Tahun Baru, Ibukota Baru
Kado pahit di tahun baru pertama Republik Indonesia. Terpaksa pindah pusat pemerintahan karena masalah keamanan.
SUASANA Jakarta sejak Oktober hingga akhir 1945 sedang gawat. Tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) dan tentara Inggris (Sekutu) menebar teror kepada penduduk sipil dan elite Republik.
Pada 23 Desember 1945 misalnya, tentara Inggris mengepung daerah Kwitang, Gang Kernolong dan Kalipasir. Mereka menyisir wilayah itu untuk mencari senjata api.
“Sebagian rombongan tentara itu melakukan pemeriksaan secara menyakitkan hati. Mereka menurunkan, merobek dan membakar bendera Merah Putih. Termasuk juga mereka menaiki atap Masjid Kwitang dan menurunkan bendera Merah Putih. Masjid Kwitang pun turut digeledah,” tulis harian Kedaulatan Rakyat, 24 Desember 1945.
Tak hanya menggeledeh, tentara Inggris juga menembak mati enam orang yang sedang mencuci pakaian di sungai dan melakukan percobaan pemerkosaan terhadap perempuan tetapi gagal. Penggeledahan ini dimulai pukul 8 pagi dan berakhir sekira pukul 10. Keesokan harinya, tentara Inggris melakukan penggeledahan di daerah Tanah Abang dan Kebon Dalam.
Dua elite Republik, Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin juga tak luput dari teror. Pada satu siang minggu terakhir Desember 1945, Bung Kecil membawa mobilnya melintas di daerah Menteng. Tiba-tiba, mobilnya ditembaki orang sebanyak empat kali. Sjahrir turun dan dikepung empat orang Belanda. Salah seorang di antara mereka mengeluarkan pistol hendak menembak Sjahrir dari jarak dua meter. Beruntung, pistolnya macet. Bersamaan dengan itu, muncul patroli tentara Inggris dan meringkus keempat orang Belanda tersebut.
Pada 28 Desember 1945, pukul 15.00, sopir melaju menuju rumah Presiden Sukarno untuk menjemput Amir Sjarifuddin. Ketika lewat di muka Sekolah Guru Tinggi di Pegangsaan Timur, mobilnya berpapasan dengan truk penuh serdadu NICA.
"Tak disangka, para serdadu itu menembak beberapa kali ke arah mobil. Kaca mobil belakang pecah dan beberapa peluru menempel di pintu kendaraan. Si sopir melajukan kencang mobil menuju rumah Sukarno, beruntung, Amir saat itu tak ada di dalamnya. Kejadian itu langsung dilaporkan kepada pihak tentara Inggris untuk menanganinya," tulis Kedaulatan Rakjat, 5 Januari 1946.
Setelah tahun baru 1946, suasana Jakarta semakin kacau. Rakyat sipil banyak yang menjadi korban. Pada pagi 2 Januari 1946, Pasar Mede Jatinegara yang terletak di Jalan Kemuning nampak ramai. Pedagang dan pembeli riuh tawar-menawar barang. Keramaian ini sekejap berubah menjadi jeritan mengerikan. Truk berisi serdadu NICA melakukan tembakan ke arah pasar. Keonaran ini merembet ke Gang Ambon. Mereka membakar seratus rumah dan tiga orang meninggal. Kemudian di daerah Kemuning, 30 rumah juga dibakar, dan di Jalan Lokomotif, rumah-rumah penduduk berubah menjadi abu.
Melihat suasana yang demikian, pada 3 Januari 1946, sidang kabinet yang dipimpin Sutan Sjahrir memutuskan untuk memindahkan kedudukan pemerintahan ke Yogyakarta.
“Pemindahaan pemerintahan ini tidak menjadi sebab untuk merubah pendirian pemerintah Indonesia baik di dalam atau luar negeri. Pemindahan ini memiliki dua alasan yaitu pertama, keadaan yang tidak aman di Jakarta dan kedua, untuk menyempurnakan organisasi dalam negeri,” tulis Kedaulatan Rakjat, 5 Januari 1946.
Pada tengah malam 4 Januari 1946, pemerintahan Republik Indonesia berpindah ke Yogyakarta.
“Untuk meneruskan perjuangan, Yogya lebih baik daripada Jakarta di mana Belanda dengan pengayoman Sekutu, partner sehidup semati mereka dalam Perang Dunia II, lebih kuat,” tulis Mohammad Roem, "Apa yang akan terjadi dengan Republik jika tidak ada Hamengku Buwono IX," termuat dalam Tahta Untuk Rakyat.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar