Sukarno Tanpa Ahmad
Ahmad selalu menyertai Sukarno, meski Sukarno sendiri tak suka.
PADA 14 Mei 2003, Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono mewakili Presiden Megawati Sukarnoputri meresmikan pemancangan patok pembangunan gedung pembelajaran unit 6 Al-Zaytun, Indramayu. Gedung yang belum selesai dibangun ini diberi nama “DR. Ir. Ahmad Soekarno.”
Ahmad (kadang-kadang dieja Achmad, Achmed, Ahmad, dan Ahmed) artinya terpuji. Sukarno tak suka tambahan nama itu. Tapi nama itu dikenal di Timur Tengah. Mesir mengabadikannya menjadi nama jalan, Ahmed Sokarno St., yang menuju pusat kota dan pusat kebudayaan di Tahrir Square. Maroko juga membuat nama jalan di ibukotanya, Rabat, dengan “sharia Al-Rais Ahmed Sukarno” yang diubah menjadi “Rue Soekarno”.
Bahkan, di Timur Tengah, Indonesia disebut “Negeri Ahmad Sukarno”. Ini pengalaman Azyumardi Azra, direktur Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, ketika berkunjung ke sana yang dia tuangkan dalam rubrik Resonansi di Republika, 29 Juli 2010. Ketika bertemu dengan Ustaz Abd al-Karim, pensiunan guru besar di sebuah universitas terkemuka di Mesir, pertanyaan yang muncul adalah apakah Azyumardi Azra berasal dari Negeri Ahmad Soekarno (min al-biladi Ahmad Sukarno).
Penambahan nama Ahmad menarik perhatian Steven Drakeley, dosen senior Asian and International Studies School of Humanities and Languages University of Western Sydney. Dia mempresentasikan papernya yang menarik, berjudul “In Search of Achmad Sukarno”, dalam Conference of the Asian Studies Association of Australia di Wollongong, 26-29 Juni 2006.
Menurut Steven, ada dua alasan penggunaan nama Ahmad. Pertama, seperti dijelaskan Willard A. Hanna, doktor lulusan Universitas Michigan dan ahli Asia Tenggara, dalam Eight Nation Makers, Ahmad ditambahkan oleh wartawan Barat karena budaya penamaan mereka yang membubuhkan “nama pertama” dan “nama keluarga”.
Di masa revolusi, suratkabar macam The Straits Time di Singapura sudah menyebut nama Ahmad Sukarno. Misalnya, berita soal peti jenazah dalam pesawat RI-002 –diterbangkan oleh Bob Freeberg, pilot Amerika Serikat yang bersimpati pada perjuangan Indonesia– yang mesti mendarat di Singapura untuk mengisi bahan bakar.
Koran itu memuat berita, sebagaimana dikutip dari Irna H.N. Hadi Soewito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: “… Achmad yang jenazahnya akan diterbangkan ke Sumatra itu adalah jenazah Achmad Sukarno, yang menamakan dirinya Presiden Republik Indonesia. Suaranya dalam pidato sudah lama tidak terdengar. Ia tewas sebagai korban asosiasi, dan mayatnya sekarang dilarikan….”
Dalam bukunya A Magic Gecko, Horst Henry Geerken juga menyebut kesalahan penulisan nama ini di media Barat. “Seperti banyak orang Jawa, dia hanya memiliki satu nama: Soekarno. Sebuah kantor berita Amerika, walaupun korespondennya di Jakarta, telah menjelaskan, mereka menciptakan begitu saja nama depan ini,” tulis Geerken, yang bekerja sebagai insinyur residen AEG-Telefunken di Indonesia selama 18 tahun dari 1963 hingga 1981. “Di Indonesia, nama Ahmed sama sekali tidak dikenal dalam kaitannya dengan Soekarno. Jadi saya hanya akan menggunakan nama tunggal yang benar tersebut.”
Kemungkinan kedua, nama Ahmad sengaja ditambahkan oleh nasionalis Indonesia selama revolusi dengan tujuan memfasilitasi dukungan dari negara-negara Islam di Timur Tengah. Klaim ini secara eksplisit dibuat oleh M. Zein Hassan, seorang mahasiswa Indonesia di Mesir, dalam memoarnya Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri: Perpanjangan Pemuda/Mahasiswa Indonesia di Timur Tengah.
Zein mencatat bahwa usaha-usaha di mana dia terlibat mencari dukungan untuk Indonesia terbentur oleh kurangnya kesadaran bahwa Sukarno adalah seorang Muslim. Tapi kendala ini dengan mudah hilang hanya dengan menambahkan nama Ahmad pada Sukarno. Ini pernah dilakukannya ketika Zein menjadi ketua Panitia Pusat Pembela Kemerdekaan Indonesia di Timur Tengah (Central Committee of Defenders of Indonesian Independence in the Middle East) di Kairo, Mesir.
