Mohamad Thajeb.
“Meski fungsi Volksraad yang sesungguhnya bukanlah dimaksudkan sebagai parlemen dengan tanggung jawab membentuk undang-undang negara, namun demikian pembentukan Volksraad dianggap oleh sebagian besar orang Belanda sebagai langkah maju dalam perjuangan untuk mendapatkan otonomi Hindia Belanda,” tulis Komandoko.
Tugas dan fungsi Volksraad baru secara resmi terlaksana pada 18 Mei 1918. Pengesahannya dilakukan langsung oleh Gubernur Jenderal Stirum. Sebagai ketua Volksraad pertama terpilihlah J.C. Koningsberger. Menurut Fajlurrahman Jurdi dalam Hukum Tata Negara Indonesia, Volksraad memiliki struktur keanggotaan yang terdiri dari satu orang ketua (diangkat oleh raja), dan 38 orang anggota –15 orang kalangan pribumi, dan 23 orang mewakili golongan Eropa dan Timur Asing– yang diangkat berdasar pemilihan, perwakilan provinsi, dan pengangkatan. Pada 1927 terjadi penambahan jumlah anggota Volksraad menjadi 55 anggota.
Baca juga: Kakek Buyut Sang Guru Bangsa Tjokroaminoto
Selama periode 1930 sampai 1940, Volksraad menjadi wadah tokoh-tokoh pergerakan Indonesia menyuarakan aksinya. Seperti dilakukan Soetardjo pada 1935 yang mengeluarkan petisi agar pemerintah Belanda bersedia mengadakan suatu perundingan bersama dengan perwakilan Indonesia untuk membicarakan nasib Indonesia di masa mendatang.
“… karena dominasi Koloni Belanda saat itu hampir mencakup di semua aspek sehingga usul tersebut tidak mendapat respon,” tulis Darmawan.
Baca juga: Bahasa Indonesia di Dewan Rakyat Hindia Belanda
Dari lembaga legislatif itu jugalah terlahir banyak tokoh pergerakan penting Indonesa, di antaranya Haji Agus Salim, Aboel Moeis, Soetardjo, M.H. Thamrin, Oto Iskandar di Nata, dan sebagainya. Ada kejadian penting yang terjadi pada sidang Volksraad tahun 1938. Ketika itu untuk pertama kalinya bahasa Indonesia diperdengarkan di depan anggota Volksraad. Melalui pidato dari M.H. Thamrin tersebut, terbukalah jalan bagi bahasa Indonesia dikenal oleh dunia.
Segala aktivitas Volksraad berakhir saat pasukan Jepang mendarat di Hindia Belanda pada 1942. Bagi para penjajah baru itu keberadaan Volksraad tidak diakui karena bekas peninggalan koloni sebelumnya. Kemudian setelah Indonesia merdeka, dewan legislatif dibentuk kembali dengan nama Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Didirikan pada 29 Agustus 1945, dengan ketua pertamanya Kasman Singodimedjo.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar