Tokek… Tokek… Tokek…
Suara tokek mengingatkanya pada Indonesia.
POSTURNYA tinggi, dibalut stelan putih-putih. Dia tampak bugar di usianya yang sudah uzur. Bahasa Indonesianya lancar, meski hampir 30 tahun meninggalkan Indonesia. “Indonesia adalah rumah kedua saya,” kata Horst Henry Geerken, saat menghadiri sebuah acara bedah buku di Jakarta.
Geerken pernah tinggal di Indonesia pada 1963. Seharusnya dia hanya tinggal 3-4 tahun, tapi akhirnya sampai 18 tahun (hingga 1981). Dari seringnya melakukan perjalanan dinas dan pribadi, Geerken belajar menghargai Indonesia dan masyarakatnya. Dia lalu menjalin pengalaman pribadinya selama masa kekacauan politik dan rekonstruksi ekonomi Indonesia dalam sebuah buku dengan judul unik: Der Ruf des Geckos atau Panggilan Tokek.
Tapi, mengapa tokek?
Menurut Geerken, tokek dianggap pembawa keberuntungan bagi orang Indonesia. Termasuk Sukarno. Saat bersama Sukarno di Bali, seekor tokek berbunyi keras. Sukarno menghitung bunyinya. Saat bunyi ketujuh, Sukarno berkata, “Itu tanda keberuntungan!” Ketika tokek akhirnya berhenti pada bunyi kesembilan, “Bilangan ganjil-sembilan,” ujar Sukarno, “malah lebih untung lagi. Besok adalah hari baik bagi saya dan seluruh rakyat Indonesia.”
Kisah tokek ini mengendap di ingatan Geerken. Di rumahnya, baik di Jakarta maupun Carita, Banten (untuk akhir pekan), juga ada tokek. “Kami sering mendengar bunyi tokek sembilan kali berturut-turut. Ramalan ini benar: Indonesia membawa keberuntungan dan kebahagiaan bagi kami,” kata Geerken.
Geerken lahir di Stuttgart, Jerman, pada 13 Agustus 1933. Sedari kecil dia hobi radio amatir, sehingga dia memilih belajar di bidang yang baru namun berkembang pesat: teknologi telekomunikasi. Selama belajar dia sempat tinggal beberapa lama di Turki sebagai exchange student, dan setelah tamat belajar di Jerman, mengambil kuliah pasca sarjana di Amerika Serikat. Pada musim panas 1961, setelah bekerja dua tahun di AS, dia mendapat tawaran dari perusahaan telekomunikasi Jerman AEG-Telefunken sebagai “insinyur residen” perwakilan di Indonesia.
Sekira tahun 1900, melalui cabangnya di Jawa, Algemenee Nederlandsch Indisch Electriciteits-Maatschappij, Telefunken memasok sistem tram listrik pertama untuk Batavia. Pada 1905, Telefunken memasang celah percikan dan pemancar mesin berfrekuensi tinggi untuk sambungan telegrafi nirkabel pertama. Lima tahun kemudian, Telefunken membangun stasiun transformer dan distributor energi untuk kota Surabaya, Malang, dan Semarang.
Sebelum 1913, Telefunken membangun tujuh stasiun darat. Antara 1917 dan 1922, stasiun pemacar besar di Malabar dekat Bandung di Pulau Jawa, yang memiliki pemancar frekuensi tinggi sebesar 400 kilowatt, dibangun. Pemancar tersebut bertanggung jawab terhadap hubungan nirkabel pertama antara Asia Timur dan Eropa. Namun, pemancar ini dihancurkan oleh Jepang pada Perang Dunia II.
Selama 18 tahun di Indonesia, Geerken menangani banyak proyek. Klien terpenting adalah perusahaan pos dan telekomunikasi. Proses pengerjaan proyek itu tak mendapatkan porsi besar dalam buku ini. Meski menjadi saksi pergolakan politik di negara yang masih muda, terutama Gerakan 30 September 1965, tak banyak pula yang dia ungkap. Mengenai CIA dibalik Gerakan 30 September, dia mengutip buku Tim Weiner, Legacy Of Ashes The History Of CIA. Pendudukan Belanda dan Jepang dibahas ringkas dan terpisah. Dia lebih banyak berkisah tentang pengalamannya bergaul dengan masyarakat Indonesia.
Kisahnya dimulai ketika kali pertama dia mendarat di Jakarta pada 1963. Hari-hari pertamanya, dia disibukkan dengan urusan visa, mencari tempat tinggal, dan izin kerja. “Kita harus pergi dari kantor ke kantor, tanda tangan di sini, sidik jari di sana, dan banyak pasfoto ukuran paspor. Berurusan dengan birokrasi makan waktu lebih dari biasanya, di Jerman sekalipun,” kata Geerken.
Sayangnya, lanjut Geerken, orang Indonesia mempertahankan sistem birokrasi kaku yang diperkenalkan Belanda ini. “Jika ingin mempercepat proses pengurusan visa, kita harus menaruh uang di dalam parpor di setiap meja. Jika tidak, kita akan dikembalikan ke meja pertama karena alasan tertentu.”
Pengurusan visa dari kantor ke kantor ini membantu Geerken mengenal kota Jakarta dan lalulintasnya. Di Harmoni terdapat lampu lalulintas pertama dan satu-satunya di Indonesia. Ia menjadi proyek percontohan, namun para pengemudi mengabaikannya. Dengan berjalannya waktu, lampu lalulintas di pasang di mana-mana. Namun, Sudjono, sopir Geerken, tetap meneruskan kebiasaan lamanya. Ketika Geerken melarangnya menerobos lampu lalulintas, Sudjono menghindari semua lampu. Ketika ditanya kenapa memutar, Sudjono menjawab: “Di sini tidak ada lampu merah.”
“Tak seorang gubernur pun di Jakarta berhasil memaksa pengemudi berhenti pada saat lampu merah, walaupun kecelakaan serius jarang terjadi. Semua orang memasang mata lebar-lebar dan tidak ada yang memaksakan hak mereka atas jalan,” kata Geerken.
Ketika berjalan-jalan di Jakarta, siapa pun akan segera tercengang dengan “karya seni” monumental kegemaran Sukarno. Menurut Geerken, orang Indonesia memiliki selera humor yang tinggi. Setiap monumen atau patung diberi julukan. Karena kemiripannya dengan lambang kejantanan laki-laki dan kekuatan supranatural Sukarno, Monas dijuluki “lambang kesuburan Sukarno” atau “Ereksi Terakhir Sukarno”. Monumen Patung Pemuda Membangun dijuluki “Aduh Panas!”, orang asing menamainya “Pizza Man”. Julukan Tugu Selamat Datang adalah “Hansel dan Gretel”, dongeng terkenal asal Jerman karya Grimm Bersaudara (Jacob and Wilhelm Grimm) dan terbit pada 1812. Dan Tugu Pembebasan Irian Barat disebut “Tidak Ada Uang” karena letaknya di belakang Kementerian Keuangan.
Seperti diakui Geerken, buku ini adalah hiburan. Membaca buku ini dijamin akan membuat Anda tertawa dan senyum-senyum sendiri. Cerita tentang guling, misalnya. Indonesia satu-satunya negara di dunia yang memiliki guling, selain bantal. Guling disebut juga “istri Belanda.” Kita bisa memeluk guling pada malam hari dan menekuknya dengan kaki. Rasanya nyaman dan sejuk. Menurut orang Belanda, guling berguna untuk memberi sirkulasi udara secara bebas dan menyerap keringat di kaki.
Namun, di Jakarta ada lelucon yang beredar terkait guling. “Banyak orang berpendapat bahwa guling dimaksudkan untuk tujuan lain yang berkaitan dengan kesenangan seksual,” kata Geerken. “Saya begitu terbiasa dengan guling, hingga sekarang, sekali pun di Jerman, saya tetap memakai guling.”
Lain lagi dengan bahasa Indonesia. Menurutnya, bahasa Indonesia memiliki permainan kata yang sering menyesatkan sebagian pendatang baru. Sebuah keluarga Jerman, teman Geerken, ingin mempekerjakan seorang perempuan Jawa sebagai pembantu. Majikan laki-laki bertanya apakah perempuan Jawa itu akan punya anak. Jawabnya, “Insya Allah”, (jika Tuhan mau). Tapi majikannya memahaminya sebagai “Jika tuan mau”. Satu huruf “h” membedakan arti.
Sementara majikan perempuan meminta pembantu laki-lakinya untuk membuka jendela. Alih-alih mengatakan “buka jendela”, dia mengatakan “buka celana.” Kalau tertulis, telihat perbedaannya. Tapi, pengucapannya mirip. Bagi si pembantu, ini sudah keterlaluan sehingga dia minggat dari rumah.
Dalam satu bagian, Geerken menceritakan tentang pedagang keliling. Selama bertahun-tahun, seorang tukang buah mengantar buah segar. Menawar harga adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Menawar bukan cuma masalah harga: komunikasi pribadi, mengobrol, bertukar kabar tentang keluarga, dan bercanda sama pentingnya.
Suatu pagi, karena teburu-buru, Geerken cepat-cepat memilih mangga dan papaya, “Saya tidak sempat menawar hari ini,” katanya.
Tukang buah kecewa. Dia mengambil buahnya. “Tuan, kalau Tuan tidak sempat menawar hari ini, lebih baik saya kembali besok.”
“Kenangan ini merupakan perpaduan antara hiburan dan informasi yang bisa saya kumpulkan...,” kata Geerken.
Di penutup buku, Geerken menulis, “Selama tinggal di Indonesia, saya memperoleh kesan yang takkan terlupakan seumur hidup. Keindahan negeri ini adalah sebagian saja, lebih khusus adalah masyarakatnya.”
Baca juga:
Abu Bakar, Pianis Hitler dari Indonesia
Tentara Jerman dalam Perang Kemerdekaan Indonesia
Peran Pelaut Jerman dalam Angkatan Laut Republik Indonesia
Tambahkan komentar
Belum ada komentar