Dalam kasus lain, identitas agama menjadi kunci masuk diplomasi. Ketika Agus Salim, A.R. Baswedan, Nazir Pamoentjak, dan Rasjidi melakukan kunjungan ke Mesir pada 10 April 1947, petugas imigrasi meragukan paspor mereka yang hanya berupa secarik kertas dengan keterangan bahwa delegasi ini datang dari Republik Indonesia, sebuah negara baru di Asia. Baru setelah tahu kalau mereka Muslim, petugas mempersilakan, “Ahlan wa Sahlan!”
Jika klaim Zein benar, “sangat mungkin wartawan Barat menggunakan ‘Ahmad’ dengan merujuk pada sumber-sumber dari Timur Tengah pada akhir 1940-an,” tulis Steven.
Sejauh mana penggunaan Ahmad di Indonesia? Pada 1994, Steven menemukan sebuah buku di sebuah kios buku bekas di Yogyakarta berjudul Perdjalanan PJM Presiden Ir. Dr Hadji Achmad Sukarno ke Amerika dan Eropah (1956) yang disusun Winoto Danoeasmoro. Lalu pada 2001, di perpustakaan Muhammadiyah Yogyakarta, Steven juga menemukan sebuah buku kecil yang dibuat Muhammadiyah untuk memperingati pemberian penghargaan “Bintang Muhammadiyah” kepada Sukarno pada April 1965. Dalam buku itu, Sukarno disebut sebagai “Dr. Ir. H. Ahmad Soekarno”. Piagam penyerahan medali ditandatangani, atas nama Pimpinan Pusat Muhammadiyah, K.H.A. Badawi sebagai ketua dan M. Djindar Tamimy sebagai sekretaris. “Semua ini menunjukkan bahwa pimpinan Muhammadiyah percaya ‘Ahmad’ itu benar,” tulis Steven.
Bukti tambahan menunjuk ke arah ini adalah peristiwa 28 Oktober 1963 ketika Sukarno menyampaikan pidato memperingati Sumpah Pemuda di Stadion Senayan, Jakarta. Muljadi Djojomartono, tokoh Muhammadiyah terkemuka, memperkenalkan Sukarno kepada orang-banyak sebagai Haji Ahmad Soekarno.
Sukarno sendiri secara terbuka membantah bahwa namanya adalah Ahmad. Dia bersikeras namanya hanya Sukarno. Di awal pidatonya, Sukarno berkomentar sedikit kesal: “Lho, kapan saya ini dapat nama Ahmad? Menurut ingatan saya, bapak saya almarhum dan ibu saya hanya memberikan nama Sukarno... Tapi ya… Muljadi ingin memuji saya dengan memanggil saya Ahmad, karena nama Ahmad adalah nama yang benar-benar sangat terhormat. Tapi, sementara saya menyampaikan terima kasih dan merasa tergerak untuk memiliki dan menambahkan nama ini, saya ulangi bahwa nama saya hanya Sukarno.”
Dalam Sukarno: An Autobiography as told to Cindy Adams, Sukarno juga dengan ketus mengatakan: “Sukarno adalah nama saya riil, dan hanya itu. Beberapa wartawan bodoh pernah menulis nama pertama saya Achmed. Konyol. Saya hanya Sukarno.” Anehnya, dalam edisi revisinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2007), tak ditemukan lagi perkataan Sukarno itu.
Steven melihat kemungkinan Sukarno pernah menggunakan Ahmad selama hidupnya. “Nama Ahmad mungkin diperolehnya selama remaja di Surabaya. Dia terinspirasi Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Kemungkinan lain, Sukarno mengambil nama Ahmad ketika dia berada di bawah pengaruh Ahmad Hassan dari Persatuan Islam. Sukarno melakukan korespondensi dengan Hassan awal 1930-an. Sukarno tentu belajar dan berpikir secara mendalam tentang Islam pada periode ini. Dia menyatakan bahwa ini adalah titik balik dalam hidupnya; dia benar-benar memeluk Islam,” tulis Steven. “Atau mungkin Sukarno juga menambahkan Ahmad pada namanya selama pengasingannya di Bengkulu, di mana dia bergaul dalam lingkungan masyarakat Muhammadiyah.”
Namun sejarawan Baskara T. Wardaya dalam Cold War Shadow: United States Policy Toward Indonesia, 1953-1963 meyakini sampai Sukarno meninggal, nama resminya hanya Sukarno. “Dia tak senang ketika tahu orang-orang di media Barat dan banyak literatur menyebutnya Achmed Sukarno, hanya karena di Barat tidak biasa seseorang memiliki satu nama”.
Apa lacur, nama Ahmad Sukarno sudah kadung kondang di Barat maupun di Timur Tengah.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar