Untuk Apa Gapura Tujuhbelasan
Alih-alih cermin kemajuan, gapura tujuhbelasan menciptakan manusia Indonesia yang disiplin dan patuh pada penguasa.
SEBUAH gapura tembok bercat merah-putih, yang mengelupas dan kotor di sana-sini, berdiri kokoh di bilangan Cipondoh, Kota Tangerang. Di atasnya melengkung dua batang besi dan di tengahnya tertulis nama sebuah gang. Tiga bendera merah-putih sudah tak berbentuk lagi. Di kanan-kiri tembok tertulis dengan warna merah:17-8-45 dan 17-8-09.
“Biasanya seminggu sebelum tujuhbelasan, ketua RT menggerakkan warga untuk memperbaiki gapura dengan mengecat ulang dan menyesuaikan tahunnya. Biayanya diambil dari hasil iuran warga,” kata Hamdani, warga setempat, kepada Historia.
Menurut Aditya Wardana dalam Gapura Untuk Rumah Tinggal, gapura berfungsi sebagai petunjuk batas wilayah atau pintu keluar-masuk yang terletak pada dinding pembatas sebuah kompleks bangunan. Gapura juga bisa berfungsi sebagai monumen peringatan seorang tokoh atau peristiwa penting seperti gapura perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina ke-47 pada 31 Agustus 1927 di Barabai Banjarmasin. Pada gapura tersebut tertulis: “Lang Leve de Koningin” atau “Semoga Ratu Panjang Umur”. Atau menjelang 17 Agustus, warga biasanya mempercantik gapura dengan beragam hiasan yang menunjukkan corak warna merah-putih.
Di sejumlah tempat, kini tak mudah menemukan gapura yang berhiaskan ornamen tujuhbelasan. Beberapa tahun lalu kemeriahan gapura terjadi karena ada lomba mempercantik gapura yang diadakan sebuah stasiun televisi swasta. Ini berbeda dengan fenomena di masa Orde Baru. Saat itu pembangunan gapura tujuhbelasan dilakukan secara massif.
Sejak 1970-an, Hari Kemerdekaan menjadi peristiwa tahunan yang hampir secara eksklusif dipusatkan pada pemerintah. Pemerintah setempat menggerakkan masyarakat selama minggu-minggu sebelum dan sesudah Hari Kemerdekaan dengan program memperindah lingkungan, di antaranya pembangunan gapura. Aktivitas itu, menurut Teruo Sekimoto, profesor antropologi Institute of Oriental Culture University of Tokyo, merupakan bagian dari rangkaian kegiatan persiapan perayaan kemerdekaan Indonesia yang melibatkan banyak orang untuk mencapai tujuan nasional: stabilitas negara dan pembangunan.
“Di antara usaha mobilisasi yang paling menonjol adalah menghias tiap-tiap desa dengan membangun pagar beton, membentuk gapura yang penuh hiasan, dan merancang beragam seragam,” tulis Sekimoto, “Pakaian Seragam dan Pagar Beton, Mendandani Desa pada Masa Orde Baru Tahun 1970-an dan 1980-an”, yang termuat dalam Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan karya Henk Schulte Nordholt.
Di Manado, misalnya, Gubernur H.V. Worang menginstruksikan, seperti dikutip Tempo, 26 April 1975, agar “Matubo-matubo yang terbuat dari bambu, kayu, dan janur biasa dipasang kalau ada tamu agung sudah tak sesuai lagi dengan kemajuan pembangunan daerah.”
Instruksi itu pun turun ke pelosok-pelosok yang menimbulkan semangat bergapura. Para camat dan kepala desa pun sibuk. Gapura bersifat sementara diganti dengan yang permanen. Dananya dari swadaya masyarakat. Bukan hanya soal gapura. Tahun sebelumnya, gubernur menginstruksikan agar pada 17 Agustus 1974, semua desa di Sulawesi Utara harus sudah punya tugu Pancasila. Jumlah tak ditentukan. Bentukya pun tak diseragamkan. Ada yang berbentuk tonggak berisi empat, sebelah depannya diukir atau digambari garuda dan di bawahnya ditulisi teks Pancasila.
Benedict Anderson melihat pemadangan ini sebagai sesuatu yang aneh. Dia melihat proyek pembangunan gapura di Jawa Timur pada 1973. “Di begitu banyak desa di sepanjang jalan raya provinsi, mata terpesona pada gapura-gapura baru yang aneh yang terdapat di muka jalan-jalan masuk desa dan di depan pintu rumah milik orang-orang kaya yang terletak di tepi jalan: aneh, karena dihiasi angka-angka beton seukuran manusia, dicat merah –angka 1 dan 9 di sebelah kiri, angka 4 dan 5 di sebelah kanan,” tulis Anderson dalam Notes on Contemporary Indonesian Political Communication.
Sekimoto sendiri melakukan penelitian lapangan pada 1975, 1978, dan 1980, di desa Darman (nama samaran) di dataran rendah yang subur antara Klaten dan Solo. Berdasarkan informasi penduduk, menyambut Hari Kemerdekaan 1977, kepala desa dengan pemimpin pemuda menyepakati proyek besar memperindah desa yang disebut “proyek pagar beton”. Sasaran proyek ini adalah pembangunan gapura-gapura dan pagar-pagar semen seperti yang mereka lakukan dua tahun sebelumnya. Namun, kali ini bangunan-bangunan dari bambu akan diganti dengan struktur-struktur permanen dari batako.
Dua gerbang masuk yang meniru gapura istana Jawa dibangun di kedua sisi jalan yang membelah desa. Beberapa ratus meter di sepanjang jalan dibangun pagar batako setinggi sekira satu meter, menggantikan pagar lama dari bambu atau batu bata, dilengkapi gerbang kecil untuk tiap-tiap rumah, tetap dengan gaya gapura namun sederhana. Pagar ini dicat abu-abu dan dihias dengan warna hijau. Ide ini dipuji pejabat pemerintahan setempat. Dorongan untuk berpartisipasi lebih besar dalam lomba pembangunan desa berikutnya membuat “proyek pagar beton” diperluas pada 1978, dengan membangun sembilan gerbang baru dengan gaya gapura. Pembangunan besar-besaran ini tak terjadi jika tak ada lomba pembangunan antardesa.
Gapura pun menjadi pemandangan umum di seluruh Jawa, dengan tambahan angka-angka 17-8-1945 yang sering kali dicat atau diukirkan pada gapura-gapura itu. Pemandangan ini terlihat di desa hingga pelosok. Di kabupaten yang lebih kaya semua rumah yang berada di tepi jalan raya dilengkapi dengan gapura beton. Sedangkan kabupaten miskin cukup membuat gapuranya dengan bambu. Perbedaan yang mencolok ini berkaitan dengan perbatasan geografis antara dua unit administratif. Sekimoto pun menyimpulkan, “bangunan-bangunan ini merupakan sebuah usaha kolektif yang dirancang oleh negara.”
Keseragaman pagar dan gapura, menurut Sekimoto, mencerminkan keseragaman pemerintahan yang gemar mempromosikan keseragaman di kalangan rakyatnya dan di seluruh negeri. “Ini merupakan proyek politik dalam pengertian para pemimpin Orde Baru di tingkat rakyat berusaha untuk bersaing mendemonstrasikan kepemimpinan dan persatuan rakyat di bawah pimpinan mereka,” tulis Sekimoto.
Ini berbeda dengan Hari Kemerdekaan pada masa Orde Lama. “Seingat penduduk desa, sebelum tahun 1965 perayaan ini pernah dikaitkan dengan politik-politik partai pada masa Sukarno,” tulis Sekimoto. “Cabang-cabang partai setempat dengan organisasi-organisasi massa mereka saling bersaing sengit untuk mengumpulkan pendukung pada kesempatan ini.”
Menurut Farabi Fakih, berbeda dengan Sukarno, dengan perencanaan nation-building-nya yang jelas melalui pembangunan proyek-proyek fisik yang bombastis di ibukota Jakarta: jalan raya terpanjang, gedung tertinggi, stadion terbesar; Soeharto tak memimpikan cara-cara pembangunan seperti itu. “Pembangunan Soeharto bersifat ubiquitous; sesuatu yang ada di mana-mana di negara Orde Baru,” tulis Farabi, “Rumah Indonesia Indah: Imaji Postmodern dan Iklan Real Estate Indonesia,” termuat dalam Masihkah Indonesia karya A. Budi Susanto.
Negara akan mengingatkan keberadaannya kepada warganya melalui reproduksi imaji-imaji negara di seantero wilayah. Ia tak bertujuan menciptakan manusia revolusioner yang kritis, melainkan menciptakan manusia Indonesia “seutuhnya” yang disiplin dan patuh. “Negara terus menerus hadir di tingkat yang paling intim; ketika berjalan pagi dan melewati gapura 17 Agustusan.”
Kini, ketika kita sulit menemukan gapura bernuansa tujuhbelasan, apakah kita lantas mensyukurinya karena tak ada lagi ideologi kepatuhan?
Tambahkan komentar
Belum ada komentar