Tentara Indonesia Jadi Mata-mata Rusia
Kebutuhan ekonomi dan pangkat mandek mendorong seorang tentara Angkatan Laut menjual dokumen rahasia kepada agen Rusia.
PADA 4 Februari 1982, Corps Polisi Militer (CPM) menangkap Letkol (Laut) J.B. Soesdarjanto dan Wito, pengganti Robert, di restoran “Jawa Tengah” di Jalan Pemuda Jakarta Timur.
Wito alias Sergei Egorov adalah agen Rusia (KGB) yang menjabat atase militer pada Kedutaan Besar Rusia di Jakarta. Menteri Luar Negeri Indonesia Mochtar Kusumaatmadja memanggil dan menyatakan protes kepada duta besar Rusia. Pemerintah kemudian mengusir dan menyatakan persona nongrata Egorov dan Robert alias Alexander Finenko.
Johannes Baptista Soesdarjanto lahir di Ambarawa, Jawa Tengah, pada 27 Juni 1934. Lulus dari SMA De Loyota Semarang, dia masuk Akademi Ilmu Pelayaran dan lulus pada 1958. Dia masuk Angkatan Laut tahun 1962, setahun kemudian disekolahkan ke Maryland, Amerika Serikat. Sekembalinya ke tanah air, dia menjadi perwira bahkan komandan di berbagai kapal TNI AL, serta menjabat Kadis Pemetaan pada 1979.
“Sewaktu Soesdarjanto menjadi perwira pemetaan, tahun 1976 berhubungan dengan Vladimir yang berkantor di Tanjung Priok sebagai agen kapal-kapal Soviet di Indonesia. Perkenalan bermula dari niat Vladimir membeli peta laut guna mensuplai kapal-kapalnya yang berlayar di Indonesia,” tulis majalah spion dan wanita, Spionita, No. 014, Agustus 1984.
Baca juga: Kiprah Putin di KGB
Soesdarjanto memenuhi pesanan Vladimir dan mendapatkan imbalan Rp50.000. Selama setahun (1976-1977), Soesdarjanto menyerahkan dokumen-dokumen penting antara lain laporan dan perjanjian survey Selat Malaka antara Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Jepang (Memorandum of Procedure Survey Operation); rencana kerja Janhidros (Jawatan Hidro Oseanografi) TNI AL, dan laporan bulanan operasi/survey Hidros untuk setahun. Untuk dokumen tersebut, Soesdarjanto menerima imbalan sebesar Rp600.000.
Vladimir kemudian digantikan Yuri. Soesdarjanto berhubungan dengan Yuri kurang lebih dua tahun (1977-1979). Selanjutnya, Yuri digantikan Robert pada September 1979. Mereka biasanya transaksi di restoran hotel atau supermarket.
Kepada Yuri dan Robert, Soesdarjanto meyerahkan dokumen-dokumen terkait laporan internal TNI AL, seperti laporan tahunan Jahindros, juklak (petunjuk pelaksanaan) anggaran, laporan bulanan intelelijen Spam (staf umum pengamanan) Kasal (dalam dan luar negeri), dan laporan bulanan staf operasi Kasal.
Selain itu, Soesdarjanto juga menyerahkan laporan survei Selat Malaka kerja sama antara Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Jepang; perjanjian dan laporan survei di Selat Makassar kerja sama Indonesia dan Amerika Serikat; program kerja Jahindros TNI AL; dan laporan survei Amindo Jaya II Join-Survey.
Robert kemudian diganti oleh Wito. Dalam pertemuan pertama, Wito meminta kepada Soesdarjanto data fisik arus, temperatur, kadar garam air laut Selat Makassar dan laut Ambon. Dia juga menanyakan apakah Amerika Serikat telah memasang Early Warning System (EWS) di laut Indonesia. Kalau benar, jenis apa dan di mana EWS diletakkan. Soesdarjanto menyatakan tak tahu soal EWS itu. Wito menyerahkan 10 roll film kosong dan uang Rp300.000.
“Yang diburu dalam kasus mata-mata itu (Sergei Egorov dan Soesdarjanto, red.) antara lain peta dasar laut Selat Ambon dan Selat Makassar –selain keadaan perairan di sekitar Pulau Natuna. Selat Ambon dan Selat Makassar bila dihubungkan dengan Selat Lombok, tak bisa lain, adalah jalur kapal selam Uni Soviet,” tulis Tempo, No. 25 Tahun XIV, 25 Agustus 1984.
Soesdarjanto akan mengedrop dokumen yang diminta Wito pada 1 atau 8 April 1982 di daerah Cakung, dan pertemuannya pada 22 atau 29 April 1982. Nahas, pertemuan pertama meraka menjadi akhir spionase Soesdarjanto untuk Rusia. CPM mencokok Soesdarjanto dan agen-agen Rusia diusir dari Indonesia.
Soesdarjanto mengakui semua aksi spionasenya kepada majelis hakim Mahkamah Militer Tinggi II Barat (Jakarta-Banten). Dia, seperti dikutip Spionita, menjual dokumen-dokumen rahasia milik TNI AL karena “kebutuhan ekonomi, iri kepada teman-teman sekantor yang lebih baik keadaan ekonominya, kepangkatan yang tidak naik-naik, dan keadaan hukum yang tidak menentu sebagaimana sering dibacanya di koran-koran.”
Setelah menjalani enam kali persidangan, pada 22 Agustus 1984, Soesdarjanto divonis sepuluh tahun penjara dan dicabut haknya sebagai anggota TNI. Semua barang bukti berupa dokumen-dokumen dan foto serta uang Rp300.000 disita oleh negara.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar