Tentang Ketuhanan yang Berkebudayaan
Frasa ini muncul dalam pidato Sukarno pada 1 Juni 1945. Menjadi polemik ketika muncul lagi dalam Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).
1 Juni 1945. Di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Sukarno menyampaikan gagasannya mengenai dasar negara Indonesia. Dalam pidato yang disaksikan puluhan peserta sidang itulah kemudian Pancasila lahir.
Pada kesempatan itu, Sukarno menawarkan lima sila sebagai dasar negara: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau peri-kemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial, dan yang terakhir, Ketuhanan. Lima sila itu kemudian dinamai Pancasila.
Sukarno kemudian menawarkan lagi, “Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja.” Tiga sila itu adalah socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ketuhanan. Dan jika ingin satu sila, kata Sukarno, maka tiga sila tersebut jika diperas menjadi satu kata yakni gotong-royong.
Polemik RUU HIP
Apa yang disampaikan Sukarno 75 tahun yang lalu itu belakangan muncul lagi dalam Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Yang disebut Sukarno sebagai Trisila dan Ekasila itu muncul dalam Pasal 7 RUU HIP.
Merujuk draft RUU HIP pada laman resmi DPR, pasal 7 ayat (1) berbunyi, "Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan".
Kemudian pada ayat (2) disebutkan bahwa, "Ciri Pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan". Sementara ayat (3) berbunyi, "Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong".
Baca juga: Makna Pidato Sukarno 1 Juni 1945 tentang Pancasila
Pasal 7 RUU HIP ini kemudian menimbulkan polemik. Beberapa ormas Islam khawatir pemakaian frasa "Ketuhanan yang Berkebudayaan" akan membuat Indonesia menjadi sekuler. Frasa itu dianggap mengesampingkan sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa.
Frasa "Ketuhanan yang berkebudayaan" itu awalnya muncul dalam pidato Sukarno pada 1 Juni 1945. Setelah ia menjabarkan empat sila yakni Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau peri-kemanusiaan, Mufakat atau demokrasi dan Kesejahteraan sosial, maka sampailah ia menjelaskan sila kelima.
"Prinsip Ketuhanan!" seru Sukarno. Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, lanjutnya, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Ia menyebut bahwa yang beragama Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang beragama Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad Saw, dan orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab agamanya.
"Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada 'egoisme-agama'. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!" sebutnya.
Baca juga: Sejarah Peringatan Hari Lahir Pancasila
Dalam mengamalkan dan menjalankan agama, sambung Sukarno, juga hendaknya secara berkeadaban. Yakni dengan saling menghormati antaragama. Ia mencontohkan bahwa Nabi Muhammad Saw dan Nabi Isa juga telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain.
"Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!” jelasnya.
Kekaburan Makna
Seturut dengan apa yang dikatakan Sukarno dalam pidato 1 Juni 1945, Yudi Latif, mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), menyebut bahwa frasa "Ketuhanan yang berkebudayaan" dipakai Sukarno sebagai semangat untuk mengembangkan asas Ketuhanan yang Maha Esa. Sama halnya dengan frasa "Ketuhanan yang berkeadaban".
"Dengan ungkapan tersebut, bisa dipahami bahwa dalam pandangan Sukarno, asas Ketuhanan yang Maha Esa itu, dalam relasi politis-muamalahnya, hendaknya dikembangkan dengan semangat Ketuhanan yang berkebudayaan," kata Yudi Latif kepada Historia.
Dalam tulisannya "Ketuhanan yang Berkebudayaan" dalam buku Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, Aktualitas Pancasila, Yudi Latif menyebut bahwa asas Ketuhanan telah melalui perdebatan panjang para pendiri bangsa. Yang kemudian memunculkan mufakat pada sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa.
Baca juga: Sila Ketuhanan dari Ulama Padang Japang
Ketuhanan dalam kerangka Pancasila, jelas Yudi Latif, menyerupai konsepsi agama sipil atau civic religion yang melibatkan nilai-nilai moral universal agama. Namun, juga secara jelas dibedakan dari agama.
Nilai moral Ketuhanan menjadi landasan pengelolaan kehidupan publik-politik dalam masyarakat multikultur-multiagama. Yang mana tidak menjadikan salah satu agama atau unsur keagamaan mendikte negara.
Ketuhanan dalam kerangka Pancasila juga merupakan usaha pencarian titik temu dalam semangat gotong-royong untuk menyediakan landasan moral yang kuat bagi kehidupan politik berdasarkan moralitas Ketuhanan.
"Dalam kerangka pencarian titik-temu ini, Indonesia bukanlah negara sekuler yang ekstrem, yang berpretensi menyudutkan agama ke ruang privat karena sila pertama Pancasila (sebagai konsensus publik) jelas-jelas menghendaki agar nilai-nilai Ketuhanan mendasari kehidupan publik-politik," tulis Yudi Latif.
Namun, Pancasila tidak menghendaki perwujudan negara agama. Karena hal itu akan memunculkan tirani keagamaan yang bertentangan dengan pluralitas kebangsaan serta menjadikan penganut agama dan kepercayaan lain sebagai warga negara kelas dua.
Lebih lanjut, perihal memeluk agama maupun menganut kepercayaan lain juga dijamin kebebasannya. Yudi Latif mencontohkan Wonsonegoro, seorang anggota BPUPKI adalah seorang teolog yang percaya kepada Tuhan yang Maha Esa (supreme being) namun tidak otomatis memeluk atau menganut agama tertentu.
"Lebih dari itu, kepedulian Pancaila lebih tertuju pada moralitas publik, tidak mencampuri moralitas (keyakinan) pribadi," jelasnya.
Namun, menurut Yudi Latif, kekaburan dalam melihat hubungan antara agama, Pancasila, dan negara kemudian menjadi salah satu penyebab timbulnya berbagai masalah. Misalnya mengenai kecemasan bahwa Pancasila bisa menggantikan peran agama.
Dalam konteks ini, Sukarno pernah berpidato pada peringatan lahirnya Pancasila di Istana Negara pada 5 Juni 1958. Pada kesempatan itu, Sukarno membantah pernyataan bahwa Pancasila merupakan perasan dari nilai-nilai Buddhisme. Demikian, ia juga tidak ingin Pancasila dipertentangkan dengan agama.
"Saya minta janganlah menaruhkan Pancasila ini secara antagonistis terhadap kepada misalnya agama Islam, dan janganlah pula meletakkan Pancasila ini secara congruentie yang sama dengan misalnya agama Buddha, janganlah ditaruhkan secara antagonistis kepada agama Islam, jangan ditaruh secara congruentie kepada Agama Buddha. Jangan!"
Hentikan Perdebatan
Sementara itu, sejarawan Anhar Gonggong menyebut bahwa frasa "Ketuhanan yang berkebudayaan" memiliki maksud yang sederhana. Seperti yang sudah disampaikan Sukarno dalam pidatonya, supaya tidak ada egoisme agama yang menimbulkan pertentangan antaragama.
"Itu yang dia maksud. Cuma menurut saya ya memang agak terlalu melenceng pemahaman itu karena untuk apa itu digunakan (dalam RUU HIP) wong sudah diterima Ketuhanan yang Maha Esa. Ya selesai kan," kata Anhar kepada Historia.
Menurut Anhar, setelah pidato disampaikan dan Pancasila kemudian dibahas sebagai dasar negara, baik Trisila maupun Ekasila tidak lagi diperdebatkan.
Baca juga: Atas Nama Ideologi Negara
"Dan tidak pernah dibicarakan lebih lanjut. Begitu selesai bicara kan yang dibicarakan Pancasila. Nggak pernah ada yang dibicarakan Trisila, Ekasila," sebutnya.
Anhar juga melihat misalnya, apa yang ditulis dalam RUU HIP itu berbeda dengan isi pidato Sukarno. Ia membandingkan kata "diperas" yang ada dalam pidato dengan kata "ciri" dalam RUU HIP. Keduanya berbeda. "Trisila dan Ekasila bukan ciri," kata Anhar.
Anhar menambahkan bahwa pidato Sukarno 1 Juni 1945 merupakan konsep. Setelah konsep dibahas dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan Pancasila dalam alinea ke-4 diterima, konsep tersebut sudah tidak dipersoalkan lagi.
"Kita udah selesai kok. Lalu kapan kita bekerja dengan baik, kapan kita saling menutupi apa yang pernah kita hadapi ketika kita masih berkelahi sebelum semua apa yang dimiliki, yang dikerjakan oleh pemimpin kita masa lampau, kita sudah warisi seperti sekarang?" ujarnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar