Takdir Si Henk dari Pembebasan
Sempat dua kali lolos dari razia, akhirnya Irawan tewas ditembak tentara Nazi saat menyelundupkan mesin cetak stensilan.
Meskipun kegiatan utamanya di suratkabar De Bevrijding, namun Irawan juga bergabung dengan satuan tempur Barisan Mahasiswa Indonesia dalam Binnenlandsche Strijdkrachten (Tenaga Pejuang Dalam Negeri), organisasi perlawanan yang dibentuk pada 5 September 1944.
“Jiwa perjuangannya memungkin dia siap pula apabila diperlukan menyandang sten atau karaben untuk mengusir kaum penyerbu yang dibenci itu untuk selamanya dari negeri ini,” tulis Soeripno. Kelak, Soeripno mati tragis dieksekusi mati karena terlibat peristiwa Madiun 1948.
Soeripno, menjadi pendiri dan komandan pertama Barisan Mahasiswa yang terdiri atas empat regu. Dua minggu kemudian Soeripno mengundurkan diri. Satu regu terdiri dari sepuluh orang, salah satu ketua regunya Alex Ticoalu, yang bersama Irawan bekerja untuk De Bevrijding.
Menurut sejarawan Harry A. Poeze, para anggota kelompok itu menamakan dirinya dari nama pahlawan nasional Untung Soerapati, sedangkan kesatuannya diberi nama Knokploegen (KP) atau Barisan Tangan Besi. “Kebanyakan mereka sudah mendapat pengalaman dalam spionase dan sabotase. Sesudah Irawan gugur, kelompok itu menggunakan nama Irawan,” tulis Poeze.
Anggota-anggota Perhimpunan Indonesia di Amsterdam juga berada dalam komando kelompok ini. Soenito memimpin kelompok Amsterdam ini berlatih menggunakan senjata dan latihan perang di jalanan. Karena kekurangan tenaga, menjelang Mei 1945, kelompok Soenito yang berjumlah tujuh orang ini dibubarkan.
Di mata kawan-kawannya, Irawan berkarakter tertutup, namun pribadinya hangat dan berjiwa sosial tinggi. Soeripno mengenangnya, “dialah yang pertama kali muncul di mana ada kesulitan. Ia pergi jauh untuk mencari makanan bagi mereka yang lapar, ia menggergaji pokok pohon yang besar-besar untuk kayu bakar, ia memasakkan kami air dan memaksa kami makan apabila kami sampai pagi harus begadang untuk melakukan pekerjaan kami. Di balik suaranya yang menghardik kami mengenalinya sebagai kawan yang hangat.”
Menurut Soeripno, Irawan dua kali lolos dari razia tentara Nazi-Jerman. Suatu kali dia melarikan diri, lain kali dia melompat dari trem yang sedang berjalan. Namun, pada 13 Januari 1945, dia tertangkap. Ketika melarikan diri dengan sepeda sambil membawa mesin stensilan, dia ditembak tentara Nazi-Jerman.
Baca juga: Kisah Keluarga Soejono Melawan Fasisme Nazi
“Ketika dia ditemukan berlumuran darah di jalan, gambaran yang diberikan orang ialah bahwa ia berpakaian lusuh, bersepatu penuh lubang, dan mengenakan pakaian penuh kotoran,” tulis Soeripno, yan sempat melihat jenazahnya di rumah sakit. “Ketika kami melihatnya terbaring di rumah sakit dengan lubang di kepala, begitu damai dan tenang, seorang dari kami masih menyangsikannya dan berbisik: tak mungkin dia mati.”
Pada 18 Januari 1945, Irawan dimakamkan sementara di Green Lane. Jenazahnya digali pada 14 November 1946, untuk dikremasi di Krematorium Westerveld Velsen.
Soeripno menutup in memoriam Irawan dengan catatan: “sepucuk senapan bodoh di tangan seorang pembunuh bodoh telah memotong jalan hidup seorang Indonesia yang belum lagi mencapai 23 tahun, yang semangatnya, pengabdiannya, rasa sosialnya, kerajinannya, dan kesederhanaannya, akan tetap menjadi contoh.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar