Tuntutan Merdeka 100%
Diplomasi dipandang melemahkan semangat juang. Persatuan Perjuangan pun menuntut kemerdekaan penuh.
Hari ini, tujuh puluh tahun silam, di kota sejuk Purwokerto, Jawa Tengah, berlangsung pertemuan besar yang dihadiri sekitar 300 orang dari pengurus partai, badan-badan perjuangan, dan perkumpulan pemuda.
Wakil-wakil pengurus partai yang hadir dari Partai Boeroeh Indonesia, Masyumi, Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia. Lalu dari perkumpulan lain seperti pucuk pimpinan Serikat Rakyat Indonesia, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Gerakan Rakyat Indonesia, Persatuan Wanita Republik Indonesia, Partai Revolusioner Indonesia, Pesindo, KRIS, Hizbullah. Dua tokoh utama yang hadir adalah Tan Malaka dan Panglima Besar Jenderal Soedirman.
“Tidak ada siaran pers. Semua yang hadir mendapat undangan pribadi atau melalui organisasi yang diwakilinya,” tulis Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan kiri, dan revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret 1946.
Baca juga: Ketika Tan Malaka Ingin Jadi Presiden
Mereka berkumpul untuk merapatkan barisan dan membuat kesepakatan mengenai arah perjuangan, apalagi pusat pemerintahan sudah berpindah ke Yogyakarta dari Jakarta. Pertemuan besar dengan ketua penyelenggara Sastro Suwirjo dan sekretaris Sukarni ini, digelar dua hari, 4-5 Januari 1946. Hari pertama pertemuan berisi laporan-laporan barisan pemuda yang sudah melakukan perjuangan di daerah.
“Suasana Jawa Timur tak lain diliputi oleh suasana pertempuran yang hendak mengenyahkan segala upaya kaum penjajah. Oleh karena perjuangan rakyat Jawa Timur itulah, perjuangan rakyat Indonesia terdengar ke seluruh dunia. Karena diplomasi pemerintah kita, maka perjuangan rakyat Surabaya yang tadinya sangat menguntungkan menjadi kurang menguntungkan karena musuh mendapat tempo menyusun tenaganya lebih kuat,” ujar Ismail wakil dari Jawa Timur, seperti dikutip harian Kedaulatan Rakjat, 6 Januari 1946.
Laporan senada disampaikan wakil dari Jawa Tengah.
“Inggris katanya datang melucuti Jepang, menolong kaum interniran. Namun itu bohong belaka. Inggris datang ke Magelang tanpa diketahui gubernur Jawa Tengah, tetapi tentara dan meriamnya bertambah terus. Kelemahan kita ialah pemerintah selalu berdaya upaya untuk menghentikan semangat rakyat berjuang mempertahankan kemerdekaan. Selain itu, rasa berjuang rakyat juga belum tebal. Masing-masing ingin menjadi jenderal, masing-masing saling mencurigai,” ujar Sayuti Melok dari Jawa Tengah.
Baca juga: Ketika Tan Malaka Memilih Jadi Oposan
Sementara di Jakarta, ujar Chaerul Saleh, sudah menjadi kota “sana” dan “sini”. “Jalanan utama Jakarta, dari Senen hingga Jatinegara dikuasai oleh Batallion Depoot Speciale Troepen,” tulis Erwiza Erman dan Ratna Saptari dalam Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa.
“Saya ingat dulu di daerah Senen itu batas antara wilayah Belanda dan Republik, kalau daerah Republik yang dipakai ya uang ORI (Oeang Republik Indonesia). Di dekat-dekat situ, para pejuang ngumpul atau tinggal bersama. Namanya anak-anak, pengen melihat seperti apa sih pejuang itu. Ternyata ya macam-macam orangnya,” ujar Cornelia Sutantri, 85 tahun, kepada Historia. Saat itu, Cornelia tinggal di daerah Tanah Nyonya, daerah Gunung Sahari.
Pada hari kedua, 5 Januari 1946, giliran Tan Malaka dan Jenderal Soedirman yang berbicara. Tan menyoroti soal kemerdekaan penuh atau 100% yang harus diraih oleh Indonesia.
“Kita tidak suka berunding dengan siapa saja sebelum kemerdekaan tercapai 100% dan sebelum musuh meninggalkan pantai dan lautan kita dengan beres. Jangan kira kalau rakyat tidak mengerti diplomasi. Kita tidak suka berunding selama musuh masih dalam negeri kita. Selama masih ada 1 kapal musuh, kita harus terus berontak,” ujar Tan Malaka, seperti dikutip harian Merdeka, 11 Januari 1946.
Baca juga: Hikayat Tan Malaka, Sang Buronan Abadi
Seluruh peserta pertemuan di Purwokerto sepakat membentuk volksfront dengan minimum program: berunding atas pengakuan kemerdekaan 100% sesudah tentara asing meninggalkan laut Indonesia; pemerintah rakyat; tentara rakyat; melucuti tentara Jepang; mengurus tawanan bangsa Eropa; menyita dan menyelenggarakan pertanian; menyita dan menyelenggarakan industri.
Melihat dua hari yang gempita, Jenderal Soedirman pun menyatakan dukungannya atas kemerdekaan 100%.
“Saudara-saudara yang siap sedia membela kemerdekaan 100%! Saya sangat gembira akan dibentuknya volksfront. Tentara timbul tenggelam dengan negara. Pemimpin negara boleh berganti, kabinet pun boleh berganti tiga bulan sekali. Namun, tentara tetap berjuang terus bersama rakyat sampai kemerdekaan tercapai 100%. Lebih baik di-atoom sama sekali daripada tak merdeka 100%,” ujar Soedirman, seperti dikutip dari harian Kedaulatan Rakjat, 6 Januari 1946. Di kemudian hari, volksfront ini dikenal sebagai Persatuan Perjuangan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar